Memaafkan Koruptor

WACANA penegakan hukum diramaikan oleh pernyataan genit para elite politik. Kali ini tidak  tanggung-tanggung, Ketua DPR Marzuki Alie meminta seluruh elemen masyarakat memaafkan koruptor: serahkan uang yang dikorupsi, lalu ampuni mereka. Apa yang dikemukakan tentu bukan tanpa dasar, tapi yang jelas statemennya menuai kecaman. Melihat kapasitasnya, tidak ada salahnya kita menelisik makna dari pernyataannya. Bisa saja secara tidak langsung ingin menunjukan permasalahan sebenarnya tentang korupsi di Indonesia.

Pertama; statemennya itu menggambarkan keputusasaan orang, termasuk Marzuki, melihat kinerja pemberantasan korupsi yang seperti jalan di tempat sehingga ia menawarkan cara lain. Boleh saja orang menawarkan cara yang tidak biasanya, yaitu memaafkan. Bukankah korupsi adalah extraordinary crime maka boleh saja diatasi dengan cara extra legal instrument.

Memaafkan koruptor sepertinya sulit diterima oleh logika hukum pidana mengingat tiap perbuatan melawan hukum harus dipertanggungjawabkan. Pertanyaannya, apa benar selama ini institusi hukum pidana mampu meminta pertanggungjawaban dari pelaku korupsi? Kalau jawabnya mampu, pasti Marzuki tidak bicara begitu.

Kedua; bisa saja hal itu dimaknai sebagai tamparan, utamanya bagi penegak hukum. Bila  penanganan korupsi sudah berjalan baik, orang pasti tidak menawarkan cara lain. Kalau saja seorang ketua DPR dan juga wakil ketua dewan pembina partai yang berkuasa bicara begitu pasti ada alasannya. Bisa jadi Marzuki tahu bahwa tidak mungkin efektif institusi hukum bekerja untuk menghukum koruptor. Dia mungkin tahu bagaimana posisi koruptor itu di hadapan hukum, bagaimana hukum tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan politik dan ekonomi yang memiliki hubungan mesra dengan koruptor. Bagaimana orang-orang yang diharapkan menegakkan hukum sudah terikat oleh bargaining tertentu, atau Marzuki juga tahu bagaimana dagelan peradilan korupsi saat ini. Jadi, jangan dulu terburu mengecam pendapatnya.

Vonis Mati
Ketiga; kalau selama ini kita melihat korupsi sebagai penyakit yang harus diobati tanpa tahu atau pura-pura tidak tahu faktor-faktor penyebab timbulnya penyakit itu, pernyataan Marzuki ini mengajak kita untuk tahu lebih jauh. Bisa jadi Marzuki berharap kita menyimpulkan,” O...percuma kita berharap penghukuman koruptor saat ini, sebab antara pelaku dan penindak, kemauan politik, kepentingan ekonomi sudah main mata.”

Meminjam teori Talcott Parsons, kerja institusi hukum akan dipengaruhi oleh subsistem politik dan ekonomi sehingga persoalan bekerjanya hukum memberantas korupsi harus dilihat sampai ke resepsi dua aspek itu terhadap hukum. Nazaruddin, tokoh politik dan ekonomi, serta Marzuki yang tokoh politik, cukup mewakili konfigurasi hukum-politik-ekonomi. Tokoh-tokoh itu ingin mengatakan bahwa penyelesaian masalah korupsi bukan di pengadilan melainkan di wilayah mereka.

Kalau begitu institusi hukum untuk apa? Memang di sana ada pemain, tetapi skenario atau teks hukumnya bukan dibaca dari teks UU atau teks ilmu hukum melainkan dari teks yang dibuat oleh pihak luar aspek hukum. Prof Barda Nawawi Arief menyebutnya menegakkan hukum tidak dengan teori atau ilmu hukum tetapi dengan ilmu lain, seperti ilmu amplop, ilmu suap, ilmu kekuasaan, nepotisme dan sebagainya.

Keempat; pernyataan Marzuki bisa menjadi awal wacana baru penglihatan kita terhadap fenomena korupsi. Ada kesulitan jika hukum harus berhadapan dengan pelaku politik dan ekonomi. Kalau masyarakat menolak jenazah teroris dikubur di desanya, bagaimana dengan koruptor? Beranikah orang tidak menyalati jenazah koruptor. Kadang kita terlalu baik dengan mereka.

Kelima; Marzuki menantang penegak hukum (khususnya hakim) menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor? Coba ada satu saja putusan korupsi dengan sanksi mati maka si hakim bisa disebut pembaru hukum sanksi (judge made law) yang akan diingat dalam khasanah teori dan praktik hukum. Marzuki hanya mengingatkan ada cara lain untuk melawan koruptor kuat, yaitu keberanian hakim memberi sanksi mati. Akhirnya rakyat menunggu keberanianmu, para hakim. (10)

H Kuat Puji Prayitno SH MHum, dosen Fakultas Hukum Unsoed
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 4 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan