Membudayakan Korupsi
Tuesday, 25 July 2017 - 00:00
Tampak amat jelas adanya gejala mengangkat korupsi sebagai budaya. Artinya, tindak korupsi itu sama wajarnya dengan mengendarai mobil atau makan di restoran. Mengapa harus diributkan? Menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan (materi) diri sendiri itu wajar-wajar saja.
Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas-jelas mau menjatuhkan KPK meskipun dalihnya amat suci, yaitu membela KPK. Ada partai politik yang ingin membela ketuanya yang dituduh korup oleh KPK mengajukan praperadilan. Jadi, siapakah yang memimpin dan mewakili rakyat Indonesia selama ini?
Tugas para pemimpin itu hanya satu, membuat rakyat hidup sejahtera lahir batin, dengan memenuhi kebutuhan dasar rakyat, cukup pangan-sandang-papan, aman, sehat, bebas mengembangkan jati diri. Bukan menyejahterakan diri sendiri.
Dalam nasionalisme apakah mereka ini? Anak-anak sekolah diharuskan digembleng nasionalisme, sementara praktik para pemimpinnya justru a-nasionalis. Kalau guru kencing berdiri, anak akan kencing berlari. Tidak wajar apabila murid disuruh kencing dengan sopan, sementara guru-gurunya kencing berteriak sambil berlari. Namun, itulah yang dipamerkan mereka yang menyebut dirinya mewakili rakyat. Mereka ini menyebutnya sebagai kewajaran, baik-baik saja, benar dan seharusnya. Alasan mereka adalah kebebasan, hak individu, dan bunyi hukum.
Hukum itu bikinan manusia yang belum tentu profesional dan cerdas-bijaksana. Produk hukum yang demikian mudah sekali diputarbalikkan untuk membela para koruptor agar korupsi merupakan bagian dari cara hidup, kebudayaan, bangsa Indonesia.
Budaya korupsi itu bukan budaya bangsa Indonesia atau bangsa mana pun, tetapi budaya para pemimpinnya. Karena korupsi itu sudah menjadi kebudayaan para pemimpin, wajar-wajar saja kalau pemimpin ketahuan korupsi akan tetap senyum-senyum saja digiring KPK di depan kamera (publik).
Gaya hidup
Mereka tidak merasa bersalah sama sekali. Masa makan di restoran dikatakan berbuat jahat? Bagi mereka, korupsi itu kewarasan, yang tidak waras itu justru mereka yang menuduh tindak korup itu kejahatan. Rakyat Indonesia itu masih goblok, korupsi, kok, disalahkan.
Korupsi itu wajar-wajar saja di Indonesia. Tengoklah prasasti zaman Mataram Hindu, korupsi penarik pajak tanah itu sudah menjamur. Semakin besar korupsinya, seharusnya bangsa ini bangga. Itulah pencapaian prestasi. Korupsi ratusan juta? Ah, remeh-temeh. Itu sama sekali bukan korupsi. Prestasi tertinggi koruptor itu kalau setengah anggaran belanja negara dapat jatuh ke tangannya. Orang yang mampu berbuat seperti itu adalah Koruptor-Superman!
Korupsi sebagai budaya itu mirip fashion, mode, gaya hidup elegan penganutnya. Mereka yang IQ tinggi dalam korupsi tak akan mudah dibongkar KPK. Koruptor-koruptor raksasa yang cerdas-cerdas ini tentu diketahui oleh masyarakat koruptor itu.
Hanya maling yang dapat mencium cara-cara maling bekerja. Sebenarnya masyarakat korupsi ini sudah saling mengenal, bahkan mereka tahu kelas sosial masing-masing dalam tindak korupsi. Siapa saja yang masuk kelas elite koruptor, kelas menengah, dan kelas bawah (kelas teri). Itulah sebabnya, ketika seorang koruptor tertangkap, eksistensi masyarakat ini akan terancam. Untuk itu, mereka tidak segan-segan menyuap jaksa dan hakim untuk membebaskannya, atau sekurang-kurangnya menyepelekan tindak korup.
Tidak waras
Tersebarnya berita bahwa seorang nenek di desa yang mencuri pohon di hutan pemerintah dihukum lima tahun penjara, sedangkan koruptor miliaran rupiah hanya dihukum separuhnya. Lebih jahat mana, mencuri sebatang pohon (yang memang benar-benar perlu bagi hidupnya) atau mencuri uang negara (rakyat) miliaran rupiah?
Tentu saja nenek miskin itu yang jahat karena ketahuan mentah-mentah buktinya. Kalau tidak percaya, lihat sendiri di kantor polisi. Sementara koruptor miliaran rupiah itu mana buktinya? Uang itu tak bisa omong dan tak ada baunya. Siapa yang tahu itu ada di mana?
Sekarang ini para pembela koruptor sudah terang-terangan unjuk muka dan unjuk gigi di depan umum. Mereka sudah ingin memaklumkan bahwa korupsi itu tindakan yang lumrah dan biasa saja bagi para pemegang kekuasaan. Argumen mereka dalam membela koruptor kadang bodoh, tetapi juga ada yang cerdas dalam memainkan hukum. Bagaimanapun tujuan mereka sama, yakni bahwa korupsi hak istimewa para pemimpin, sudah budaya mereka, tidak perlu diganggu gugat lagi.
Cara berpikir tak waras ini tiap menit disiarkan media sehingga, seperti kata Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang tak waras ini kalau ditayangkan terlalu sering akhirnya diterima rakyat sebagai kewarasan juga. Ahok belajar dari metode Adolf Hitler ketika memimpin Jerman. Bagaimana rakyat Jerman yang terpelajar dan cerdas itu dapat dibenarkan untuk membenci Yahudi dan membinasakan mereka?
Korupsi yang sedang dibela, diperjuangkan, dibudayakan oleh sebagian pemimpin bangsa ini tentu saja akan menggiring bangsa ini menuju kehancurannya kalau benar-benar berhasil membubarkan KPK. KPK sebagai lembaga independen yang kecil ini mudah sekali digoyang lembaga-lembaga yang lebih besar. KPK seharusnya lebih diperkuat lagi mirip FBI di Amerika yang dipimpin Antasari-nya Amerika, Edgar Hoover (1895-1973).
Lembaga federal ini mendidik khusus para anggotanya dengan disiplin keras, kerja ilmiah, dan keterampilan militer. Lembaga semacam ini bahkan ditakuti presidennya, apalagi DPR-nya.
Negara ini milik rakyat. Kalau rakyat mau dijerumuskan oleh para pemimpinnya yang korup, apa akan berdiam diri saja?
JAKOB SUMARDJO, Budayawan
-----------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Membudayakan Korupsi".