Memutus Mata Rantai Korupsi

Kabar buruk dan menyedihkan menyangkut masalah pemberantasan korupsi ini adalah dicoretnya penyidikan dugaan korupsi Rp 12 miliar di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. oleh Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kabar buruk dan menyedihkan menyangkut masalah pemberantasan korupsi ini adalah dicoretnya penyidikan dugaan korupsi Rp 12 miliar di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. oleh Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lucunya, tim itu menyatakan, nilai korupsi di lembaga tersebut tidak signifikan untuk ditangani (Koran Tempo, 1/8).

Ironis sekali pernyataan Hendarman Supandji, ketua tim ini, bahwa dugaan korupsi Rp 12 miliar terlalu kecil untuk ditangani. Hemat saya, pernyataan itu telah melukai rasa keadilan masyarakat luas yang umumnya hidup di bawah garis kemiskinan.

Besar-tidaknya sebuah kasus korupsi itu sangatlah relatif, bergantung pada perspektif apa kita memandang. Persoalannya, menurut saya, kerangka pemikiran kita dalam memandang masalah korupsi bukanlah besarnya kasus, tetapi lembaga pemberantas korupsi harus berfungsi sebagai regulator keadilan untuk memutus mata rantai perilaku korupsi itu sendiri secara tuntas.

Untuk apa kasus besar korupsi ditangani kalau tujuannya hanya mencari popularitas yang menguntungkan para penguasa secara politik, sedangkan substansi pemberantasan korupsi yang sebenarnya menjadi terabaikan?

Lalu bagaimana cara memutus mata rantai korupsi ini? Dalam hemat saya, paling tidak ada enam langkah efektif yang bisa kita tempuh untuk menanganinya.

Pertama, pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh sebuah tim yang secara moral memiliki komitmen sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi. Dalam arti kata, upaya pemberantasan korupsi ini menuntut sebuah integritas moral tinggi dari para penegak hukum.

Kedua, di balik penanganan kasus korupsi itu ada sistem mafia peradilan yang berjalan linier dengan upaya pemberantasannya. Ironisnya, negeri ini tidak memiliki sistem atau mekanisme yang cukup baik untuk menjerat perilaku sosial seperti ini.

Ketiga, di samping negeri ini tidak memiliki para penegak hukum yang benar-benar steril dari aneka virus korupsi, hal ini diperparah pula oleh mekanisme hukum yang selama ini berlaku. Menurut saya, mekanisme delik hukum dalam KUHP peninggalan Belanda itu sudah saatnya direvisi karena banyak sekali hal yang secara prinsipiil tidak sesuai dengan perkembangan zaman modern kini.

Keempat, pemerintah, dalam hal ini adalah para penegak hukum, mestinya bekerja sama dengan DPR melakukan atau membuat konsep pemberantasan korupsi yang memadai. Kelima, bisa saja pemerintah dan DPR memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor.

Keenam, langkah rekonsiliasi pemerintah Afrika Selatan bisa jadi contoh. Pemerintah Afrika Selatan mengumumkan sebuah peraturan yang menjamin kehidupan lebih baik bagi para koruptor. Mereka akan diampuni dosanya dengan sejumlah catatan.

Pertama, para koruptor akan dikurangi hukumannya 20 persen bila berani mengaku yang disertai bukti-bukti bahwa dirinya telah melakukan korupsi dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya di depan pengadilan serta mengembalikan sejumlah uang yang telah dikorupsi. Bahkan hukuman ini bisa menjadi nol persen manakala bisa menunjuk orang lain yang juga melakukan korupsi dengan disertai bukti-bukti otentik di pengadilan.

Ini mirip gagasan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang berjanji membebaskan dari segala tuntutan hukum orang yang mau bekerja sama untuk mengungkap kasus korupsi. Sayangnya, pemikiran ini tidak dibarengi dengan konsep yang sistematis seperti yang dilakukan pemerintah Afrika Selatan.

Kedua, bila dalam batas waktu yang ditentukan para koruptor tidak melaporkan dirinya melakukan korupsi, jika penyidikan oleh lembaga berwenang seperti KPK menemukan bukti dia korupsi, hukumannya menjadi berlipat ganda.

Ketiga, bagi mereka yang mengakui kesalahannya, pemerintah memberi fasilitas kehidupan yang layak untuk satu periode, satu keturunan hidup dan keluarganya. Rupanya hal demikian menjadi obat mujarab untuk mengatasi kian menggejalanya perilaku korupsi di negara itu.

Mohammad Yasin Kara, Anggota DPR dari Fraksi PAN

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 2 Agustus 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan