Menakar Program 100 Hari SBY

PEKAN ini, usia pemerintahan SBY-Boediono dan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 sudah hampir 90 hari. Berbeda dengan situasi lima tahun lalu ketika SBY berduet dengan Jusuf Kalla, seratus hari pemerintahan SBY-Boediono kali ini secara internal diterpa banyak masalah: kriminalisasi KPK, Bank Century, dan kepemimpinan kepolisian. Umpama perguruan silat, tidak banyak jurus jitu yang dikeluarkan. Sebab, internal padepokannya diterpa masalah.

Secara teoretis dalam ilmu pemerintahan, ada asumsi deduktif bahwa masalah-masalah pemerintahan tidak akan mudah diselesaikan dan hampir mustahil diselesaikan dalam hitungan bulan, apalagi dalam hitungan hari. Apalagi, dalam kasus Indonesia terdapat begitu banyak problem internal pemerintahan.

Presiden Barack Obama, Kevin Rudd, ataupun Margateth Thatcher, dan puluhan pimpinan negara maju lain tidak berani mengklaim bahwa banyak masalah akan selesai dalam seratus hari. Bahkan, Amerika dan sekutunya saja gagal menemukan seorang "pejalan kaki berjenggot" bernama Usamah bin Laden selama bertahun-tahun. Apalagi, menyelesaikan masalah dalam negeri mereka yang lebih kompleks.

Begitu juga program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono kali ini. Ia adalah rencana yang kompleks dan tidak bisa disimplifikasi, misalnya pemberantasan korupsi, kebangkitan ekonomi, perbaikan nasib petani, peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi orang miskin, serta persoalan mendasar lain. Perubahan mendasar di Indonesia tidak bisa dilukis di atas meja dan disimpulkan di atas meja seperti klaim yang dilakukan Hatta Rajasa bahwa pada usia pemerintahan hari yang ke-72 pencapaian seratus hari sudah mencapai 92,5 persen.

Dalam perspektif ilmu pemerintahan, klaim Menko Ekuin itu serasa menggelikan dan bisa saja diartikan sebagai pernyataan yang sembrono. Tentu dia berpidato berdasar data. Tapi, melaporkan perkembangan keberhasilan pemerintahan dengan cara seperti itu, yang sedemikian simpel, adalah klaim yang kurang elegan.

Perbedaan Penafsiran
Karena peliknya masalah tadi, muncullah berbagai penafsiran dalam perspektif yang berbeda. Pertama, perspektif pemeritahan di satu pihak, vis a vis dengan perspektif publik atau rakyat pada umumnya.

Bagi sebagian publik, program 100 hari itu tampaknya diasumsikan sebagai janji SBY untuk menyelesaikan banyak masalah. Namun, di pihak SBY tidak sepenuhnya seperti itu. Maksud terakhir itu jelas dapat dicatat dalam pidato presiden di Istana Negara, 15 November 2004 yang mengatakan bahwa program 100 hari itu bukan dimaksudkan untuk menyelesaikan semua masalah dan jangan dipakai sebagai ukuran keberhasilan atau kegagalan pemerintahan (JP, 18/11/2004).

Dalam praktik pemerintahan, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti di Indonesia, belum ada data kuat yang mencontohkan bahwa sebuah rezim bisa mengubah tuntas persoalan-persoalan krusial yang membelit bangsa secara struktural dan kultural dalam hitungan bulan.

Contoh lain ialah bidang pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Ini adalah masalah krusial yang kompleks dan dinamis. Kalau presiden dan menteri pendidikan merencanakan sukses pendidikan 9 tahun bagi anak-anak miskin, terantar, dan tinggal di daerah pedalaman, itu tentu rencana bagus. Namun, mengasumsikan penyelesaian masalah ini dalam hitungan belasan bulan adalah suatu kesalahpahaman yang lain. Sebab, dengan begitu, berarti dia tidak memperhatikan bahwa dunia pendidikan bukan melulu urusan pemerintah, tapi juga urusan masyarakat dan swasta.

Kendala Internal
Terdapat beberapa alasan mengapa program 100 hari sulit dilaksanakan dengan tuntas. Dalam diri program ada pertentangan arah. Seperti diketahui, tim SBY adalah tim yang mempelajari atau memetakan keadaan. Fondasi dan nilai utama program 100 hari adalah kehendak untuk mengubah, mengubah dari kultur stagnasi dengan membangun hal yang baru.

Namun, celakanya, institusi dan sistem administrasi negara yang bekerja adalah institusi lama. Dalam pada itu SBY tentu tidak menghendaki revolusi, tapi perubahan yang berjenjang (incremental changes). Inilah salah satu alasan mengapa program 100 hari sulit dilaksanakan.

Setiap proses reformasi (termasuk program 100 hari) biasanya diikuti dengan gebrakan mendasar. Bisa dikatakan bahwa program 100 hari adalah program yang berasal dari atas dan menjadi isu tingkat atas. Padahal, agar efektif program tersebut harus diimplementasikan sampai ke bawah.

Menurut hemat saya, kendala pelaksanaan program-program pemerintah bukan saja bersifat teknis. Ia juga bisa berupa kendala kultural berupa faktor kesejarahan.

Usaha reformasi berlangsung relatif berbarengan dengan usaha menegakkan kepemimpinan yang kuat di pusat. Oleh sebab itu, walaupun banyak kalangan yakin bahwa program 100 hari sangat mendesak, secara serius hal itu mendapat ancaman dari dalam berupa kelambanan penanganan oleh sistem administrasi negara.

Sebagaimana data kultur birokrasi kita, dinamikanya biasanya mewariskan perilaku wait and see, pelan-pelan menunggu sambil melihat melihat.

Perkembangan sosial politik terakhir di tanah air yang menjadikan geliat internal pemerintahan masih mengindikasikan bahwa kekuatan respons pemerintahan kita belum secepat yang diharapkan. Di era yang disebut sebagai the era of openness and responsive government, era keterbukaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab ini belum menemui waktu dan tempatnya yang tepat. Bahkan, tampaknya belum ditemukan tim yang kuat untuk melaksanakannya dalam hitungan hari. (*)

Prof M. Mas'ud Said PhD, fungsionaris DPP Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan