Masa Depan KPK

Upaya membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mudah karena memerlukan studi kelayakan yang dapat diterima ketika itu (era Reformasi) dan memenuhi harapan rakyat yang dimandatkan dalam TAP MPR Nomor XI/1998.

Selain itu, sejalan dengan pencabutan UU No 3 Tahun 1971 dengan UU No 31 Tahun 1999 yang memasukkan ketentuan pembuktian terbalik terbatas dan mengingat belum efektifnya kepolisian dan kejaksaan memberantas korupsi, maka digagas pembentukan KPK oleh Fraksi PPP dan kemudian dicantumkan dalam Pasal 43 UU No 31 Tahun 1999. Pembentukan KPK sempat tergantung selama dua tahun ketika itu karena pemerintah dan parlemen masih ragu akan keberdayaan badan baru tersebut.

Tuntutan reformasi yang terus menggema akhirnya mendorong pemerintah melalui Kementerian Kehakiman (masa Yusril Ihza Mahendra) yang melanjutkan bersamasama Taufiequrrahman Ruki, Teten Masduki, Prof J Sahetapy, Chamid Halid, dan seorang anggota BPKP, serta penulis untuk melakukan studi banding dengan dana bantuan ADB senilai USD1 juta mengunjungi Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Filipina,dan Thailand.

Selain itu penulis bersamasama Jusuf Syakir (mantan Ketua KPKPN) dengan dana USAID telah mengunjungi Washington DC untuk meninjau Departemen Kehakiman dan Kantor Etik Pemerintah (Government’s of Public Ethics) untuk meneliti mekanisme pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Ada beberapa kesimpulan yang kami dapatkan dari beberapa studi banding tersebut.

Pertama bahwa struktur organisasi dan komposisi pimpinan komisi antikorupsi di negaranegara objek studi masih berada di bawah perdana menteri atau gubernur jenderal. Formatnya pun hanya terdiri atas tiga pimpinan saja serta hanya memiliki wewenang penyidikan, sedangkan wewenang penuntutan berada pada kejaksaan.

Kedua, wewenang pro-yustisia komisi tersebut tidak mandiri karena masih menunggu izin Perdana Menteri atau Gubernur jenderal untuk menyidik tersangka penyelenggara negara. Ketiga,wewenangpenyadapan di negara tersebut harus seizin pengadilan negeri.Kondisi Indonesia di mana sistem birokrasi dan sistem peradilan warisan Orde Baru masih korup tidak mungkin mengikuti kedudukan dan pola kerja komisi antikorupsi di negara-negara tersebut.

Aturan Ketat
Berdasarkan kajian tersebut, muncullah ketentuan kewenangan KPK yang luar biasa sebagaimana tercantum di dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Latar belakang dan landasan pemikiran pembentukan KPK tersebut tentu memerlukan pimpinan (komisioner) KPK yang berani mati, berintegritas tinggi, tidak lagi mau dipengaruhi siapa pun, termasuk keluarganya, dan memiliki solidaritas internal yang kuat.

Kelima pimpinan KPK diikat dalam satu ketentuan untuk memutuskan secara kolektif setiap langkah hukum yang dilakukan.Kepada mereka diberlakukan ketentuan dan syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentian yang ketat dan keras, termasuk penerapan sanksi pelanggaran hukum dan kode etik. Ketentuan keras dan ketat bertujuan untuk memelihara dan menjaga kewibawaan pimpinan KPK di hadapan lembaga penegak hukum lain dan di hadapan publik karena kewenangan KPK menjadi lembaga koordinasi dan supervisi lembaga penegak hukum lain dan kementerian dan lembaga di Indonesia. Selepas KPK jilid I,

sejak muncul kasus Bibit-Chandra, publik dihadapkan pada keragu- raguan akan profesionalitas dan integritas pimpinan KPK. Sampai akhirnya duduk perkara kasus ini dibuat jelas dengan turunnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebagai tindak lanjut dari Tim 8 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution.

Namun trauma kriminalisasi Bibit-Chandra tetap bergayut di kalangan pimpinan KPK sampai saat ini sehingga mereka tampak sering raguragu ketika KPK menghadapi kasus korupsi yang melibatkan kekuasaan; sekalipun telah berhasil menetapkan hampir 40 pejabat negara sebagai tersangka/terdakwa/terpidana.

Etika
KPK diakui telah menjadi ikon pemberantasan korupsi di mata masyarakat melebihi Polri dan kejaksaan. Terlebih lagi di kalangan lembaga swadaya masyarakat antikorupsi sehingga ada tuntutan KPK tidak boleh dipersalahkan atau dikritik. Bahkan KPK ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dari MK atau MA. Setiap kritik diidentikkan dengan pelemahan.

Konstruksi pemikiran seperti ini telah menempatkan kelima pimpinan KPK mengabaikan sopan santun dan etika kelembagaan. Konsistensi kiprah KPK dalam menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan UU KPK patut diapresiasi sampai saat ini.Akan tetapi ketika seorang pimpinan KPK dan pegawai di bawahnya telah dinyatakan melanggar kode etik, bahkan terjadi dissentingopinion dalam masalah pelanggaran etika,maka melunturlah kepercayaan publik.

Padahal kepercayaan itu telah dibangun dengan susah payah dan kerja keras pemerintah membentuk KPK serta kinerja baik yang telah dilaksanakan pimpinan KPK jilid I. Adalah suatu keniscayaan bahwa kondisi KPK saat ini telah dijadikan bulan-bulanan dan tidak selalu benar bahwa reaksi tersebut sebagai corruptors fight back atau pelemahan KPK.

Contoh terakhir pengakuan Nazaruddin diakui oleh salah satu pimpinan KPK dan pegawainya diikuti dengan putusan Komite Etik yang telah menempatkan KPK bak pepatah “kering setahun dihapus hujan sehari”. Keadaan ini menunjukkan public trust kepada pimpinan KPK semakin menurun dan mengkhawatirkan. KPK sebagai lembaga tidak boleh dibubarkan,tetapi seleksi calon pimpinan KPK harus diperketat lagi.

Seleksi itu disesuaikan dengan pengalaman seleksi calon pimpinan KPK yang lampau serta masalah pergantian pimpinan KPK di tengah jalan dan pemberhentian pimpinan KPK serta kode etik pimpinan dan pegawai KPK, termasuk sanksi terhadap pelangga rannya. Perubahan- perubahan tersebut tidak mungkin tanpa perubahan terhadap UU KPK (2002) dan sudah saatnya setelah melalui perjalanan selama delapan tahun.●

ROMLI ATMASASMITA, Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad)/ Inisiator Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 12 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan