Mari Bersatu Melawan Teror

PEKAN ini, ada dua peristiwa teror yang diduga terkait dengan pemberitaan rekening para perwira Polri yang dimuat majalah berita mingguan (MBM) Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010. Yang pertama adalah kasus pelemparan molotov di Kantor Redaksi Tempo di Jl Proklamasi, Jakarta Pusat, 6 Juli 2010.

Yang kedua dan paling aktual adalah penganiayaan serta pengeroyokan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun pada Kamis dini hari (8/7).

Tama maupun Tempo merupakan dua pihak yang terkait langsung dengan pemuatan berita rekening perwira Polri. Tama, misalnya, selama ini aktif membongkar dugaan ketidakwajaran rekening salah seorang jenderal di Mabes Polri senilai Rp 95 miliar. Lewat Tama pula kasus rekening gendut perwira tersebut dilaporkan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mabes Polri masih menyelidiki keterkaitan dua teror tersebut dengan isi pemberitaan itu. Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri berjanji mengungkap kasus tersebut secepatnya, baik pelaku maupun dalangnya.

ICW mendesak aparat kepolisian untuk memproses lebih dalam kasus tersebut. Bukan sekadar aspek kejahatannya semata, melainkan juga menelisik nuansa politis di balik aksi tidak terpuji tersebut. ICW mencurigai kuat bahwa penganiayaan Tama merupakan rangkaian aktivitas orang-orang tidak dikenal yang sejak beberapa hari mengawasi gerak-gerik sejumlah aktivis antikorupsi, khususnya Tama, yang terkait dengan investigasi rekening para perwira.

Teror terhadap Tama itu mengingatkan pada kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap Lambang Babar Purnomo, arkeolog yang gigih membongkar pencurian arca di Museum Keraton Solo, 2008. Babar menjadi korban tabrak lari hingga akhirnya meninggal. Kelanjutan kasusnya hingga saat ini tidak jelas.

Teror terkait dengan pemberitaan dan hasil investigasi amat patut disesalkan. Sebab, pada era hukum sebagai panglima, siapa pun yang merasa dirugikan dapat menempuh langkah-langkah yang sudah diatur dalam perundang-undangan.

Soal pemberitaan, misalnya, objek berita bisa saja mengajukan hak jawab. Demikian juga soal hasil investigasi yang dirasa berat sebelah, seseorang bisa menggunakan hak konstitusionalnya melalui gugatan perdata di pengadilan. Seseorang bahkan bisa memidanakan ke aparat kepolisian jika hasil investigasi ternyata bernuansa tendensius yang mencemarkan nama baik.

Kalangan aktivis antikorupsi, kepolisian, pekerja pers, dan masyarakat amat menyesalkan kekerasan tersebut. Mereka sebenarnya menjadi korban karena dirugikan oleh dua aksi tidak bertanggung jawab tersebut. Sebab, aksi itu merupakan langkah mundur terhadap proses penegakan hukum.

Bagi kepolisian, misalnya, tentunya bisa saja aksi tersebut dimanfaatkan orang-orang tertentu yang tidak suka terhadap perbaikan di tubuh Polri. Tak tertutup pula, sang dalang memanfaatkan perseteruan ICW, Tempo, dan Mabes Polri untuk melaksanakan kepentingan politis menjelang pergantian Kapolri.

Sebaliknya, bagi masyarakat, kekerasan tersebut dalam jangka panjang bisa memunculkan ketidakpercayaan lagi terhadap proses penegakan hukum. Bila tidak segera diungkap, masyarakat akan terbiasa bahwa kekerasan menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan urusan.

Nah, sekarang kunci permasalahan tersebut berada di tangan aparat. Kapolisian harus bekerja keras untuk mengungkap pelaku dan dalang serta motif di balik dua kekerasan itu. Polisi tidak bisa lagi berpangku tangan dengan menganggap bahwa aksi tersebut murni peristiwa kriminal dan tidak terkait dengan pemberitaan rekening perwira.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 9 Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan