Memperbaiki Citra Direktorat Jenderal Pajak

Kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya pengetahuan tentang pajak dan persepsi terhadap petugas pajak. Meski belum pernah ada penelitian berkaitan dengan kedua faktor ini, diduga tingkat pengetahuan sebagian masyarakat tentang pajak masih rendah. Begitu pula halnya persepsi masyarakat terhadap petugas pajak ada kemungkinan kurang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingkat kesadaran membayar pajak yang masih rendah. Dari total penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta lebih, diperkirakan hanya 14 juta penduduk yang menjadi wajib pajak. Dari 14 juta penduduk ini pun 70 persen di antaranya merupakan wajib pajak badan bukan perseorangan.

Tingkat kesadaran membayar pajak yang rendah juga terefleksi dengan tingkat penghindaran pajak (tax avoidance) yang sangat tinggi. Ini bukan hanya terjadi pada wajib pajak perorangan, bahkan juga wajib pajak korporat. Mau bukti? Perusahaan besar sekelas Pertamina dan Grup Bakrie pernah mencoba mengemplang pajak dengan melaporkan pendapatan lebih rendah.

Berkaitan dengan hipotesis bahwa persepsi masyarakat terhadap petugas pajak yang kurang baik, maka munculnya kasus makelar pajak yang "diotaki" Gayus Tambunan akan semakin membuat citra Direktorat Jenderal Pajak semakin terpuruk di mata publik. Akibatnya, kasus yang diduga juga melibatkan aparat hukum lainnya ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Berbagai tanggapan tersebut pada intinya adalah merefleksikan kekecewaan, keprihatinan, sekaligus kemarahan.

Salah satu bentuk refleksi atas kekecewaan tersebut adalah munculnya "gerakan boikot membayar pajak" yang dilakukan publik melalui situs jejaring sosial Facebook. Konon jumlah pendukung gerakan ini telah mencapai 53 ribu pengguna Facebook lebih dan setiap hari terus bertambah. Meskipun gerakan boikot membayar pajak ini pada awalnya hanya merupakan bentuk kekecewaan dan ungkapan emosional sesaat, gerakan ini perlu diwaspadai. Apabila gerakan ini terus berlanjut serta tidak disikapi dengan cepat dan bijaksana, dikhawatirkan akan berdampak pada pencapaian target penerimaan pajak tahun ini, yang mencapai Rp 697,34 triliun.

Memperbaiki citra
Kita bisa memahami emosi masyarakat melalui gerakan boikot membayar pajak, meskipun jelas-jelas ini tidak dapat dibenarkan. Masyarakat yang selama ini taat membayar pajak memang berhak mengetahui ke mana aliran dana pajak mengalir. Dengan membayar pajak, masyarakat tentu berharap pajak tersebut dikelola dengan benar sehingga berimbas balik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan yang lebih baik.

Tentunya yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai gerakan boikot membayar pajak justru dimotori oleh masyarakat yang selama ini memang enggan membayar pajak. Kalau ini yang terjadi, jelas ada kesan bahwa kasus Gayus Tambunan hanya dijadikan alasan pembenaran untuk tidak membayar pajak. Ini bukan berarti bahwa gerakan pemboikotan yang dilakukan oleh masyarakat yang selama ini taat membayar pajak dapat dibenarkan.

Masyarakat mestinya dapat membedakan antara membayar pajak dan kasus Gayus Tambunan. Membayar pajak merupakan kewajiban secara hukum karena pajak merupakan salah satu bentuk kontribusi masyarakat dalam pembiayaan program pemerintah.

Untuk itu banyak pihak menyarankan agar gerakan ini sebaiknya diposisikan sebagai pengawas dan penekan agar kasus Gayus Tambunan diusut tuntas. Sekiranya gerakan ini diarahkan untuk memboikot membayar pajak, maka jelas ini melanggar hukum sehingga gerakan ini harus diusut secara tuntas pula.

Sementara itu, dari sisi Ditjen Pajak, seusai kasus Gayus Tambunan, beban yang diembannya akan semakin berat. Bukan hanya beban untuk memenuhi target penerimaan negara dari perpajakan, namun juga beban memperbaiki citranya di mata publik yang kini tengah hancur. Setidak-tidaknya terdapat lima bagian dalam struktur jabatan Ditjen Pajak yang sangat rawan dirongrong aksi suap-menyuap petugas dengan wajib pajak, yaitu Bagian Pemeriksaan, Account Representative, Penagihan, Keberatan, dan Banding. Kelima bagian inilah yang harus mendapatkan prioritas untuk diperbaiki agar citra Ditjen Pajak pulih kembali.

Perbaikan citra Ditjen Pajak dapat dimulai dengan mempercepat pelaksanaan penilaian indikator kinerja individu, termasuk indikator integritas secara lebih detail dan tegas pada kelima bagian yang dianggap rawan suap tersebut. Setiap pegawai pada kelima bagian ini harus segera diusut asal-usul kekayaan melalui pembuktian terbalik. Sekiranya tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya, Kementerian Keuangan harus memberikan punishment yang tegas, bukan saja dalam bentuk sanksi administrasi, namun jika dipandang perlu, yang bersangkutan juga diberhentikan dari pegawai negeri sipil dan diproses berdasarkan hukum yang berlaku.

Melalui penelusuran daftar kekayaan ini diharapkan akan terkuak "keanehan" antara daftar kekayaan dan penghasilan. Mungkin saja karena kelihaian pegawai pada Ditjen Pajak, kita tidak akan menemukan hal-hal yang mencurigakan. Dalam situasi demikian, tim penilai harus menurunkan informan untuk turun ke lapangan guna melakukan klarifikasi kekayaan para pejabat, sehingga akan didapatkan data yang akurat.

Tentunya kita sangat berharap penelusuran daftar kekayaan pegawai pada Ditjen Pajak yang rawan suap akan mampu memperbaiki citra Ditjen Pajak. Harapan lainnya adalah Ditjen Pajak akan dijabat pegawai negeri sipil yang tidak hanya berkualitas, namun juga bermoral baik. Semua ini akan bermuara pada peningkatan integritas para pejabat dengan memberikan laporan kekayaan yang transparan dan akuntabel serta untuk menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance. Kasus Gayus Tambunan merupakan momentum yang tepat untuk mereformasi perpajakan dengan menciptakan birokrasi yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta meningkatkan pelayanan yang maksimal sehingga citra Ditjen Pajak di mata publik yang tengah runtuh akan terbangun kembali.
 
Makmun, PENELITI BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 16 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan