Menanti Keterbukaan Banggar

SETELAH pemanggilan pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR oleh KPK terkait dengan dugaan suap dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (PPID) di Kemenakertrans, hubungan dua lembaga itu memanas. Sebelumnya, Banggar menanggalkan rencana pemeriksaan KPK karena merasa kewenangannya adalah mandat dari DPR. Karena itu, sebelum diperiksa, lembaga ini merasa perlu mengembalikan dulu mandat itu ke DPR. Pemeriksaan KPK pun urung dilaksanakan. Banggar meminta konsultasi terlebih dahulu dengan KPK.

Di sisi yang lain, KPK sepertinya enggan berkonsultasi dengan Banggar. Sudah dua alasan dilayangkan komisi itu agar tidak bertemu (SM, 29/09/11). Alasan pertama saat undangan konsultasi disampaikan DPR ke KPK adalah jumlah pimpinan komisi tak lengkap.
Alasan kedua lebih tegas, yaitu KPK menolak konsultasi karena masih menyidik sangkaan suap dana PPID di Kemenakertrans dan pimpinan Banggar menjadi terperiksa. Penolakan KPK ini diambil sebagai bentuk kredibilitas dan independensinya mengusut korupsi.

Mencermati saling ngotot antara Banggar dan KPK, muncul pertanyaan siapa sesungguhnya yang benar? Apakah Banggar DPR yang bersikukuh pada mandat kewenangannya atau KPK yang menjaga independensinya? Berdasarkan Pasal 104 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3),  Banggar DPR memang dibentuk oleh DPR sebagai bagian dari alat kelengkapan DPR yang sifatnya tetap. Banggar menjadi satu dari 12 alat kelengkapan yang dimiliki lembaga wakil rakyat itu.
Sebagai alat kelengkapan, Banggar diberi tugas membahas bersama pemerintah dalam menentukan pokok kebijakan fiskal dan menentukan prioritas anggaran sebagai acuan bagi kementerian atau lembaga negara. Pembatasan tugas Banggar ditentukan pada Pasal 107 Ayat (2) UU MD3 bahwa Banggar hanya membahas alokasi anggaran yang sebelumnya ditentukan oleh komisi.

Dengan tugas yang cukup jelas, agak susah bagi Banggar mengembalikan mandatnya ke DPR. Pasalnya sebagai alat kelengkapan dan tugasnya spesifik, Banggar telah kompetensi yang tak akan bisa diintervensi alat kelengkapan internal lainnya.
Banggar memiliki kemandirian menjalankan tugasnya sebagai pembahas anggaran. Artinya, inisiatif mengembalikan kewenangan ke DPR menjadi tak terlalu penting karena tugas masing-masing alat kelengkapan, termasuk Banggar, sudah dilokalisasi oleh undang-undang.

Posisi KPK
Sikap KPK yang menolak bertemu Banggar, karena ingin menjaga independensi, juga tidak bisa disalahkan. Hal itu mengingat sekarang sedang memeriksa kasus suap dana PPID di Kemenakertrans, dan salah satu terperiksanya adalah pimpinan Banggar. Di samping itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pasal 36 Ayat huruf a tegas melarang pimpinan KPK melakukan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apapun. Aturan ini adalah penjaga bagi pimpinan KPK agar tetap independen melaksanakan tugas dan kewenangannya mengusut korupsi.
Pasal penjaga independensi itu juga penting untuk melindungi KPK supaya tak diberondong dan diserang oknum tertentu. Kasus Nazaruddin menjadi pelajaran. Tatkala pimpinan KPK bertemu dengan Nazaruddin pada 2009 dan 2010, KPK seperti bertekuk lutut tanpa ampun dicecar dan dihantam oleh pernyataan tertentu dari oknum tertentu pula yang bertujuan melemahkan KPK.

Atas dasar itulah, sepertinya tidak keliru bagi pimpinan KPK menolak konsultasi dengan Banggar sepanjang kasus suap dana PPID di Kemenakertrans belum rampung diadili.
Polemik Banggar dengan KPK harus cepat diselesaikan. Hubungan yang panas mesti didinginkan. Ada kepentingan yang lebih besar ketimbang bersikukuh pada posisi masing-masing, yakni perihal pemberantasan korupsi. Banggar harus legawa dan terbuka untuk diperiksa KPK. Pendek kata bila Banggar tidak melanggar prosedur ketika membahas anggaran, kenapa tak mau terbuka.

Kerja sama dan sikap kooperatif Banggar membongkar dugaan kasus suap dana PPID di Kemenakertrans pasti bakal dicatat oleh publik sebagai prestasi luar biasa akan keikutsertaannya memberantas korupsi di negeri ini. (10)

Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 30 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan