Menanti Intervensi Presiden

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak campur tangan dalam penuntasan kasus Gayus HP Tambunan dikhawatirkan hanya untuk membungkus ketidakberanian Presiden untuk membongkar simpul besar para mafioso hukum di negeri ini. Republik kita tidak boleh dikalahkan oleh seorang Gayus.

Disadari atau tidak, eskalasi konflik kasus mafia pajak Gayus Tambunan sesungguhnya teramat luas. Ada banyak lapisan kepentingan yang membonceng biduk ke hilir dalam penuntasan kasus tersebut. Namun, segala kepentingan politik yang ada di baliknya tidak boleh determinan daripada upaya penegakan hukum dan agenda pemberantasan para mafioso pajak.

Jika diuraikan, paling tidak ada lima lapisan kelompok yang berada dalam pusaran konflik kasus Gayus. Di antaranya kepolisian, kejaksaan, Direktorat Jenderal Pajak, wajib pajak, dan terakhir para politikus. Tarik-menarik kepentingan ini membuat penegakan hukum menjadi mandul, sementara pada sisi berseberangan posisi tawar Gayus melambung tinggi karena memiliki kartu truf masing-masing pihak.

Kondisi ini tentu membuat upaya penegakan hukum menemui jalan buntu. Penuntasan kasus ini hingga menjerat aktor intelektual dipastikan hanyalah angan belaka karena berada pada tangan yang salah. Yang ramai justru skandal demi skandal sebagai efek domino karena tidak seriusnya aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini.

Sepuluh kejanggalan
ICW mencatat setidaknya ada sepuluh fakta kejanggalan dalam proses penegakan hukum dari awal hingga kondisi terakhir kasus ini bergulir. Yang teranyar tentu desain sistematis kepolisian untuk menghindar dari simpul besar kasus mafia pajak yang turut melilit para petinggi di institusi tersebut.

Hal ini bisa dilihat dari kasus yang didakwakan kepada Gayus yang justru tidak ada kaitannya dengan asal-muasal kasus ini mencuat ke permukaan.

Tidak terbayang di benak publik sedikit pun kalau Gayus justru akan dijerat dengan kasus PT SAT yang nilai kerugiannya hanya Rp 570.952.000, sementara kasus utama (main case) rekening sebesar Rp 28 miliar dan safety box sebesar Rp 75 miliar tidak jelas ujung pangkalnya. Di mata kepolisian, seolah-olah ikan teri lebih besar daripada ikan paus.

By design, pilah-pilih kasus ini dicurigai sebagai upaya kepolisian untuk melokalisasi keterlibatan para petinggi di institusinya. Cara-cara lama yang sebenarnya amat mudah untuk diteropong oleh publik. Buktinya hingga kini yang terjerat hanyalah pemain tambahan, bukan ”pemain inti” di kepolisian.

Kondisi sengkarut ini seharusnya diurai secara cepat oleh Presiden. Sebagai kepala negara, beliau harus terlibat dalam membenahi ini semua. Dalam kasus Gayus, kepolisian tidak mungkin lagi dipertahankan untuk menuntaskannya, karena mustahil memercayakan sebuah proses hukum pada sistem yang ”rusak”.

Maka, tindakan intervensi dari Presiden menjadi sesuatu yang teramat penting. Tindakan intervensi tersebut pada prinsipnya bukanlah sebuah ”dosa” yang perlu ditakutkan. Sepanjang itu positif bagi pemberantasan korupsi, publik pasti akan mendukung untuk itu.

Justru yang seharusnya ditakutkan Presiden adalah tidak terungkapnya kasus ini hingga tuntas. Karena kegagalan kepolisian sejatinya adalah kegagalan Presiden juga sebagai seorang kepala negara.

Langkah intervensi Presiden sesungguhnya bisa dimaknai sebagai bagian dari upaya memperbaiki institusi kepolisian yang kadung salah arah dalam menangani kasus ini. Karena Presiden-lah yang paling memiliki legitimasi untuk itu. Hal yang tidak kalah penting, tentu ini bagian dari upaya untuk menuntaskan skandal mafia pajak Gayus Tambunan.

Langkah pertama yang bisa dilakukan Presiden adalah memerintahkan kepada kepolisian untuk bekerja sama dan menyerahkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sembari itu, Presiden harus menahan arus resistensi dari kelompok-kelompok tertentu jika kasus ini diambil alih.

Termasuk jika resistensi itu muncul dari internal kepolisian. Langkah ini menjadi amat penting untuk memperkuat KPK yang mengalami beban traumatis jika harus berhadapan dengan kepolisian. Luka-luka ”cicak” ketika berhadapan dengan ”buaya” belum sepenuhnya terobati.

Momentum perubahan
Penuntasan kasus Gayus ini seharusnya dijadikan momentum perbaikan oleh Presiden. Baik arahnya ke luar maupun ke dalam. Perbaikan ke luar ditujukan sesungguhnya untuk memperbaiki institusi kepolisian. Jika proses hukum kasus Gayus bisa tuntas di tangan KPK—hingga kemudian menjerat oknum petinggi kepolisian yang santer disebut-sebut oleh Gayus—maka sejatinya ini bentuk konkret dari reformasi kepolisian yang sedang digulirkan.

Adapun perbaikan ke dalam, tentu di tujukan bagi kinerja (performance) Presiden sendiri dalam upaya pemberantasan korupsi. Satu tahun kepemimpinan Yudhoyono dalam upaya pemberantasan korupsi sebenarnya telah membuat publik jengah. Tidak ada hasil konkret yang ditorehkan.

Yang ramai justru polesan dan kosmetik pemberantasan korupsi melalui pidato belaka. ICW sendiri pernah mencatat, setidaknya selama satu tahun kepemimpinan Yudhoyono, sebanyak 76 persen pernyataannya justru tidak terealisasi.

Sesungguhnya Presiden telah memiliki semua amunisi yang diperlukan untuk melakukan perang terhadap para mafioso hukum. Kewenangan konstitusional ditambah dengan legitimasi politik sudah lebih dari cukup untuk melakukan itu semua. Belum lagi pion-pion Presiden untuk melakukan perlawanan terhadap mafia hukum semacam satuan tugas. Yang kurang saat ini barangkali komitmen dan kesungguhan untuk melawan mafia, tanpa lagi terjebak dengan kepentingan politis kelompok tertentu.

Jika Presiden lamban, dipastikan para mafioso akan semakin menyandera negeri ini. Publik sudah menanti intervensi Presiden, bukan basa-basi pemberantasan korupsi.

Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch, Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 23 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan