Melepas Mimpi Buruk Legislatif 1999-2004 [20/07/04]

Calon anggota legislatif 2004-2009 tersenyum-senyum menyongsong pelantikan yang sebentar lagi berlangsung. Sementara rakyat jelata seperti saya, mulai waswas menyongsong kiprah legislatif yang baru itu. Waswas, dibayangi mimpi buruk legislatif yang lalu. Memang, ada segelintir anggota legislatif yang relatif punya komitmen dan hati nurani, bagaimana mestinya membenahi negara dan bangsa. Tapi, mimpi kita jadi buruk karena sebagian besar justru tenggelam dalam pesta pora demokrasi yang korup.

Saya teringat, bagaimana tumpukan informasi masyarakat dan pers perihal tindak-tanduk legislatif yang tak mencerminkan aspirasi rakyat. Masalah datang menumpuk, penyelesaiannya tidak memuaskan masyarakat. Semakin diselesaikan, semakin sakitlah hati masyarakat, mereka yang telah mengantarkan orang-orang legislatif itu naik ke kursinya melalui pemilu sebelumnya.

Sebetulnya rakyat sempat mengenyam udara segar kemerdekaan berpendapat serta berkumpul setelah Orde Baru tumbang. Namun, kekecewaan segera membalut hati mereka ketika ternyata kejadiannya bagaikan lepas dari mulut buaya masuk ke mulut singa. Mari kita uraikan impian buruk yang mengerikan itu.

Pertama, menjelang akhir masa jabatan legislatif, hal paling kuat dalam ingatan masyarakat adalah pembagian dana purnabhakti yang berkisar antara Rp 50 juta sampai Rp 150 juta per orang. Itu yang resmi dan diekspos ke publik. Tapi, masyarakat dan rakyat seperti saya tidaklah mudah percaya, bahwa memang itulah yang benar-benar mereka ambil.

Ada selentingan di luaran, bahwa riilnya anggota dewan mendapat antara Rp 150 juta sampai Rp 500 juta. Dana purnabhakti yang riil ini saja tak bisa direm pencairannya - termasuk dana purnabhakti DPRD Buleleng yang sudah dibatalkan Gubernur Dewa Beratha - apalagi kalau misalnya memang benar ada dana-dana yang disilumkan melalui pos tersembunyi. Ini mimpi buruk yang menampar wajah sebagian besar rakyat, termasuk rakyat Bali. Walaupun kecaman rakyat luar biasa ramainya, toh para anggota dewan sudah tidak peduli. Lalu, bagaimana anggota legislatif yang sebentar lagi bakal dilantik? Berapa kira-kira pos dana purnabhakti mereka?

Kedua, diluar dana purnabhakti, orang tidak melupakan bagaimana legislatif mengalokasikan dana melalui pos yang diberi beragam label: dana tali kasih, dana mobilitas, uang pengabdian, uang jasa, dan yang sejenis itu. Jumlahnya juga beragam, umumnya sekitar Rp 50 juta per orang.

Ketiga, lain dari itu, diam-diam ada beberapa legislatif yang membebankan pertanggungan asuransi ke APBD-nya. Meski belum terekspos, angkanya lumayan besar, per orang sekitar Rp 50 juta formalnya, dan konon masih ada siluman sekitar Rp 100 juta per orang. Yang ini, Bali Corruption Watch masih mencari bukti, walau memang nggak mudah. Pertanyaan rakyat awam, apakah layak asuransi dewan dibebankan ke APBD? Kalau asuransi boleh, bagaimana dengan dana upacara manusa yadnya, dewa yadnya, pitra yadnya, dan lain-lain?

Keempat, ada beberapa dewan yang jadi gegap gempita karena skandal. Di DPRD Buleleng ada skandal perselingkuhan sampai penyunatan dana tirtayatra. Di DPRD Bali, orang tak mudah lupa pada skandal travel cek Rp 50 juta dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur yang dimenangkan Dewa Beratha-IGN Kelakan pada 6 Agustus 2003.

Kelima, orang juga tidak mudah lupa bagaimana anggota dewan begitu sering melakukan studi banding dalam negeri maupun luar negeri. Kadang juga aneh, studi banding mereka acapkali mengada-ada, misalnya Untuk mempelajari pembuatan tata tertib pemilihan kepala daerah, atau menjajagi investor air minum, dan lain-lain.

Keenam, bisakah dilupakan bagaimana komitmen legislatif dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme? Hampir sebagian besar mengecewakan. Legislatif bukannya mengontrol eksekutif, tetapi acapkali malahan terkesan kolusi, dan orang berteori bahwa kolusi diawali dengan tekanan untuk menaikkan posisi tawar. Agar kepala daerah memperhatikan anggota legislatif, ada sajalah caranya. Misalnya, mula-mula menolak laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah. Belakangan, LPJnya bisa diterima setelah ada revisi-revisi diatas kertas yang entah apa esensinya.

Ketujuh, legislatif kita ke depan, mereka yang akan dilantik sebentar lagi, apa yang akan Anda lakukan? Sekitar 25 persen sampai 40 persen dari anggota legislatif 2004-2009 adalah muka-muka lama. Boleh jadi mereka tetap akan meneruskan gaya lama dan mempengaruhi rekan-rekannya yang baru ini. Boleh jadi, masih akan ada dana purnabhakti, dana tali kasih, uang pengabdian, uang jasa, dana konsolidasi yang misterius, dana tirtayatra, dana studi banding, dana asuransi, dana kesehatan, dana suka-duka, dan lain-lain. Boleh jadi!

Namun, semoga saja tidak. Semoga ada yang merenung, melihat ke legislatif lampau, menyimak baik-baik seperti apa rakyat telah menegur wakilnya di DPRD; dan kalau mereka tergetar oleh hal itu, setidaknya mencoba berpikir bagaimana tidak mengulangi hal itu. Ya, berpikir saja, merenung-renung, untuk kemudian tidak mengulang hal yang sama. Tapi, apakah bisa? (Putu Wirata Dwikora, adalah aktivis di Bali Corruption Watch)

Tulisan ini diambil dari Radar Bali, 20 juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan