Menanti Progresivitas KPK

DRAMA panjang yang melilit anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samat Riyanto dan Candra M. Hamzah, akhirnya mencapai klimaks setelah sekian lama keduanya berjuang habis-habisan melawan resistensi Polri. Perjuangan itu membangkitkan simpati jutaan orang. Hasilnya, beberapa aksi demo pun terjadi di mana-mana.

Tak sia-sia, akhirnya kerja keras itu pun menghasilkan buah. Anggota KPK nonaktif Bibit Samat Riyanto dan Candra M. Hamzah pada 1 Desember lalu resmi bebas dari tuduhan sebagai tersangka. Ini sekaligus menjadi langkah awal yang baik untuk KPK dalam kinerja ke depan terkait tugasnya memberantas korupsi.

Harapan baru pun muncul terhadap KPK. Dengan kembalinya kedua anggota KPK tersebut, diharapkan koruptor-koruptor di negeri ini bisa diberantas sampai ke akar-akarnya. Pengaktifan kembali Bibit-Candra itu memungkinkan mereka untuk melanjutkan misi yang sempat terhenti. Pasalnya, heroisme yang muncul dari publik terhadap Bibit-Candra tak lepas dari keinginan masyarakat agar pemberangusan korupsi di Indonesia terselesaikan.

Dengan demikian, pasca pencabutan status tersangka tersebut, mau tak mau, KPK harus menjawab semua tantangan yang sudah tergelar lebar di hadapannya. Meski sampai saat ini korupsi masih sulit dimusnahkan, setidaknya, kehadiran KPK yang memiliki kekuatan baru dari masyarakat itu menjadi starting point yang bagus untuk ke depan nanti.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah KPK siap menghadapi ribuan rintangan tersebut? Sebab, realitasnya, mafia-mafia peradilan terus menunjukkan kekuatan yang semakin mengakar. Kausalitasnya dengan korupsi adalah, seolah tercium semacam indikasi kongkalikong yang diperagakan para pelaku korupsi dengan para mafia peradilan. Itulah sesungguhnya ancaman yang berbahaya, bahkan akan membunuh gerakan KPK itu sendiri.

Di sinilah sebenarnya letak kesemrawutan hukum di Indonesia. Satu sisi, peradilan hukum memiliki tanggung jawab untuk mengatasi permasalahan. Di sisi lain, para birokrat penegak hukum lebih sibuk dengan egoismenya sendiri serta selalu terjerat dan tidak bisa lepas dari nafsu pragmatismenya. Padahal, kebutuhan yang sebenarnya bukanlah mengejar sesuatu yang bersifat sementara (pragmatis). Keterjebakan para mafia peradilan terhadap pragmatisme itulah yang berimbas kepada keamburadulan penegak hukum bangsa kita.

Munculnya kepentingan-kepentingan personal dari para mafia peradilan kita mengharuskan KPK selaku musuh besar koruptor untuk menciptakan semacam otoritarianisme tarhadap pelaku-pelaku kejahatan tersebut. Kaitannya dengan ini, Jean-Jacques Rousseau menegaskan bahwa kontrak sosial yang menjadi landasan terbentuknya komunitas politik memiliki justifikasi untuk memberikan kekuasaan absolut kepada lembaga politik atas para anggota komunitas tersebut. Bila kekuasaan itu dijalankan berdasar kehendak umum, otoritas tersebut mengemban istilah kedaulatan.

Sebaliknya, John Locke beranggapan bahwa otoritas tertinggi lembaga politik yang memiliki justifikasi hanya berlaku atas masalah-masalah yang layak dikendalikan negara bersangkutan. Sedangkan dari aspek tataran praktis, pemerintah dan para penegak hukumlah yang memiliki kewenangan secara keseluruhan.

Perlu digarisbawahi bahwa kewenangan itu hanya temporal. Dalam hal ini, sudah barang tentu negaralah yang tetap memegang kekuatan otoritas tertinggi. Namun, setidaknya, sikap yang diembankan terhadap KPK tersebut secara tidak langsung akan memberikan pengaruh besar dalam pemberantasan korupsi.

Menghindari Chaos
Setelah perseteruan dengan Polri, KPK harus mampu menunjukkan progresivitas dalam menjalankan gerakannya. Ini bukan berarti mengharuskan KPK terlibat dalam persengketaan dengan lembaga penegak hukum lain seperti kasus yang lalu. Itu hanya sebagai penegasan sikap bahwa arah gerakan KPK lebih bersifat masif dan kontinu. Di sini, KPK harus berhati-hati dan sebisa-bisanya menghindari chaos dengan penegak hukum yang ada.

Dengan menghindari chaos, setidaknya, kerja serta peran KPK akan mampu menjadi formula baru dalam menyingkap kasus-kasus korupsi di negeri ini. Selain itu, hubungan yang baik antar-penegak hukum memungkinkan sekali terciptanya harmonisasi dalam memberantas kejahatan-kejahatan korupsi. Namun, permasalahannya, dapatkah para penegak hukum itu, terlebih KPK, memegang teguh amanat yang sudah diberikan masyarakat?

Masalahnya, dalam setiap tataran sistem pemerintahan, khususnya ranah kekuasaan, kepentingan-kepentingan personal kerap mengalahkan kepentingan umum. Machiavelli pernah mengatakan bahwa dalam diri manusia selalu tersimpan kepentingan. Memang benar, setiap orang pasti mempunyai kepentingan. Entah kepentingan yang bersifat temporal (pragmatisme terhadap diri sendiri) ataupun demi kemaslahatan bersama (umum). Yang menjadi persoalan, sering kepentingan itu bersifat individualistis.

Parahnya lagi, penyakit kepentingan tersebut justru diterapkan dalam sistem penegakan hukum di negeri ini. Hasilnya, ketidaktegasan penyelesaian sebuah perkara sering menjadi paradoks, yang ujung-ujungnya berakhir pada kericuhan yang tidak menghasilkan solusi, seperti yang baru saja terjadi akhir-akhir ini. Jika kondisi semacam itu terus bertahan dalam diri para penegak hukum negeri ini, tidak tertutup kemungkinan hukum peradilan kita selamanya akan mandul.

Selamanya, satu-satunya yang akan dihasilkan penegak hukum kita adalah masalah dan masalah, bukan penyelesaian masalah. Ironis sekali, mengingat ini sangat bertolak belakang dengan misi dan peran penegak hukum itu sendiri. Jika demikian, untuk apa lembaga penegak hukum tersebut dibuat? Dari sinilah, kiranya, diharapkan KPK dengan kekuatan baru itu mampu menjalankan tugas sesuai dengan rel yang sudah ditetapkan. Semoga.

M. Romandhon , direktur pelaksana Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Universitas Negeri Yogyakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 3 Desember 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan