Memailitkan Pengemplang Pajak

Kasus dugaan pengemplangan pajak oleh PT Asian Agri dan sejumlah konglomerat, termasuk tiga perusahaan milik Grup Bakrie, kembali menambah daftar panjang keadilan rakyat yang tersayat-sayat di republik ini. PT Asian Agri yang sudah satu tahun terungkap menggelapkan pajak hingga Rp 1,3 triliun, tapi berkas perkaranya ''kebingungan'' (baca: pura-pura bingung) di Kejaksaan Agung. Justru yang mengungkap data penggelapan pajak, yakni Vincentius A. Sutanto, terlebih dahulu divonis oleh pengadilan.

Kasus tersebut kembali menarik perhatian setelah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mendatangi Vincentius di lapas (Jawa Pos, 16/02). Sementara kasus pajak Grup Bakrie mencuat karena dugaan digunakan sebagai alat ''dagang sapi'' dalam kasus Bank Century.

Sebenarnya ada satu instrumen hukum yang sangat luar biasa yang bisa dijadikan alat untuk mengembalikan kerugian negara akibat pengemplangan pajak. Yakni, mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan yang tidak membayar pajak tersebut.

Kepailitan adalah suatu putusan pengadilan (dalam hal ini pengadilan niaga) yang mengakibatkan terjadinya sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Dengan kepailitan itu, pengurus perseroan tidak berwenang lagi mengurus perusahaan. Seluruh harta perusahaan pada saatnya akan dilikuidasi dan digunakan untuk membayar kewajiban-kewajiban utangnya, terutama untuk melunasi tunggakan pajak tersebut.

Kepailitan itu bukan masuk ranah hukum pidana maupun hukum administrasi negara, melainkan merupakan wilayah bidang keperdataan. Karena masuk wilayah keperdataan, tujuan akhir proses tersebut berkaitan dengan uang dan tidak terkait kepidanaan, seperti kurungan atau penjara. Hal itu sangat tepat jika tujuan proses hukum ialah mengembalikan uang negara. Sebab, jika dengan instrumen pidana maupun administrasi negara, uang tidak akan diperoleh.

Konsep dan filosofi mempergunakan instrumen hukum kepailitan itu berangkat dari banyaknya pajak yang tidak dibayarkan ke negara, sementara perusahaannya terus menggurita. Dan, ironis lagi, perusahaan tersebut menggurita dengan mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam negeri ini. Asian Agri memiliki ratusan ribu hektare perkebunan sawit, sementara Grup Bakrie menyedot triliunan rupiah hasil pertambangan dari bumi republik ini.

Legal Standing
Kemudian, siapa pihak yang bisa mengajukan permohonan (legal standing in judicio) pailit tersebut? Setidaknya ada dua pihak yang memiliki legal standing tersebut, yaitu Kantor Pajak atau Kejaksaan Agung.

Kantor Pajak dapat mengajukan kepailitan karena bertindak selaku kreditor bagi perusahaan tersebut. Kreditor dalam rezim hukum kepailitan terdiri atas kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Utang pajak dapat digolongkan sebagai kreditor preferen, bahkan kreditor preferen yang utama. Jadi, Kantor Pajak menggunakan dasar adanya utang pajak yang tidak dibayar.

Kejaksaan Agung juga memiliki kewenangan mengajukan permohonan pailit dengan dasar demi kepentingan umum. Kewenangan institusi kejaksaan itu secara tegas diatribusikan oleh pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Penagihan pajak yang dikemplang termasuk kualifikasi demi kepentingan umum. Dalam UU Kepailitan itu dikatakan bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan luas. Misalnya, debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari kekayaannya, debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor tidak beriktikad baik atau tidak koperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, atau dalam hal yang lain menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Lebih Efektif
Ada beberapa kelebihan menggunakan jalur kepailitan untuk mengembalikan uang negara jika dibandingkan dengan menggunakan jalur hukum pidana maupun jalur hukum administrasi negara. Pertama, prosedur kepailitan relatif lebih sederhana dan cepat. Dalam undang-undang ditentukan bahwa proses kepailitan di tingkat pertama pengadilan niaga dibatasi waktunya maksimal 60 hari, demikian pula di tangkat kasasi dibatasi maksimal 60 hari.

Keuntungan kedua adalah proses yang lebih transparan. Hal itu terjadi karena seluruh pencairan harta pailit akan dilakukan kurator. Kurator yang bisa menangani kepailitan tidak hanya Balai Harta Peninggalan (BHP), tetapi juga kurator swasta yang kebanyakan dari para advokat papan atas yang biasa menangani perkara hukum secara lebih profesional. Kurator itu nanti bertugas mencairkan harta pailit melalui lelang umum dan hasil seluruh pencairan budel pailit akan didistribusikan kepada kreditornya, termasuk membayar ke negara karena utang pajak tersebut.

Pembiaran terhadap pengemplang pajak yang bernilai triliunan rupiah merupakan bentuk nyata dari sebuah pengkhianatan terhadap rasa keadilan masyarakat. Bagaimana keadilan rakyat tidak terluka, sementara hukum sedemikian tajam menghukum rakyat kecil, seperti Mbok Minah yang divonis karena dituduh mengambil tiga biji buah cokelat, Suryanto dihukum dengan dasar mencuri sebutir semangka, dan Hamdani yang divonis lantaran meminjam sandal bolong perusahaan untuk salat, tapi dituduh mencuri sandal, sementara konglomerat hitam yang mengemplang pajak triliunan rupiah tidak dihukum apa-apa.

Hukum memang tidak memiliki mata. Tapi, hukum tidak akan pernah buta terhadap keadilan karena keadilan dapat terlihat meskipun dalam kegelapan. (the law is blind but can see in the dark; dark justice). (*)

Dr M. Hadi Shubhan SH MH CN, dosen Fakultas Hukum dan Sekretaris Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan