Menanggulangi Korupsi Dengan Citizens Charter

Menurut informasi, mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di kota Medan tidak dipungut biaya sepeser pun. Benar atau tidak informasi tersebut, sedikit banyak membuat cemburu rakyat di daerah. Terutama di Deli Serdang yang berjarak tidak begitu jauh dari kota Medan. Bayangkan saja, untuk mengurus KTP di Tanjung Morawa--kecamatan di Deli Serdang--dibutuhkan biaya administrasi Rp 17.000. Itu pun KTP selesai dalam jangka waktu tiga minggu. Pengurusan KTP bisa lebih cepat--menjadi tiga hari, jika si nasabah atau pengurus KTP--rela membayar uang administrasi Rp 20.000. Jadi dengan menambah Rp 3000 pengurusan KTP di Tanjung Morawa menjadi lebih cepat.

Secara nominal apalah arti uang Rp 3000. Bagi masyarakat yang memang kepepet membutuhkan KTP cepat jelas sangat terbantu. Apalah arti uang tiga ribu rupiah dibandingkan dengan keperluan yang mendesak dan mensyaratkan KTP. Itu baru KTP, pengurusan Kartu Keluarga (KK) pun demikian juga. Selalu ada jalur lambat atau jalur cepat. Tergantung negosiasi kita. Mungkin, jika si nasabah iseng bertanya: apakah pengurusan KTP dapat dilakukan dalam jangka satu hari? Saya yakin jawaban si aparat adalah dapat. Namun, biaya administrasi tentu bertambah dua kali lipat.

Kasus KTP di Tanjung Morawa di atas hanya sekadar contoh betapa pelayanan publik yang dilakukan aparat birokrasi sangat terkait dengan biaya administrasi. Munculnya uang administrasi tersebut, baik jalur lambat dan jalur cepat bukan hanya terjadi dalam pengurusan KTP. Kalaulah kita anggap kelurahan/desa sebagai unit pelayanan masyarakat terkecil--birokrasi--maka hampir di seluruh lapisan birokrasi di atas desa juga mensyaratkan uang administrasi. Tentu perbedannya pada nilai nominal uang. Semakin tinggi kualitas dan kuantitas pengurusan, semakin besar uang administrasinya.

Korupsi Birokrat
Seorang tokoh politik, Lord Action pernah mengatakan adagium sangat terkemuka bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang korup cenderung sewenang-wenang. Jika pada awalnya kekuasaan diidentikan milik para politikus yang berkuasa, maka sekarang, kekuasaan juga dimiliki semua orang yang berhubungan dengan publik. Bagaimana rasa berkuasa tidak lahir jika setiap hari publik memerlukan aparat birokrasi agar segala urusan administrasi selesai. Nah, di sinilah sikap arogan aparat yang termanifestasi dalam berbagai uang administrasi dan sikap gila hormat lahir mengotori tugas utama sebagai pelayan publik.

Maka jangan heran dalam perkembangan selanjutnya birokrasi menjadi lahan subur berkembangnya budaya korupsi. Berbagai kemasan korupsi mulai dari yang halus sampai kasar lahir dari rahim lembaga pelayanan publik ini. Istilah-istilah seperti uang administrasi, uang terimakasih, uang lelah, uang kopi, uang lancar hingga uang pelicin menjadi teman akrab masyarakat ketika berhubungan dengan aparat birokrasi.

Begitu cerdasnya aparat birokrasi dalam mengemas dan mensosialisasikan korupsi dengan bahasa-bahasa yang cerdas pula menyebabkan masyarakat sering bertanya jumlah biaya administrasinya ketika berhubungan dengan aparat birokrasi. Begitu parahnya korupsi yang melanda birokrasi sampai kita sendiri kebingungan tidak tahu harus mulai darimana memberantas korupsi. Jika korupsi bukan lagi sebagai ancaman yang mesti ditaklukan, malah dalam beberapa hal menjadi pelicin, hidup lebih enak, sejahtera maka tidak mungkin pemberantasan korupsi menjadi gerakan efektif. Memberantas korupsi pun akhirnya sama saja memberantas sebagian besar aparat birokrasi. Sebab, hampir di semua posisi birokrasi negara sudah terjangkit virus korupsi, walau dalam istilah yang lebih halus. Dan itu sangat mustahil dilakukan.

Citizen's Charter
Jalan terbaik untuk kembali membersihkan birokrasi kita dari budaya korupsi tersebut adalah dengan pendekatan kesepakatan bersama (citizen's charter) terhadap seluruh kebijaksanaan yang terkait dengan kepentingan publik. Citizen charter merupakan suatu model untuk mengenali aspirasi, kebutuhan dan harapan pengguna layanan, seperti melalui survei pengguna layanan. Survei dilaksanakan secara berkala (6 bulan sekali) dengan menjajaki kebutuhan masyarakat dan mengetahui apakah pelayanan yang diberikan selama ini telah sesuai dengan harapan seluruh elemen pengguna layanan. Hasil survei inilah yang akan dijadikan kesepakatan bersama.

Siapakah yang berhak mengadakan kesepakatan bersama tersebut? Seluruh elemen masyarakat, aparat birokrasi dan stakeholder bersama-sama terlibat menggodok berbagai kebijakan publik. Dengan demikian antara elemen tersebut sekaligus berfungsi sebagai alat kontrol dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

Pendekatan citizens charter menawarkan banyak harapan agar birokrasi bersih dari budaya korupsi. Birokrasi akan dituntut untuk transparan kepada warga pengguna layanan dan stakeholders lainnya. Sebagai contoh, penentuan biaya pelayanan akta kelahiran, tidak secara sepihak ditentukan oleh birokrasi dan DPRD saja. Harus ada kesepakatan bersama antara masyarakat dan stakeholders. Hasil kesepakatan bersama tersebut sebagai acuan menentukan tarif pembuatan akta kelahiran. Jadi, ada sebuah standarisasi pelayanan yang dihasilkan kesepakatan bersama tersebut. Karena prosesnya transparan dan melibatkan seluruh elemen maka peluang korupsi dan dapat direduksi. Apabila masyarakat mengalami diskriminasi dalam hal pelayanan dan harga, maka masyarakat dapat melakukan class action kepada penyedia layanan, yakni aparat birokrasi.

Kelebihan lain dari pendekatan ini adalah transformasi budaya birokasi dari budaya kekuasaan menjadi budaya pelayanan prima. Terpaksa atau tidak, aparat birokrasi terikat dengan kesepakatan bersama. Mereka akan benar-benar menjaga etika pelayanan dari berbagai aspek. Mulai dari aspek mendasar, seperti sapaan ramah, selalu senyum, bersikap membantu dan empati hingga aspek terpenting penentuan tarif.

Akhirnya, masyarakat, stakeholders dan aparat birokrasi berada pada posisi sejajar, yaitu sebagai mitra. Karenanya, birokasi dalam memberi pelayanan harus mulai partisipatif dalam menentukan aturan main penyelenggaraan pelayanan. Masyarakat bukan sekadar obyek yang seenaknya saja dibebani berbagai macam biaya yang seharusnya tidak dipungut sepeser pun. Padahal setiap tahun masyarakat secara rutin sudah dibebankan berbagai pajak yang harus dilunasi.

Penutup
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sudah menerapkan citizens charter. Walau baru enam bulan penerapannya sudah ada beberapa sisi positif yang terjadi dalam perbaikan birokrasi. Pertama, jaminan pelayanan prima, kesan warga dilecehkan dalam berurusan dengan aparat birokrat tidak ada lagi. Kedua, saling memahami hak dan kewajiban antara aparat birokrat dan masyarakat, sehingga istilah 'ada uang urusan beres' tidak ada lagi. Antara masyarakat dan birokrasi sudah saling terbuka karena adanya kesepakatan yang disahkan kedua belah pihak. Ketiga, aparat birokrasi menjadi lebih peka terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian penerapan citizens charter menjadi hal urgen menciptakan aparat birokrasi yang bersih dan berwibawa. Masyarakat pun akan puas dengan pelayanan aparat karena semuanuya terbuka. Termasuklah penentuan biaya KTP antara Medan dan Deli Serdang kok bisa berbeda. Atau alasan mengapa ada tarif lambat, cepat, kilat dan super kilat.(Arfanda Siregar, M.Si, adalah Dosen Politeknik Negeri Medan)

Tulisan ini diambil dari Harian Waspada, 10 Okt 03 08:58 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan