Mencari (cari) Kesalahan Susno

Sial betul jenderal polisi bintang tiga itu. Upayanya membongkar skandal di institusi kepolisian dihadang badai besar. Kalau Sri Mulyani ”dibuang” dengan bungkus puja-puji, tidak demikian dengan Susno Duadji.

Hari ini, niat membersihkan institusi kepolisian yang dicintainya dihadang ruang tahanan dingin di Markas Brimob Kelapa Dua. Ia dijadikan tersangka dan ditahan dengan tuduhan suap. Sementara skandal para jenderal yang dibongkarnya seperti tak tersentuh.

Poin yang paling disesalkan publik agaknya tertuju pada kesan overprotective-nya kepolisian. Padahal, bukan hanya kasus Gayus dan Arwana masalah di lembaga ini. Data PPATK tentang 15 transaksi keuangan mencurigakan para petinggi Polri masih misteri. Dan, nasib sebagian besar dari 1.094 laporan hasil analisis PPATK ke kepolisian per Maret 2010 juga tak jelas.

Padahal, informasi tersebut sangat berharga untuk membongkar kejahatan besar, tetapi sekaligus rentan disalahgunakan dalam praktik mafia hukum. Sebagai polisi yang pernah bertugas di PPATK, Susno Duadji tentu sangat mafhum. Agaknya karena ini jugalah Susno dipandang sebagai ancaman. Karena bukan tidak mungkin, ia akan membongkar skandal yang lebih tinggi dari jabatannya.

Peniup ”terompet”
Fenomena di atas jelas bukan persoalan kecil. Masalah yang sangat rumit seperti ini tidak mungkin bisa dibongkar tanpa peran dan kerja sama ”orang dalam”. Meskipun, kadang ”orang dalam” tersebut sekaligus juga pelaku ”minor” kejahatan.

Apakah Susno Duadji pantas disebut whistleblower?
Mengacu pada pengertian harfiah ”peniup peluit”, yaitu orang yang bersiul, berceloteh, membocorkan, atau mengungkap fakta pelanggaran hukum di lembaganya (ICW-ICJR, 2008), Susno dapat diklasifikasi sebagai whistleblower. Atau, setidaknya sebagai ”saksi pelaku” yang dapat berkontribusi membongkar skandal yang lebih besar. Akan tetapi, yang ditiup Susno tentu bukan lagi hanya peluit kecil. Ia sedang meniupkan terompet besar pada publik tentang apa yang terjadi dibalik gelap gulita institusi kepolisian. Sungguh tuli mereka yang tak mendengarnya!

Selain Susno, kita pernah dihadapkan dengan sejumlah kisah sedih para whistleblower. Sebut saja Vincentius Amin Sutanto yang mencoba membongkar dugaan manipulasi pajak senilai Rp 1,3 triliun di tempatnya bekerja. Bukannya mendapat apresiasi, Vincent justru justru dituntut 12 tahun penjara dan divonis 11 tahun. Sementara kasus utamanya masih terkatung-katung antara Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung.

Nasib buruk para whistleblower ini tidak bisa dianggap angin lalu karena jika para peniup peluit terus dibungkam, sesungguhnya kita sedang ikut menghancurkan masa depan pemberantasan korupsi dan mafia hukum. Karena itulah, posisi Susno Duadji sebagai whistleblower harus diperjuangkan dan dibela. Bukan karena ia pasti bersih, melainkan lebih karena kita rindu kepolisian yang tak terjangkiti mafia hukum.

Apologi
Publik mungkin bertanya, apakah tidak ada yang sadar bahwa pengungkapan mafia hukum melalui sarana whistleblower sungguh penting? Di mana pemerintah atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu bicara tentang pemberantasan korupsi dan mafia hukum? Melalui beberapa stafnya pernyataan yang muncul justru tidak akan mengintervensi proses hukum Susno. Selebihnya, Presiden absen dan cenderung lupa dengan urgensi whistleblower.

Padahal, kalimat ”tidak akan mengintervensi proses hukum” sangat bertentangan dengan apa yang diyakini Presiden ketika membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Bahwa realitas mafioso sudah sangat akut dan hampir melumpuhkan penegakan hukum kita. Jika demikian adanya, konsistenkah cara berpikir, menyerahkan kasus Susno secara hukum, padahal institusi hukum itu sendiri masih tersandera gurita mafia? Dengan mudah kita bisa katakan, pemerintah sedang membangun apologi dan menghindar dari tanggung jawab memberikan proteksi politik terhadap whistleblower.

Jika saja pemberantasan korupsi dan perang terhadap mafia hukum ini serius dan Presiden tidak main-main, yang paling darurat dilakukan adalah membekukan sementara kewenangan kepolisian menyidik anggotanya sendiri dan menyerahkannya kepada lembaga lain; serta memproteksi whistleblower dan ”saksi terlibat”. Bukan justru membiarkan kesalahan si peniup terompet dicari-cari agar ia bungkam dan tunduk. Berhentilah berapologi.

Febri Diansyah Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan