Membungkam Pengungkap Aib

Memaafkan bramacorah kecil untuk menangkap gembong mafia kejahatan adalah inti dari kerangka hukum perlindungan bagi pengungkap aib (whistleblower) kejahatan. Metode membujuk pelaku orang dalam untuk ”menyanyi” cukup efektif dalam mengurai kejahatan yang terorganisasi dan tersembunyi dari mata aparat.

Dalam konsep keadilan hukum yang kuno, pendekatan ini dianggap kontroversial karena yang namanya kejahatan—besar atau kecil—harus sama-sama dihukum. Pandangan yang udik ini rupanya masih bekerja dalam pengadilan kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom yang tak berani memberi keringanan hukuman bagi Agus Condro yang berjasa membongkar kasus ini.

Kita tahu kasus ini relatif sulit karena memiliki tingkatan sandungan yang tak kecil karena melibatkan puluhan orang di DPR, menyangkut istri mantan Wakapolri yang sekarang buron, dan belum terkuak apakah industri perbankan swasta berada di balik pendanaan kasus suap ini.

Ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya, Vincent Amin Sutanto, mantan pengawas keuangan PT Indosawit Subur (Asian Agri Group), malah dijebloskan ke penjara dengan hukuman berat, padahal informasi yang ia ungkap luar biasa penting: dugaan manipulasi pajak yang ditaksir bisa merugikan negara sekitar Rp 1,1 triliun.

Membeli harga diri
Tidak mengherankan memang karena realitasnya di sini yang diburu aparat hukum adalah penjahat kelas teri, bukan kakap, kebalikan dari sasaran pendekatan perlindungan saksi. Lihat saja datanya. Dalam penegakan hukum kasus korupsi dan pembalakan liar, misalnya, mayoritas yang diadili adalah kriminal kecil dengan rata-rata hukuman di bawah dua tahun penjara.

Ada keyakinan umum di sini, semakin besar nilai keuntungan yang dikorupsi, semakin sulit mereka diseret ke pengadilan. Uang yang dikorupsi cukup berlebih untuk membeli harga diri polisi, jaksa, dan hakim; menyewa pengacara tenar; mencukongi demonstran pendukung; serta membungkam sorotan kritis media.

Latar belakang pembentukan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berbeda dengan sejarah UU Perlindungan Pengungkap Aib (1989) di Amerika Serikat. Di sana program perlindungan saksi adalah representasi kemauan politik dalam penegakan hukum guna membongkar kejahatan yang sulit pembuktiannya secara konvensional. Program perlindungan saksi mendapat dukungan anggaran yang sangat kuat dari pemerintah yang memang membutuhkan dana yang tak sedikit.

Sebaliknya di Tanah Air, nyanyian pelapor atau saksi diharapkan dapat melecut aparat hukum yang mogok. Dengan kata lain, keperluan membentuk UU Perlindungan Saksi dan Korban yang diinisiasi gerakan sosial antikorupsi adalah untuk melecut kinerja penegakan hukum di tengah kepungan mafia hukum yang saat ini masih menggurita. Bisa jadi malah lembaga ”anjing penjaga” dan pengungkap aib dipandang sebagai musuh utama dari para mafia hukum karena mengganggu operasi mereka.

Sejak kelahirannya, UU Perlindungan Saksi dan Korban sesungguhnya telah kehilangan daya tarik yang paling utama: asas plea agreement dan plea bargaining, yang dalam pengalaman Amerika Serikat efektif membujuk para pengungkap aib bekerja sama dengan aparat hukum karena ada kepastian kebal dari tuntutan hukum atau pengurangan hukuman. Di sini keringanan hukuman tidak menentu dan hanya menjadi urusan kemurahan hati hakim di pengadilan.

Dalam perkembangannya, kebanyakan pelapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah korban dari pelaku kejahatan untuk minta perlindungan keamanan fisik, bukan pengungkap aib yang potensial membawa informasi penting untuk membongkar kejahatan terorganisasi. Atau, pelaku kejahatan yang sudah terpojok karena kadung dijadikan tersangka dan berharap dapat keringanan hukuman dengan menyeret pelaku yang lain. Kecil sekali kemungkinan pelaku kejahatan dengan inisiatifnya sendiri mau melapor ke LPSK, sementara kasus kejahatannya tak disentuh oleh kepolisian, kejaksaan, atau KPK.

Terobosan dari LPSK
Sampai di sini, sambil menunggu revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban untuk diharmonisasi dengan Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) yang sudah kita ratifikasi, perlu ada terobosan dari LPSK dan aparat penegak hukum supaya para pengungkap aib bisa terbujuk untuk bersaksi. Gairah masyarakat untuk melawan korupsi dan melaporkan kasus korupsi ke KPK atau Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, misalnya, harus dilihat sebagai potensi bagi program perlindungan saksi untuk melecut aparat hukum yang mogok.

Kasus penusukan terhadap Suhano, saksi pelapor yang gigih mengusut kasus dugaan korupsi alokasi dana Desa Banjarsari Wetan di Madiun senilai Rp 109 juta, dan sejumlah kasus kematian misterius orang- orang yang diduga terkait kasus yang sedang diadili yang luput dari perhatian publik sudah cukup memberi peringatan untuk lebih serius membenahi program perlindungan saksi. Ancaman fisik dan pembalasan langsung terhadap pengungkap korupsi sebenarnya belakangan ini sudah menggejala sebagai bentuk perlawanan balik koruptor, terutama di daerah-daerah dengan tingkat hubungan interaksi sosial yang pendek, sesuatu yang tak bisa dianggap angin lalu.

Teten Masduki, Sekjen Transparency International Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan