Manuver Praperadilan Nazaruddin

TERSANGKA kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games 2011, Muhammad Nazaruddin mempraperadilankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penyitaan tas hitam miliknya ketika ditangkap di Bogota, Kolombia, Agustus lalu (SM, 23/09/11). Menurut pengacaranya, Afian Bondjol, penyitaan tas tersebut melanggar KUHAP. ”Turut termohon adalah mantan dubes untuk Kolombia Michael Menufandu,” kata Afian usai menyerahkan memori praperadilan di PN Jakarta Selatan, Kamis lalu.

Menurut Pengacara Nazar, ada barang hilang dari di tas itu, di antaranya tiga flashdisk dan satu keping CD berisi rekaman CCTV tentang pimpinan KPK Chandra M Hamzah saat menerima sejumlah dana dari pengusaha. ”Silakan ditanyakan ke KPK, di mana mereka hilangkan barang itu,” kata Afian. Kliennya menuntut KPK mengembalikan tas hitam tersebut karena sangat bernilai dalam kasus itu.

Selain mempraperadilankan KPK, Nazar melaporkan mantan dubes untuk Kolombia Michael Menufandu atas dugaan penggelapan tas dan kejahatan terhadap jabatan. ”Kami melaporkan Michael Menufandu dengan dua buah sangkaan, yakni Pasal 421 tentang Kejahatan Jabatan, dan 372 KUHP tentang Penggelapan,” ujar pengacara Nazar yang lain, Dhea Tunggaesti seusai melapor di Mabes Polri Jaksel, kemarin. Dhea menuding Menufandu menghilangkan isi tas berupa tiga flashdisk dan satu CD. Berdasarkan keterangan Nazar, tas tersebut dititipkan kepada Menufandu di KBRI Kolombia.

Apakah manuver praperadilan yang dilakukan Nazar melalui pengacaranya itu bisa berhasil? Apakah ada agenda yang jauh lebih menarik untuk dicermati di balik manuver itu?

Perundangan menegaskan, ada tiga alasan praperadilan bagi pengadilan, dan yang menarik adalah bahwa dalam alasan-alasan berikut di bawah ini, tidak ada alasan praperadilan karena suatu tindakan penyitaan. Alasan pengadilan untuk memeriksa dan memutus praperadilan yaitu (a) sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atas permintaan tersangka, keluarganya, atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian tuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Kambing Hitam
Pada masa lalu, alasan praperadilan tidak ada yang merujuk pada persoalan penyitaan sebagai alasan praperadilan. Waktu itu, Mahkamah Agung (HR) hanya membatalkan perbuatan dan keputusan, apabila ada: (a) seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang; (b) karena kekeliruan mengenai orangnya, dan (c) kekeliruan hukum yang diterapkan.

Memerhatikan alasan-alasan praperadilan menurut hukum tersebut, orang hampir dapat memastikan bahwa manuver Nazar atau pengacaranya memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menuai keberhasilan. Orang mungkin bertanya-tanya, apa sesungguhnya agenda di balik praperadilan yang dilakukan Nazar melalui pengacaranya, selain daripada suatu upaya buying time?

Pada titik ini, orang bisa saja menduga, jangan-jangan ada agenda terselubung untuk mencoba berspekulasi melepaskan diri dari kewajiban menanggung beban pembuktian dengan cara membangun justifikasi. Artinya, meminjam tangan lembaga peradilan bahwa bukti pelanggaran etika pimpinan KPK yang ada dalam CCTV yang dikuasainya seharusnya memang benar-benar ada dan pernah dikuasainya sebagaimana ditunjukkan dalam suatu wawancara melalui media Skype yang telah diketahui publik.

Namun, saat ini ada beberapa barang bukti di tas hitam tersebut hilang atau dihilangkan. Artinya, agenda di balik praperadilan yang sudah diajukan adalah bahwa hilangnya barang-barang bukti itu bukan karena kesalahan Nazar melainkan kesalahan mereka yang menyita barang bukti tersebut dari tangannya.

Mungkin dapat dikatakan bahwa di balik manuver Nazar mempraperadilankan KPK dan mengikutsertakan Michael Menufandu sebagai termohon praperadilan adalah taktik mencari kambing hitam (skape goat) bahwa yang menghilangkan barang bukti pelanggaran etika pimpinan KPK adalah bukan dirinya melainkan institusi negara, yaitu KPK dan seorang duta besar. (10)

Jeferson Kameo SH LLM PhD, dosen Fakultas Hukum tinggal di Salatiga
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 26 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan