Membedah Politikus Amnesia

BILA sangkaan yang membelitnya benar dilakukan maka yang dialami oleh Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, ibarat peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga. Belum selesai menyelamatkan diri dari tuduhan suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, ia kembali mendapat sorotan atas kasus pemberian uang kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M Gaffar. Tidak tanggung-tanggung tudingan gratifikasi itu dilaporkan oleh Ketua MK Mahfud MD kepada Susilo Bambang Yudhoyono, ketua dewan pembina partai itu.

Relevansi ungkapan tertimpa tangga pada diri Nazaruddin adalah bahwa tuduhan kedua yang dia lakukan memberikan afirmasi atas tuduhan sebelumnya. Itu artinya bahwa atas kasus terakhir yang disangkakan kepadanya, ia rawan terhadap julukan politikus bohong. Dalam sebuah dialog di televisi Mahfud bahkan menyebut Nazaruddin sebagai penderita amnesia.

Predikat amnesia ini menarik dikaji lebih dalam. Faktanya, cap yang seharusnya menjadi derita, noda, stigma buruk, justru ampuh menjadi bunker pengaman bagi beberapa orang besar di republik ini untuk lepas dari jerat hukum. Sebut saja, dari Nunun Nurbaeti Daradjatun, salah satu tersangka dalam kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, mantan Bupati Kutai Kertanegara (Kukar) Syaukani HR terpidana 6 tahun kasus korupsi APBD, hingga Presiden Soeharto.

Terkait derita Nunun dicap amnesia, sering disuarakan keluarganya, termasuk Adang Daradjatun, suaminya, yang juga mantan Wakapolri. Tapi Sumarni, mantan sekretaris pribadi Nunun dalam kesaksian di persidangan kasus dugaan suap pada pemilihan Deputi Senior Gubernur BI menegaskan bekas bosnya itu hanya mengidap vertigo. (SM, 29/05/11)
Sekadar untuk menyegarkan pengetahuan pembaca, amnesia atau sumbu pendek ingatan adalah kondisi terganggunya daya ingat seseorang. Penderita gagal mengoleksi pengalaman yang telah dilakukan. Kondisi ini umumnya disebabkan faktor organik atau faktor fungsional. Trauma, toksin obat, atau kecelakaan bisa menjadi penyebab organik terganggunya fungsi ingatan. Adapun faktor psikologis dominan menjadi pemicu bagi terganggunya fungsi memori otak secara fungsional.

Amnesia lebih dari sekadar ketidakmampuan memunculkan kembali ingatan masa lalu. Kondisi ini juga seringkali menyebabkan penderitanya mengalami ketidakmampuan menggambarkan peristiwa yang bakal dialami. Pada kondisi tertentu, penderita justru melakukan rekonstruksi peristiwa yang akan dialaminya berdasarkan (preferensi) rekaman pengalaman yang mereka alami.

Akibatnya, ia tidak lagi berpikir akan kesalahan, hukuman, atau bahkan dosa sekalipun. Kegagalan tersebut membuat yang bersangkutan terlihat innocent (tak bersalah) dalam membuat pengakuan yang berseberangan dengan kebenaran.

Dijadikan Dalih
Dalam kasus-kasus besar korupsi yang melibatkan politikus atau tokoh nasional, pengakuan mereka acapkali berseberangan dengan fakta yang mereka lakukan. Meski deretan fakta telah mengepung, mereka enteng berkelit melakukan hal yang disangkakan. Atas fakta pengingkaran beberapa tersangka koruptor, publik layak curiga bahwa amnesia telah menjadi ”teknologi” penyelamatan diri agar bisa lolos dari jerat hukum.
 Amnesia telah menjadi alat mempertahankan ego individu atas agresi yang hendak mereka terima. Kecurigaan itu perlu dimunculkan karena pengalaman menempatkan pelaku korupsi kerap menggunakan dalih amnesia, akhirnya lolos dari jerat hukum.

Pertanyaannya adalah bagaimana dan pendekatan apa yang bisa digunakan membongkar skandal amnesia hingga hukum bisa ditegakkan? Sebenarnya penegak hukum bisa berpijak pada dua logika dasar. Pertama; kondisi amnesia merupakan self defense mechanism, artinya ada kecenderungan (oleh siapa pun) pelaku tindak kejahatan melindungi diri. Kedua; hilangnya kesadaran sesungguhnya merupakan ketidakmampuan alam sadar (penderita) melakukan deteksi lokasi memori. Artinya memori atas peristiwa tersebut masih ada, dan tersimpan rapi di  alam bawah sadar.

Kunci mengurai kasus itu terletak pada kapabilitas untuk membongkar memori terpendam di alam bawah sadar pelaku. Karenanya, logika amnesia (bila benar-benar amnesia, bukan berpura-pura) layak menjadi momentum bagi kita mendorong masuknya forensic hypnosis atau pendekatan bawah sadar lain masuk dalam hukum positif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, sebagai salah satu pendekatan untuk mengurai kejahatan korupsi. (10)

Hartono Sri Danan Djoyo, hipnoterapis, tinggal di Semarang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 31 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan