Mencari Themis untuk KPK

Dalam konteks Indonesia, upaya memberantas korupsi yang sungguh-sungguh bukanlah perkara gampang. Apalagi di tengah kondisi bangsa yang tingkat korupsinya sudah sistemik, menyusup ke semua lapisan kekuasaan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Dari mana memulainya, bagaimana strateginya, dan apakah daya dukung lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, maupun ekonomi cukup memadai, akan sangat menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi.

Banyak yang pesimistis dengan seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kini prosesnya tengah berlangsung di tingkat panitia seleksi (pansel). Meskipun akan terjaring calon yang baik, sangat mungkin kinerjanya akan dihambat oleh berbagai kepentingan yang bermain mesra dengan jajaran elite kekuasaan. Meskipun KPK sangat diharapkan publik sebagai motor pemberantasan korupsi, sayangnya modalitas internal dan eksternalnya tidak memadai.

Lingkungan kotor
Lingkungan politik tidak memberikan komitmen yang jelas karena sebagian besar politikus justru menjadi aktor korupsi, baik pada tingkat eksekutif maupun legislatif, sehingga harus berurusan dengan KPK. Pada akhirnya bukan sinergisitas yang lahir, melainkan persinggungan kepentingan.

Tanpa bermaksud menganggap semua politikus kotor, tapi kelompok politik yang reformis masih sebagai kaum minoritas. Sistem politik yang telah memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi peran individu dengan mekanisme pemilihan langsung para kandidatnya belum bisa berkutik menghadapi kebijakan partai politik. Sementara itu, kelembagaan partai politik masih dikendalikan oleh otoritas yang koruptif.

Demikian halnya lingkungan ekonomi pascareformasi, yang tetap memberikan lahan subur bagi praktek moral hazard. Tiadanya pemisahan yang tegas antara tembok politik dan dinding bisnis kerap membuka peluang bagi terjadinya abuse of power. Kepentingan bisnis yang memboncengi kuasa politik atau sebaliknya melahirkan skandal besar yang tak sanggup dijangkau siapa pun, termasuk KPK. Seperti skandal Bank Century, yang bak ambles ditelan bumi. Sementara itu, para pebisnis nakal lainnya sudah terlatih membangun jaringan dengan aparat penegak hukum untuk menutup berbagai praktek busuk yang dilakukannya.

Lingkungan sosial juga tak kalah pelik masalahnya. Korupsi sudah dianggap fungsional karena memberikan jawaban atas tuntutan gaya hidup materialistik. Ukuran keberhasilan hidup adalah materi, sehingga orang yang sukses selalu dipandang dari seberapa banyak kekayaannya menumpuk. Perkara dari mana sumber kekayaannya tidak menjadi soal. Gayus Tambunan adalah salah satu modelnya. Menyuap birokrasi untuk mempercepat urusan menjadi sesuatu yang wajar, kadang kala lebih mengenaskan karena penyuapan dilakukan untuk menutup kesalahan yang telah dilakukan. Pendek kata, KPK hadir dalam lingkungan yang suram seperti di atas.

Kelemahan internal
Sebaliknya, KPK juga harus menghadapi persoalan di lingkungan internalnya. Yang paling krusial adalah asupan sumber daya manusianya. Sebagian besar sumber daya, khususnya bidang penindakan KPK, banyak diakses dari lembaga penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Kondisi ini membuka peluang bagi adanya intervensi pejabat Polri atau kejaksaan ketika KPK harus berbenturan dengan kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum lainnya. Seperti yang sudah dialami KPK ketika menangani kasus UTG. Patut diduga, upaya kriminalisasi terhadap KPK merupakan buah dari “dendam” yang dipendam oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuasaan besar di mana aparat penegak hukum terlibat di dalamnya.

Resistensi terhadap KPK sebenarnya hampir dikatakan tidak terjadi manakala KPK menyentuh area pinggiran. Tapi, ketika KPK melangkah ke pusat korupsi, baik di lingkungan Istana, parlemen, dan maupun hitam yang memiliki relasi kuat dengan lingkungan politik dan penegak hukum, KPK seakan berjalan tanpa kawan. Hal ini bisa dilihat dari perlawanan “cicak melawan buaya”, di mana yang bergerak untuk mendukung KPK hanya kalangan masyarakat sipil, pers, dan mahasiswa.

Karena itu, KPK ke depan juga akan dihadapkan pada persoalan inti, yakni bagaimana dapat mengatasi masalah inti yang menghambat pemberantasan korupsi, baik dari sisi internal maupun eksternalnya, sekaligus bagaimana KPK dapat mengkapitalisasi dukungan publik dalam pemberantasan korupsi menjadi sebuah kekuatan konkret bagi KPK, sehingga resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi dapat teratasi.

Karakter
Dengan tantangan yang sedemikian besar, maka figur pemimpin KPK ke depan tidak bisa secara sembarangan dipilih oleh pansel. Apalagi jika kemudian membuka celah bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk bermain mata dengan salah satu kandidat yang berpeluang lolos. Konsekuensinya akan sangat panjang karena KPK bisa jadi akan mandul jika berhadapan dengan kasus korupsi yang melibatkan politikus, sebagaimana pernah terjadi dalam kasus Agus Condro.

Untuk itu, paling tidak, syarat calon pemimpin KPK ke depan memiliki empat kriteria mendasar dan dapat menjadi sosok seperti Themis, yang dengan kekuataannya, hukum bisa ditegakkan. Pertama, pemimpin KPK ke depan tidak hanya paham secara teknis penanganan kasus serta memahami undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan pidana korupsi dan pemberantasannya, tapi juga memiliki visi yang luas terhadap agenda pemberantasan korupsi, menguasai politik hukum, serta kemampuan yang baik dalam komunikasi publik dan kemampuan lobi yang mumpuni.

Kedua, pemimpin KPK harus memiliki integritas tinggi. Pendek kata, orang yang dipilih adalah yang paling sedikit dosa masa lalunya, sehingga tidak akan dijadikan alasan dan celah bagi kelompok kepentingan yang gerah dengan sepak terjang KPK untuk memukul balik. Kasus Antasari adalah contoh yang nyata dari pemanfaatan celah tersebut. Dengan integritas yang tinggi, pemimpin KPK dapat menjaga martabat dan kewibawaan organisasi, sehingga menjadi institusi yang ditakuti oleh para pelaku korupsi.

Ketiga, pemimpin KPK harus memiliki keberanian yang luar biasa untuk menghadapi berbagai tantangan dan tekanan sekaligus ancaman dalam berbagai bentuk, termasuk kriminalisasi terhadap dirinya. Harus dipahami sejak awal bahwa konsekuensi yang akan dihadapi dalam memberantas korupsi di Indonesia adalah perlawanan yang muncul dalam berbagai bentuk dan dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki ikatan kepentingan yang kuat satu sama lainnya. Dengan keberanian yang dimiliki, maka pemimpin KPK dapat melakukan dan mengambil berbagai macam kebijakan terobosan yang selama ini mengganjal kinerja KPK, seperti ketergantungan terhadap sumber daya penyelidik dan penyidik dari kejaksaan dan kepolisian sebagai contoh.

Terakhir, pemimpin KPK harus memiliki kemampuan dan keahlian dalam menakhodai organisasi besar seperti KPK. Jangan ibarat sopir bajaj diberi mobil Mercy. KPK akan seperti ini jika orang yang dipilih ternyata tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam memimpin. KPK, setelah hampir 7 tahun berkiprah, telah memiliki modal besar untuk menjadi lembaga penegak hukum terhormat. Tapi hal itu sangat bergantung pada pemimpin KPK, apakah dapat mengolah dan memanfaatkan modal yang sudah ada itu untuk mendorong efektivitas pemberantasan korupsi atau justru gagal.
 
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 8 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan