Mencari Nakhoda Kapal Retak

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tak ubahnya seperti sebuah kapal retak yang sedang mengarungi samudra luas. Di tengah empasan gelombang besar, kapal tersebut sejak lama telah kelihatan oleng.

Perjalanannya terasa menjadi semakin berat karena sedari awal para ”penguasa samudra” berupaya menenggelamkan kapal tersebut. Dengan kondisi seperti itu, harapan dapat bertahan sampai ke tepian menjadi amat berat.

Yang membuat kapal KPK menjadi semakin berat, di tengah perjalanan sang nakhoda terlempar ke laut luas. Karena itu, untuk tetap mempertahankan kapal mencapai tanah tepi, harus dicari nakhoda baru yang andal. Banyak kalangan percaya, sekiranya nakhoda baru diisi figur yang tepat, harapan meraih tanah tepi masih ada. Tidak hanya persyaratan andal, meminjam perumpamaan Buya Syafii Ma’arif, diperlukan figur ”sedikit gila” untuk menjadi nakhoda baru KPK.

Awalnya muncul kekhawatiran tidak akan ada figur dengan karakter kuat yang mau mendaftar sebagai calon ketua KPK. Sebagaimana disinyalir, banyak kalangan sengaja menghindar karena takut atas perilaku anggota DPR saat uji kelayakan dan kepatutan. Selama ini sejumlah pengalaman menunjukkan, uji kelayakan dan kepatutan bukan untuk menguji kemampuan, komitmen, dan penelusuran rekam jejak para calon. Kalaupun terpilih, ancaman kriminalisasi siap mengintai pimpinan KPK.

Namun, sampai batas akhir pendaftaran, Senin (14/6), muncul sejumlah nama dengan karakter kuat, seperti Bambang Widjojanto, Jimly Asshiddiqie, dan Busyro Muqoddas. Kekhawatiran posisi calon ketua sepi peminat terbantahkan. Namun, mendaftarnya sejumlah tokoh memicu pro-kontra dan masalah baru.

Utusan istana
Dari semua calon yang mendaftar, nama Jimly dapat dikatakan yang paling luas diperbincangkan. Sebagai orang yang pernah menjadi nakhoda Mahkamah Konstitusi (MK), sosok Jimly tidak perlu diperdebatkan. Selama menjadi ketua, dia mampu membangun MK menjadi lembaga negara yang kredibel. Sebagai salah satu lembaga baru pemegang kekuasaan kehakiman, MK melejit bak meteor di tengah menurunnya kepercayaan terhadap Mahkamah Agung.

Namun, saat mengajukan diri sebagai calon ketua KPK, Jimly hadir dengan label baru, yaitu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Posisi itu menyulut pro-kontra dari banyak kalangan. Dari posisi Wantimpres dalam sistem ketatanegaraan, tidak salah jika ada yang mempertanyakan atau menggugat Jimly. Apalagi, sementara kalangan mengartikan Wantimpres dengan ”kawan-kawan intim presiden”. Bagaimanapun, sulit dibantah Wantimpres bukan lingkar dalam Istana.

Barangkali, guna menjawab keraguan, Jimly memilih mengundurkan diri sementara sebagai anggota Wantimpres. Namun, ini dapat dikatakan pilihan yang tak kuat. Bagi pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin, seorang pejabat publik harusnya mundur permanen dari jabatan lama saat mendaftarkan diri pada jabatan baru. Memilih tetap bertahan pada jabatan lama bukan contoh baik (Media Indonesia, 21/6). Bagaimanapun, di tengah krisis etika yang melanda banyak pejabat publik, pendapat Irmanputra sulit dibantah.

Terlepas dari persoalan etika, banyak kalangan percaya Jimly mampu menjadi nakhoda baru di atas kapal retak KPK. Namun, pengunduran diri sementara tak mampu memberikan keyakinan kepada banyak orang bahwa ia bukan calon dari lingkaran Istana. Karenanya, jauh lebih baik bagi mantan ketua MK ini mengundurkan diri secara permanen. Dengan mundur permanen, ia memberi garis demarkasi jelas dengan Istana. Bagaimanapun, batas yang jelas menjadi mahapenting terutama di tengah ketidakjelasan penyelesaian skandal Century.

Terkait keyakinan publik itu, jangankan posisi Jimly sebagai anggota Wantimpres, posisi Todung Mulya Lubis sebagai anggota panitia seleksi ketua KPK pun mulai dipersoalkan. Gugatan itu muncul berbarengan beredarnya kabar bahwa Todung Mulya Lubis menerima pinangan Partai Demokrat jadi anggota Dewan Pembina. Selain masalah etika, begitu bergabung dengan parpol, Todung tak dapat lagi mewakili unsur masyarakat dalam panitia seleksi.

Mencegah pergeseran
Jarak nakhoda baru dengan istana menjadi menjadi isu penting dan strategis. Oleh karena itu, semua calon nakhoda baru harus mampu membuat langkah konkret sehingga tetap menjaga KPK sebagai extra-ordinary body dalam pemberantasan korupsi. Dari perspektif itu, nakhoda baru harus figur yang mampu mempertahankan posisi KPK sebagai lembaga ”pemberantas”. Penegasan ini diperlukan di tengah munculnya pandangan yang menghendaki KPK agar lebih mengedepankan fungsi pencegahan.

Untuk mendeteksi kemungkinan pergeseran arah kerja KPK, panitia seleksi harus dapat memastikan calon nakhoda baru merupakan figur yang tak akan mengurangi khitah KPK. Meski merupakan salah satu wewenang KPK, pencegahan sejatinya dimaksudkan untuk mendukung tugas pemberantasan. Artinya, membiarkan bertahan dengan wewenang pencegahan sama saja dengan membunuh KPK. Harus tetap diingat KPK adalah ”Komisi Pemberantasan Korupsi” bukan ”Komisi Pencegahan Korupsi”.

Tidak kalah pentingnya, selain bersih dan berani, panitia seleksi harus menemukan figur yang mampu menghidupkan kembali gairah pemberantasan korupsi di internal KPK. Melihat perkembangan yang ada, tidak terbantahkan, dalam beberapa waktu terakhir KPK benar-benar kehilangan nyali membongkar skandal korupsi. Tidak hanya itu, di tengah impitan masalah, hanya figur dengan nyali besar yang akan mampu menggerakkan energi pemberantasan korupsi di KPK.

Dalam situasi seperti sekarang ini, hasil kerja panitia seleksi akan menjadi pertaruhan terakhir masa depan KPK. Keliru memilih nakhoda baru, kapal retak KPK yang sedang oleng akan menambah monumen kegagalan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Karenanya, jangan memilih calon nakhoda yang berpotensi membangun kompromi dengan istana dan episentrum korupsi lainnya.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari kompas, 23 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan