Membubarkan KPK Ad Hoc

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dibubarkan. Itulah salah satu rekomendasi hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (SM, 08/08/11). Menurut LSI, karena berposisi sebagai lembaga ad hoc, dan ada indikator yang kuat maka bisa saja sewaktu-waktu lembaga tersebut dibubarkan. Bentuk indikator itu misalnya, indeks persepsi korupsi (IPK), dan Indonesia saat ini masih 2,8. Apabila nanti IPK Indonesia ditingkatkan hingga mencapai 9,3 seperti Singapura maka KPK dapat dibubarkan.

Rekomendasi LSI mengundang tanda tanya besar. Benarkah KPK lembaga ad hoc, yang  sewaktu-waktu bisa dibubarkan? Saya mempunyai pendapat agak berbeda mengenai KPK yang diposisikan sebagai lembaga ad hoc. Komisi itu dibentuk dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang disahkan Presiden pada 27 Desember 2002.

Undang-Undang KPK ini adalah perintah dari Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Mulai berlakunya UU Nomor 31 Tahun 1999 adalah sejak diundangkannya, yakni pada 16 Agustus 1999.

Kalau boleh jujur, bila ditentukan paling lambat masa dua tahun adalah masa akhir pembentukan KPK, sebenarnya UU KPK lahir prematur sebab tidak sesuai dengan hari perkiraan lahirnya. Perintah UU yang  menyatakan harus dua tahun lahir sejak 16 Agustus 1999 adalah maksimal tanggal 16 Agustus 2001 bukan 27 Desember 2002. Secara tata formal peraturan perundang-undangan, UU KPK mengalami cacat karena tidak memenuhi perintah undang-undang. Meski cacat, KPK tidak terpengaruh, lembaga itu tetap lahir dan bergerak memberantas korupsi.

Bagian menimbang huruf a UU KPK menyebutkan, pemberantasan korupsi yang dilakukan saat ini belum optimal oleh karena itu perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Undang-Undang KPK diterbitkan pengujung 2002. Artinya, KPK saat ini berusia lebih dari 7 tahun 6 bulan.

Kala itu, ada hasrat kuat memberantas korupsi sebab sudah menjadi benalu dalam pembangunan nasional. Korupsi menjangkiti banyak lembaga pelayanan publik. Di samping mewabahnya tindak pidana korupsi, lembaga pemerintah yang bertugas memberantas korupsi tak kunjung bekerja efektif dan efisien. KPK mutlak dibutuhkan kehadirannya.

Bukan Ad Hoc
Untuk menjamin agar KPK efektif dan efisien memberantas korupsi maka hukum menentukan KPK menjadi lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 UU KPK). Jaminan itu menjadi tanda pentingnya keberadaan lembaga tersebut. KPK harus diamankan dari kepentingan politik, kekuasaan ekonomi, atau intervensi apapun yang bisa menyusup. Sekali lagi, untuk kepentingan inilah maka KPK dibentuk independen.

Selama saya membaca UU KPK, tidak ada satupun pasal atau ayat yang menyebutkan KPK sebagai lembaga ad hoc. Apakah saya keliru membuka halaman di lembar UU tersebut sehingga tak menemukan kata ad hoc. Saya ulangi sekali lagi, tak ketemu. Sekali lagi, tetap tidak ketemu. Lalu, dari mana dasarnya menyatakan KPK adalah lembaga ad hoc, dan lebih parah lagi bisa dibubarkan.

Dalam UU KPK, lembaga pemberantasan korupsi ini adalah lembaga negara independen, yang melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen, bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, dibentuk untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya memberantas korupsi. Jika tidak ada kata ad hoc dalam UU KPK, bagaimana bisa menyimpulkan KPK adalah lembaga ad hoc. Tafsir apa yang begitu hebat mengajarkan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc, padahal tidak dijumpai satupun kata itu dalam aturan hukumnya.

Terakhir, sebuah lembaga pemberantasan korupsi akan bekerja lebih giat kalau kita, rakyat, mendukungnya. Dukungan itu dimulai dengan membubarkan keyakinan dalam diri kita bahwa KPK adalah lembaga ad hoc yang oleh karenanya bisa dibubarkan. Dan itu adalah selemah-lemahnya dukungan. (10)

Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 11 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan