Membasmi Hakim Nakal

Banyaknya keluhan pencari keadilan tentang perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus perkara perlu mendapat perhatian serius.

Salah satu yang disorot publik belakangan ini adalah soal integritas dan profesionalitas hakim yang masih jauh dari harapan, termasuk hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam dua bulan terakhir, ada 40 terdakwa korupsi dibebaskan hakim Pengadilan Tipikor di berbagai daerah sehingga memantik usulan agar Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan.

Kesan yang diperlihatkan hakim-hakim Tipikor dalam memeriksa dan memutus perkara, selain kurang memahami hukum secara substansial (profesionalitas), juga tidak tahan godaan dan intervensi dari luar (integritas). Kedua kelemahan itu menyatu sehingga putusan hakim tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Untuk membasmi hakimhakim nakal,Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberi tugas kepada Komisi Yudisial (KY),terutama menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

KY merupakan salah satu lembaga negara (selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) dalam bidang peradilan. KY harus mampu membangun budaya kontrol yang terukur agar hakim bermartabat dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan. Fenomena maraknya hakim nakal tidak mungkin diberantas secara sendiri oleh KY.MA harus berperan aktif dan menerima hasil pemeriksaan KY secara gentlemen. Dalam berbagai kasus,penyimpangan hakim tidak berdiri sendiri tetapi terdesain dalam suatu mafia yang amat sulit dibuktikan, tetapi begitu nyata dirasakan publik.

Senjata Baru
Untuk membasmi hakim nakal, KY diberi senjata baru setelah revisi Undang-Undang KY disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).KY dapat meminta bantuan aparat untuk melakukan penyadapan terhadap hakim nakal, memanggil paksa saksi, bahkan memberikan rekomendasi penjatuhan sanksi kepada MA. Bila terdapat perbedaan sikap antara KY dan MA atas hasil pemeriksaan, keduanya secara bersama memeriksa hakim yang bersangkutan.

KY juga dapat menganalisis putusan hakim yang kemungkinan dijatuhkan karena diduga terjadi pelanggaran kode etik hakim.Meski senjata baru ini belum sesuai harapan publik, tetapi paling tidak bisa meredam konflik antar-institusi sekaligus menjaga kualitas hakim dalam menjatuhkan putusan. Pentingnya pengawasan hakim karena publik merasakan betapa sulitnya mendapatkan pelayanan yang jujur dan berkeadilan bila masuk ke pengadilan.

Terlalu banyak jebakan yang harus dilangkahi,mulai saat mendaftarkan perkara pada panitera,pembagian perkara kepada hakim yang khusus dipesan, pegawai pengadilan yang mengontak pengacara atau pencari keadilan, sampai pada hakim yang memeriksa perkara. KY tidak mungkin mengungkap jebakan mafia peradilan jika tidak diberi wewenang yang kuat. Misalnya, mengapresiasi perilaku hakim yang menyimpang dengan meneliti putusannya.

Apakah dalam putusan fakta-fakta yang terungkap di depan sidang betulbetul diapresiasi dalam pertimbangan hukum atau malah diabaikan. Pengabaian fakta hukum merupakan bukti tidak profesionalnya seorang hakim, bahkan termasuk salah satu bentuk pelanggaran perilaku hakim.

Absolutisme Pengadilan
Perang terhadap hakim nakal harus terus digelorakan, agar para pencari keadilan bisa menikmati keadilan yang sesungguhnya. Perkara yang masuk ke pengadilan tidak dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan keuntungan finansial. Peradilan Indonesia harus bebasdari “industrialisasihukum” sebagaimana dikritisi mantan hakim Amerika Serikat,Harold Rothwax dalam bukunya Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System. Apabila perkara yang diperiksa di pengadilan diformat laksana “mesin industri”, niscaya pengadilan hanya akan mengejar “kepastian” dengan mengabaikan “keadilan”.

Akibatnya, hukum tidak akan pernah mencapai tujuan asasinya lantaran yang diburu hanyalah kemenangan dengan segala macam cara. Pengadilan keluar dari jalurnya sebagai tempat pembuktian kebenaran, hanya berperan sebagai medan pertarungan untuk “kemenangan dan kekalahan”. Pengadilan tidak akan pernah berwibawa di mata publik, jika hakim abai membaca dinamika masyarakat. Hakim tidak boleh hanya jadi terompet UU atau sekadar memahami apa yang tertulis.

Yang juga penting dimaknai adalah rasa keadilan (keadilan substansial) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Harapan itu bukan berarti hakim harus menghukum terdakwa tanpa kesalahan atau membebaskan terdakwa tetapi terbukti bersalah. Apabila hakim mengabsolutkan tujuan menang-kalah, bukan benar-salah,akan membuat publik berpaling dari pengadilan. Jika ini terjadi, akan semakin sulit mengendalikan hukum lantaran publik mengadili sendiri kasus hukum yang dialaminya. Padahal, hukum harus bersinergi dengan nilainilai moral sebagai cerminan fundamental hukum.

Di situlah peran hakim yang sesungguhnya, konstruksi hukum dikembalikan pada bentuknya yang ideal dengan menelurkan putusan yang bisa diterima karena terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Berbagai alasan klasik dari hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terdakwa korupsi karena dakwaan jaksa lemah, adalahwujudabsolutismepengadilan yang perlu diluruskan.

Kalaupun dalam realitas pengadilan bukan institusi netral, tetapi putusannya harus memberikan keadilan, memiliki fungsi “social engineering”agar masyarakat merasakan manfaat dari putusan itu. Kita tidak ingin mafia peradilan terusmenerus menjebak kebebasan hakim ke ruang gelap dalam memutus perkara.

MARWAN MAS,  Dosen Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
Tulisan disalin dari Koran Sindo, 8 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan