Membersihkan Mafia Hukum

“Bersihkan seluruhnya”. Demikian instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sesaat sebelum berangkat ke Hanoi, Vietnam. Intinya, Presiden memerintahkan agar dilakukan pemberantasan menyeluruh terhadap praktek mafia hukum, tak hanya di Direktorat Jenderal Pajak, tetapi juga di seluruh instansi pemerintah lainnya.

Berangkat dari instruksi yang sangat terang itulah, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) terus bergerak, tanpa henti, berikhtiar membongkar praktek-praktek mafia hukum di mana pun. Namun, dalam rentang waktu kerja yang tersisa kurang dari 1 tahun 9 bulan lagi, Satgas harus hati-hati memilih prioritas dan fokus kerjanya, sambil menyadari batas-batas kewenangannya. Untuk itu, dalam upaya mendorong penindakan sindikat mafia, Satgas akan melakukan “tebang-matang” kasus-kasus yang terus bermunculan.

Menebang matang
Kasus yang ditebang-matang adalah kasus yang mempunyai bukti-bukti awal yang kokoh. Tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Bukan hanya kasus baru, tetapi juga kasus lama, misalnya BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Tebang-matang atas kasus wajib dilakukan. Sebab, dengan waktu kerja tersisa sekitar 630 hari, hingga Jumat (9 April 2010), Satgas telah menerima 567 pengaduan, dan akan terus bertambah. Dari jumlah pengaduan tersebut, tiga jenis kasus yang paling banyak adalah: sengketa tanah sebanyak 117, korupsi 70, dan penipuan 29. Sedangkan tiga instansi yang paling banyak diadukan adalah: MA dan pengadilan di bawahnya sebanyak 175, kepolisian 144, dan kejaksaan 86. Dengan beban kerja demikian, fokus pada kasus yang tebang-matang adalah strategi kebijakan yang harus dilakukan untuk menangani pengaduan masyarakat.

Yang harus ditegaskan, fokus tebang-matang tidak hanya berdasarkan nilai nominal rupiah yang besar, namun juga yang menyakiti rasa keadilan masyarakat, meskipun nilainya relatif kecil. Misalnya, yang menimpa keluarga Kadana di Indramayu. Dalam menjalani kasus pembunuhan yang didakwakan kepadanya, keluarga petani ini harus mengeluarkan dana hingga Rp 14,3 juta. Jumlah yang mungkin kecil bagi keluarga mampu, tetapi tentu angka yang sangat besar bagi Kadana sekeluarga. Untuk menyediakan uang sebesar itu, mereka harus menjual tanah pekarangannya, dan hingga sekarang, selama 9 bulan, harus tinggal di bekas kandang kambing. Kandang berukuran 2,5 x 1,5 meter itu harus disulap menjadi tempat berteduh bagi Darmini--istri Kadana--dan keenam anaknya yang masih kecil, tertua masih SMP, dan yang bungsu berumur 1,5 tahun. Lebih ironis lagi, pernah untuk mengantar uang hanya Rp 300 ribu kepada oknum polisi yang menipunya, Chasnawi--kakak Kadana--harus menaiki becak sejauh 10 kilometer. Tentu saja praktek mafioso demikian sudah terlalu jauh di luar batas toleransi. Satgas pun segera menurunkan timnya ke Indramayu dan berhasil memastikan oknum polisi ditahan dan menjalani proses hukum yang sepadan.

Presiden mengarahkan agar Satgas fokus kepada pengungkapan mafia hukum yang besar (big fish). Menurut saya, kategori big fish ada pada sembilan wilayah--tanpa mengecilkan mafia hukum di bidang yang lainnya--yaitu: mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia pertambangan dan energi, mafia kehutanan, mafia narkoba, mafia pertanahan, mafia perbankan dan pasar modal, serta mafia perikanan. Mafia peradilan tetap menjadi prioritas utama dan pertama yang harus dilakukan. Sebab, hanya dengan penegakan hukum yang bersih dari praktek mafia, maka penghukuman yang tegas dan menjerakan pada mafioso di sektor yang lain dapat dilakukan.

Tentu saja, upaya pembersihan sembilan wilayah mafia hukum tersebut tidak akan mungkin dilakukan oleh Satgas sendirian. Kami memahami batas kewenangan, limitasi waktu kerja dan beratnya medan perjuangan. Maka, selain dukungan penuh dari Presiden yang telah dikantongi Satgas, dukungan dari masyarakat adalah prasyarat yang harus hadir. Dalam konteks itu, peliputan berita oleh media massa adalah cara Satgas berkomunikasi dan mengharapkan dukungan positif dari masyarakat luas.

Pisau bedah

Jika mafia hukum diibaratkan sebagai kanker ganas dalam sistem hukum kita, maka pisau bedah operasinya, agar sel-sel kanker dapat dibersihkan semua, harus sangat tajam dan efektif. Telah banyak ide dan konsep yang ditawarkan. Di antara banyak teori itu, saya berpendapat audit kekayaan pejabat negara adalah pisau bedah yang lebih efektif untuk diterapkan. Di dalam pisau bedah audit kekayaan terdapat tiga elemen yang menyatu (three in one): analisis LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara)--termasuk analisis transaksi mencurigakan; analisis gaya hidup (life style); dan penguatan konsep pembuktian terbalik.

Jikalau pun LHKPN tidak dilaporkan dengan benar, gaya hidup pelaku mafioso pasti tidak akan berdusta. Pelaku pasti akan berusaha menikmati hasil praktek mafia hukumnya dengan membeli rumah, tanah, mobil, atau aset lainnya. Maka, dengan pisau bedah pembuktian terbalik, gaya hidup demikian harus dikroscek dengan pendapatan resmi yang seharusnya diterima. Dengan kroscek demikian, seharusnya tidak sulit untuk melihat ada kejanggalan yang mengarah pada indikasi kejahatan mafioso. RUU Tindak Pidana Korupsi yang baru merumuskan, untuk kekayaan yang tidak dapat dibuktikan keabsahan perolehannya, dapat langsung disita oleh negara.

Akhirnya, Presiden telah jelas memberi instruksi. Praktek mafia hukum harus dibersihkan semuanya. Jika masih ada yang mencoba-coba melawan, ia akan berhadapan dengan gelombang tsunami yang tak terkalahkan. Tugas sejarah demikian tentu tidak mudah, tapi kita tidak boleh menyerah. Untuk Indonesia ke depan yang harus terus makin baik, mari kumandangkan perlawanan untuk membersihkan praktek mafia hukum, di mana pun. *
 
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 22 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan