Memaknai Instruksi Presiden

Posisi dan peran presiden bisa jadi serba salah: membuat instruksi salah, tidak membuat perintah juga dapat bermasalah bahkan disalahkan. Itulah yang terjadi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan 12 butir perintah dalam suatu instruksi presiden terkait kasus Gayus Tambunan belum lama ini.

Ada cukup banyak inpres yang tak berkait dengan proses penegakan hukum. Ada satu yang menyangkut rencana aksi nasional pemberantasan korupsi: Inpres Nomor 5 Tahun 2004. Namun, inpres tentang kasus Gayus sangat mungkin satu-satunya inpres dalam sejarah proses penegakan hukum di Indonesia yang secara spesifik menyebut dengan sangat jelas satu kasus tertentu. Itulah kasus Gayus Tambunan.

Gayus Tambunan dan segenap perilakunya selama proses peradilan menjadi fenomenal dan luar biasa menyedot perhatian publik. Pantaslah ia mendapat julukan ”Man of the Year 2010”.

Gayus dengan segala muslihatnya telah menegaskan sekaligus mempertunjukkan dengan sangat gamblang segala ”kebobrokan” sebagian lembaga negara dan ”kehinadinaan” sebagian penyelenggara negara sehingga tak pantas kita menyebut republik ini sebagai negara hukum yang demokratis.

Di sisi lain, kasus Gayus dapat dan harus dijadikan momentum untuk secara serius menggebrak pemberantasan korupsi dengan lebih sistematis dan amanah. Pemberantasan korupsi tak boleh hanya ditujukan kepada lembaga penegakan hukum.

Ada cukup banyak lembaga negara yang punya fungsi mengoptimalkan pemasukan negara, tetapi dirampok oleh Gayus-Gayus lain dengan modus operandi yang sangat cerdas dalam jumlah tak terkirakan. Program pemberantasan korupsi tak lagi dapat menjadi sekadar etalase agar pemerintah bisa disebut telah melakukan pemberantasan korupsi.

Rakyat dan pengungkap aib
Ada dua pihak yang berperan penting dan sangat strategis dalam membongkar segala muslihat Gayus: rakyat yang punya kepedulian dan pengungkap aib. Berkeluyurannya Gayus di luar penjara hanya dapat dibongkar karena ada wartawan foto dan penumpang pesawat yang secara berani mengungkapkan kecurigaan mereka ke ruang publik.

Jika tak ada warga yang berani sebagai pengungkap, maka tidak akan pernah terbongkar muslihat yang konspiratif itu. Jika tidak ada pejabat negara yang nekat menjadi pengungkap aib seperti Susno Duadji, maka kejahatan terorganisasi kasus Gayus tidak akan terbongkar. Kejahatan itu hanya dapat dibongkar oleh pihak yang menjadi bagian atau tahu secara rinci modus operandi kejahatan tersebut.

Inpres kasus Gayus akan terasa lebih bijak dan bermanfaat apabila mengapresiasi dan mendorong peran publik serta mewadahinya secara struktural. Rakyatlah sesungguhnya informan sejati yang melaporkan penyelidikan mereka dan mengungkapkannya ke publik. Mengapa terjadi demikian? Karena sedikit sekali penegak hukum yang ikhlas menjadi informan awal yang dapat membongkar kejahatan sedahsyat kasus Gayus.

Inpres juga akan bermakna apabila menyebut secara tegas bahwa sistem pemberantasan korupsi harus mengakomodasi ”sistem pengungkap aib” untuk memperoleh informasi awal guna menghasilkan bukti permulaan kejahatan. Kita meyakini bahwa ada banyak pejabat negara yang punya kesadaran tak terlibat dalam kejahatan terorganisasi di lingkungannya, tetapi tidak punya cukup keberanian mengungkapnya.

Inpres menyatakan wakil presiden ditunjuk melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian. Penunjukan kepada wakil presiden dapat dimengerti karena rentang kendali kontrol dan penilaian tidak hanya ditujukan kepada lembaga penegakan hukum, tetapi juga kepada Kementerian Hukum dan HAM serta Direktorat Jenderal Pajak. Di sisi lain, kelak wakil presidenlah yang akan dipersoalkan apabila inpres tak dapat dijalankan sesuai dengan perintah dan seyogianya harus diapresiasi apabila berhasil.

Problem paradigmatis
Inpres ini berniat baik karena tetap mengapresiasi beberapa lembaga yang justru terlibat dalam kasus Gayus untuk tetap terlibat dalam penanganan kasus. Di sisi lain, ada problem paradigmatis yang berpotensi muncul. Potensi risiko itu harus dikelola secara baik agar ”iktikad baik” dari instruksi tidak dituding sekadar kedok pencitraan yang keseluruhannya dapat mendekonstruksi kehormatan presiden.

Instruksi hanya memerintahkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi lebih dilibatkan dan dapat didorong melakukan langkah pemeriksaan atas kasus yang belum ditangani kepolisian. Padahal, publik mengisyaratkan dan sebagian fakta menegaskan bahwa lembaga yang ada dalam instruksi itu tak sepenuhnya membongkar kasus Gayus. Ada indikasi yang sulit diingkari: sebagian pejabat dari instansi di atas menjadi bagian dari kasus Gayus dan punya ”kepentingan” atau kuyup konflik kepentingan.

Untuk itu, ada pertanyaan reflektif: apakah mungkin lembaga tempat sebagian pejabat negara terlibat dalam kejahatan terorganisasi dapat secara amanah membongkar tanpa tedeng aling-aling semua pihak yang terlibat? Sementara itu, fakta lainnya menjelaskan bahwa orang setingkat Cirus Sinaga dan Raja Erizman saja, serta pimpinan Gayus di Ditjen Pajak yang diduga terlibat, tak dapat dipersoalkan secara hukum. Hasil kerja Tim Investigasi yang dibentuk Kapolri terdahulu tidak dikemukakan ke publik. Akuntabilitas hasilnya dipertanyakan karena ditengarai tak secara utuh membongkar kasus.

Pertanyaan lain juga perlu diajukan: mungkinkah dilakukan audit kinerja dan keuangan oleh lembaga yang diduga terlibat? Jika audit dilakukan pihak atau lembaga lain, sejauh mana lembaga tersebut independen dan adakah jaminan keleluasaan untuk mengaudit kinerja?

Untuk menghindari problem paradigmatis di atas, audit kinerja dan keuangan sebaiknya dilakukan terlebih dahulu supaya pihak yang berpotensi terlibat dan kelemahan sistem dapat diketahui. Hal ini perlu dilakukan karena tak ada yang dapat menjamin bahwa pihak yang ditugaskan membongkar kasus Gayus setelah penerbitan inpres ini bukan pihak yang terlibat atau memiliki konflik kepentingan.

Selain itu, problem paradigmatis dapat diminimalkan apabila KPK diberi peran strategis untuk mendorong sinergi di antara penegak hukum yang melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, juga Badan Pemeriksa Keuangan dan komisi watch dog lembaga penegakan hukum.

Ada ketentuan dalam UU KPK yang menunjukkan bahwa KPK punya tugas koordinasi dan supervisi dengan dan terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi.

Salah satu wewenang lain yang dimiliki KPK dalam tugas monitor adalah melakukan kajian terhadap sistem administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah. Kajian atas sistem administrasi penanganan perkara dalam kasus Gayus juga dapat dilakukan.

Uraian di atas perlu diajukan untuk menghindari sinyalemen agar instruksi presiden atas kasus Gayus tidak dituduh secara tak langsung telah mendelegitimasi tugas dan wewenang KPK yang secara tegas diatur di dalam undang-undang. Semoga saja otoritas yang diberikan presiden kepada wakil presiden untuk melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian atas kasus Gayus dapat dilakukan dengan menempatkan KPK sesuai dengan fungsinya seperti dalam UU Antikorupsi.

Bambang Widjojanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Penasihat Hukum Kemitraan untuk Tata Pemerintahan yang Baik

Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan