Mempolisikan Polisi

Rasanya sulit, kalau tidak dapat dikatakan tidak mungkin, mewujudkan masyarakat yang tertib dan taat hukum manakala aparatur penegak hukumnya sendiri tidak berlaku tertib dan taat hukum. Sebab, sesuai dengan petuah orang-orang bijak, sapu yang kotor tidak bisa membuat lantai bersih. Kepolisian Republik Indonesia adalah bagian dari aparatur penegak hukum, malah merupakan lini terdepan dari sistem penegakan hukum di Tanah Air. Kalau kita tilik kinerja Polri, di sana akan didapati cukup banyak perilaku oknum Polri yang tidak tertib dan tidak taat hukum, baik dalam pelaksanaan tugas maupun dalam kehidupan sosialnya sehari-hari. Jika itu diurai secara terperinci, tentu tidak akan cukup ruang dalam kolom ini untuk disebutkan satu per satu.

Kondisi ini, selain sangat memprihatinkan, sekaligus ironis. Sebab, semestinya sesuai dengan panggilan tugas Polri (yang adalah aparat penegak hukum) dan ikrar profesinya (sebagaimana tertuang dalam Tribrata dan Catur Prasetya), maka setiap anggota Polri haruslah menjadi pelopor dan teladan dalam ketertiban dan ketaatan pada hukum. Namun, kenyataannya, justru masih cukup banyak oknum Polri hingga sekarang yang tidak mengaktualisasi sikap hidup dan cara bertindak yang selaras dengan panggilan pengabdiannya tersebut. Kenapa? Kalau kita telisik secara cermat dan menyeluruh, dari semua faktor yang ada, ternyata faktor kepemimpinanlah yang menjadi penyebab utamanya, yaitu ketidakkonsistenan dan ketidakkonsekuenan pimpinan dalam menerapkan aturan main yang dibuatnya, terutama dalam pengelolaan personel.

Padahal aspek personel inilah--sesuai dengan penelitian para pakar--sesungguhnya yang menjadi unsur penentu di semua domain kegiatan, terlebih lagi di sektor yang mengedepankan komponen manusia sebagai "mesin kerjanya", seperti halnya di lingkungan Polri. Terlebih-lebih karena obyek kerja Polri itu berkenaan dengan pengekangan bahkan pencabutan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia, yang memprasyaratkan tindakan anggota Polri yang tidak boleh tidak haruslah benar, tidak boleh salah/keliru, karena konsekuensinya bisa sangat merugikan masyarakat dan pranata hukum.

Sesungguhnya aturan main dalam pengelolaan personel Polri itu sudah cukup bagus (meskipun beberapa di antaranya perlu disempurnakan lagi sesuai dengan perkembangan keadaan yang dinamis), yang bila diaktualisasi secara konsisten dan konsekuen dijamin masih cukup "reliabel". Namun, karena tidak diimplementasikan demikian, timbul berbagai dampak negatif pada daya kinerja, kapabilitas, dan kredibilitas Polri. Bahkan juga terhadap soliditas institusi Polri. Ini disebabkan oleh banyaknya penempatan/penugasan dan pemromosian personel yang tidak sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh personel yang bersangkutan. Karena itu, personel tidak cukup cakap dan andal dalam menjalankan tugas, terlebih-lebih bila menghadapi situasi sulit/genting. Termasuk dalam menghadapi intervensi dari elite-elite tertentu serta manuver dari para mafioso hukum.

Belum lagi bila oknum Polri yang bersangkutan yang sewaktu mendapatkan promosi pangkat/jabatannya tempo hari dilakukannya dengan cara "membayar" atau memberi gratifikasi, maka ia akan mencari celah-celah guna dapat mengembalikan pengeluarannya tersebut. Sudah tentu ia akan menyeleweng, setidak-tidaknya ia akan memanfaatkan keberadaan pangkat/jabatannya untuk mengembalikan apa yang dulu telah dikeluarkannya. Sebab, tidaklah mungkin gaji dan segala tunjangan yang diperolehnya bisa disisihkan untuk itu. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari saja, gaji dan segala tunjangan itu tidak memadai. Hal inilah yang antara lain membuat banyak oknum Polri melakukan penyelewengan. Ini tentu tidak boleh terus dibiarkan, harus segera dihentikan. Jika tidak, selain akan terus merugikan masyarakat, akan semakin menjatuhkan kredibilitas Polri.

Mengingat kredibilitas Polri yang sudah begitu terpuruk di mata publik sekarang ini, maka tidak ada cara untuk memulihkannya selain harus memberantas oknum-oknum Polri yang nakal. Karena pembenahan apa pun yang akan dilakukan, jika oknum-oknum Polri yang tidak becus ini masih tetap bercokol dan berseliweran, akan sia-sia. Karena itu, pimpinan Polri tidak perlu eman-eman memecat oknum-oknum anggotanya yang brengsek. Sebab, masih sangat banyak warga yang ingin menjadi polisi yang baik untuk menggantikannya. Anggota-anggota sedemikian itu tidak perlu lagi dipertahankan karena mereka adalah benalu dan duri dalam daging yang akan terus menggerogoti dan menusuk dari dalam. Lagi pula, bila mereka terus dipertahankan, selain dapat berpengaruh negatif pada anggota Polri lain yang baik, akan menjadi beban bagi kesatuan, yang menyedot banyak energi dan perhatian untuk mengurusinya, yang semestinya itu lebih diperlukan untuk pekerjaan lain yang lebih penting guna mempercepat pengentasan kredibilitas Polri.

Untuk itu, seyogianya oknum-oknum Polri yang sekarang tengah bermasalah segera dituntaskan penanganannya. Janganlah institusi Polri yang besar ini dikorbankan hanya untuk menyelamatkan segelintir oknum Polri yang brengsek, siapa pun dia dan apa pun pangkatnya. Sebaiknya, pimpinan Polri tidak perlu segan-segan memecatnya, sebanyak apa pun itu. Lihatlah, misalnya, yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Meksiko Garcia Luna, yang begitu diangkat oleh Presiden Filipe Calderon untuk memangku jabatan tersebut segera melakukan pembersihan dengan tidak ragu-ragu memecat 284 pejabat tinggi kepolisian yang dinilainya buruk/tidak becus lagi, untuk kemudian mempromosikan 1.600 perwira dan merekrut sekitar 3.000 sarjana lulusan terbaik dari berbagai pendidikan tinggi menjadi anggota polisi. Paralel dengan itu, ia menaikkan gaji polisi hingga dua kali lipat dan melengkapi para anggota polisi dengan perangkat teknologi informasi yang bisa memiliki akses langsung dengan lintas sektoral terkait. Hasilnya, citra polisi Meksiko yang sebelumnya sangat kusam berubah menjadi sangat cemerlang, hingga disebut sebagai polisi abad ke-21 (Tempo, 14 Oktober 2010).

Menindak tegas setiap oknum Polri yang brengsek tanpa pandang bulu akan mendongkrak kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Adalah keliru jika penindakan terhadap banyaknya oknum Polri yang brengsek dianggap akan semakin menjatuhkan kredibilitas Polri dengan alasan hal itu akan semakin membuka lebar borok Polri. Itu pandangan yang salah kaprah. Penindakan tegas terhadap oknum-oknum Polri yang brengsek itu akan memperlihatkan kepada publik bahwa Polri sungguh serius melakukan pembenahan dan pembersihan lingkup internal. Sebab, akan mendapat apresiasi dan dukungan besar dari publik. Sebaliknya, jika oknum-oknum Polri yang brengsek itu terus ditutup-tutupi atau dilindungi, padahal masyarakat luas sudah pada tahu, Polri justru akan makin terpojok dan menjadi bulan-bulanannya publik, yang akan berdampak lebih lanjut pada makin anjloknya kepercayaan dan dukungan publik kepada Polri.

Upaya lebih lanjut yang perlu dilakukan adalah penertiban terhadap pelaksanaan pelayanan Polri di semua lini, baik pelayanan ke dalam (lingkup internal Polri) maupun pelayanan ke luar (kepada publik), yang hingga sekarang ini masih sangat banyak yang belum tertib dan bersih dari penyalahgunaan wewenang (seperti pungutan liar, suap, korupsi, kolusi, nepotisme, gratifikasi) yang dilakukan dengan macam-macam cara dan modus, di antaranya dengan cara menjebak pelanggaran, mencari-cari kesalahan, merekayasa kasus, memperpanjang/mempersulit proses, dan memuntir perkara. Kesemuanya ini harus segera ditertibkan dan dibersihkan secara komprehensif dan progresif. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap Polri yang anjlok akan sulit segera terentaskan. Paralel dengan itu, para pimpinan Polri, dari eselon terendah hingga yang tertinggi, harus pula menjadikan dirinya sebagai model atau teladan bagi anak buah dalam pelaksanaan tugas dan dalam kehidupan sosial sehari-hari.
DAUD SIHOMBING, komisaris besar polisi yang bertugas di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 4 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan