Melancong dengan Fasilitas Eksekutif

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) tak henti-hentinya dicerca publik lantaran sering melancong ke berbagai negara. Studi banding bagi DPR hanyalah kedok demi melegalkan hasrat berwisata menggunakan biaya Negara.

Tudingan berbagai kalangan itu sulit dibantah DPR. Karena hingga kini, DPR gagal membuktikan bahwa studi banding bukanlah perjalanan wisata. Belum ada manfaat nyata bagi perbaikan regulasi yang dapat ditunjukkan, tidak ada substansi yang dapat dipetik atau jadi pelajaran bagi anak cucu negeri ini kelak, kerena hasil studi banding tidak terdokumentasi dengan baik sehingga dapat diakses publik.

Sebuah kisah memalukan pernah diangkat seorang Dubes Indonesia di suatu negara di Eropa. Sang dubes menulis semua kisah itu lantaran seringnya anggota Dewan pelesiran ke Eropa. Dalam tulisannya, sang dubes menjelaskan studi banding DPR memang lebih banyak jalan-jalannya ketimbang studi yang selalu digembar-gemborkan sebagai alasan.

Kunjungan DPR juga telah merepotkan serta membebani pihak kedutaan. Bahkan, seringkali pihak kedutaan harus menanggung malu karena pihak terkait di negara bersangkutan bertanya, apakah DPR Indonesia tidak ada kerjaan sehingga selalu jalan-jalan?

Hal senada juga sering dikeluhkan pelajar dan mahasiswa Indonesia di luar negeri. DPR sering berkunjung pada saat parlemen di negara bersangkutan sedang libur atau reses, pihak-pihak yang ingin ditemui tidak jarang menolak bertemu karena mungkin dianggap tidak penting.

Itulah sejumlah fakta yang sengaja diungkap untuk menunjukkan betapa studi banding DPR ke luar negeri itu tidak bermanfaat. Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa kritikan publik selama ini bukanlah tanpa alasan yang jelas. Jika anggota DPR punya mata, telinga, dan nuraninya tergerak, mestinya suara kritik itu didengar dan mereka mau berubah.

Anehnya, DPR tidak perduli dengan semua itu. Anjing menggonggong kafilah berlalu, rakyat berteriak DPR jalan terus. Mumpung lagi berkuasa, agenda jalan-jalan tetap dipertahankan kalau perlu ditingkatkan. Mungkin itu yang terlintas dibenak DPR sehingga pada 2012 mengajukan tambahan anggaran menjadi Rp 541 miliar untuk kunjungan ke luar negeri dalam rangka legislasi, artinya naik hingga 79,7 persen dari anggaran 2011 sebesar Rp 301 miliar. Jumlah ini belum termasuk anggaran untuk perjalanan keluar negeri atas nama kunjungan kerja.

Ketua DPR Marzuki Alie mengaku sudah berusaha mengusulkan penghematan anggaran kunjungan kerja ke luar negeri dalam forum rapat pimpinan DPR. Namun, usul ini ditolak para anggota DPR dengan alasan setiap anggota DPR punya hak konstitusi sehingga tidak dapat diwakilkan saat berkunjung ke luar negeri.

Menyakitkan. Tidak sekedar diabaikan suara kritis masyarakat, bahkan untuk 2012 mendatang, DPR akan menambah jumlah semua tunjangan dan fasilitas perjalanan ke luar negeri secara  fantastis. Mengapa demikian, karena fasilitas dan pelayanan yang sebelumnya kelas bisnis, akan berubah ke kelas eksekutif.

Moratorium

Pertanyaannya, apa yang dapat diharapkan dari wakil rakyat seperti ini? Jawabannya tidak ada. Lalu, apakah berarti kita tidak membutuhkan DPR lagi? Tidak mudah menjawabnya, karena demokrasi perwakilan mensyaratkan adanya lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan yang diimpikan bukan seperti yang ada saat ini tetapi yang sungguh mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Karena itu, pilihan kita saat ini tidak banyak, mendorong DPR yang ada untuk berubah, atau menghukum mereka dengan tidak memilihnya kembali pada pemilu 2014 mendatang.

Idealnya perubahan itu datang dari dalam lembaga itu sendiri, tetapi menyimak pernyataan Ketua DPR di atas rasanya tidak mungkin. Sikap ketua DPR terlihat pasrah dan tidak berdaya terhadap gejolak hasrat para anggota DPR untuk terus menikmati perjalanan ke luar negeri. Bila demikian adanya, dorongan perbaikan dari luar menjadi salah satu pilihan yang mungkin efek perubahannya kecil dibandingkan bila inisiatif itu dari dalam.

Bagi saya, pelesiran atas nama studi banding harus dihentikan untuk sementara. Harus dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap agenda studi banding, mulai dari perencanaan anggaran, disain studinya, pelaksanaan, hingga akuntabilitasnya kepada publik. Rancunya studi menjadi pelesiran bukan semata karena perilaku anggota DPR, tetapi karena perencanaan yang tidak jelas, tidak ada konsep atau metode sebagai rujukan dan tidak ada keharusan untuk membuat pertanggungjawaban publik atas hasil studi maupun penggunaan anggaran. Akibatnya, anggota DPR sewenang-wenang menggunakan anggaran tanpa manfaat bagi perbaikan peraturan perundang-undangan.

Dari segi perencanaan, kebiasaan menetapkan pagu anggaran bagi setiap alat kelengkapan Dewan tanpa proposal yang rasional tentang studi banding yang hendak dianggarkan, mendorong anggota untuk sekadar memanfaatkan anggaran yang telah disediakan. Semangatnya adalah menghabiskan anggaran, sehingga alasan studi banding dibuat-buat. Ke depan, proposal studi banding harus diajukan setahun sebelumnya, dengan memperhatikan beberapa aspek penting di dalamnya.

Pertama, urgency, apa pentingnya studi banding dilakukan. Kedua, efektif dan efisiensi, apakah studi banding itu efektif sebagai tambahan masukan bagi RUU yang dibahas dan apakah efisien dari segi anggaran. Ketiga, kepatutan, apakah studi banding itu patut dilakukan, dalam situasi yang tepat atau tidak.

Dalam segi pelaksanaan, pendekatan atau metoda studi banding yang dilakukan selama ini sangat konservatif. Anggota DPR datang berbondong-bondong menemui suatu pihak dalam waktu yang sangat singkat. Pendekatan seperti ini sangat diyakini tidak efektif untuk mendapatkan informasi mendalam mengenai objek studi yang dilakukan.

Dengan proposal yang jelas, studi banding ke depan sebaiknya diajukan secara perorangan oleh anggota, sehingga jelas apa yang hendak dipelajari dan apa yang akan dibandinkan.

Jika demikian, saya yakin anggota yang mengajukan proposal sangat siap dan pertanggungjawabannya personal karena menyangkut integritas anggota yang bersangkutan. Tidak akan ada anggota yang berani mengajukan studi banding kalau tidak siap dan tidak penting. Model seperti inilah yang menjamin studi banding berkualitas, tidak diselewengkan untuk plesiran dan anggaran akan jauh lebih hemat dari sekarang. (35)

Oleh Sebastian Salang, Penulis adalah Peneliti FORMAPPI Jakarta. (35)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 30 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan