Maladministrasi Dana Bencana

TAMPAK nyata Pemkab Boyolali kurang hati-hati menerapkan penatausahaan dana bencana Gunung Merapi sehingga terjadi maladministrasi atau kesalahan administrasi. Dana yang totalnya Rp 7,8 miliar tidak dibukukan sebagaimana dikehendaki oleh aturan perundangan.  Dana tersebut berasal dari APBN Rp 3,7 miliar, APBD provinsi Rp 2 miliar, dan bantuan pihak ketiga, yakni dari pemda daerah lain dan masyarakat Rp 2,1 miliar. Mestinya, secara teknis, pengelolaan keuangan di daerah diatur melalui Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Menurut Permendagri tersebut, dana itu mestinya menjadi dana hibah dan dana darurat. Pasal 28 Huruf (a) menyebutkan dana hibah berasal dari dari pemerintah, pemda lain, badan/ lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat. Huruf (b): dana darurat dari pemerintah dalam rangka  penanggulangan korban/ kerusakan akibat bencana. Dana-dana tersebut masuk menjadi bagian dari pendapatan di APBD, yakni menjadi kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Faktanya? Jangankan masuk dalam APBD, Pemkab juga kurang transparan terhadap DPRD. Ada kesan main petak-umpet sehingga seolah-olah dana bencana itu menjadi dana nonbujeter bagi bupati. Bahkan, DPRD mengetahui keberadaan dana tersebut setelah memperoleh laporan hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Memang dengan terbitnya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dana bencana diatur tersendiri. Sebagaimana kelaziman asas hukum, UU yang berlaku secara khusus mengesampingkan UU yang berlaku secara umum (lex specialis derogat lex generalis). Jadi, penatausahaan dana bencana bisa bersifat khusus, tidak mengikuti kaidah umum. Namun, hal yang harus digarisbawahi, bahwa dana bencana harus tetap dicatat dalam APBD.

Undang-Undang itu kemudian dijabarkan melalui PP Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Dana Bencana. Pasal 7 PP tersebut menyebutkan dana yang bersumber dari masyarakat yang diterima  daerah dicatat dalam APBD (Ayat 3), dan ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dana sebagaimana dimaksud, diatur dengan Permendagri (Ayat 6).

Karena itu, pada 23 Mei 2011 terbit Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 162 Ayat (2) Permendagri tersebut menyatakan dalam keadaan darurat, pemda dapat melakukan pengeluaran  yang belum  tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD.

Kekosongan Hukum
Ayat (3) menyebutkan pendanaan keadaan darurat yang belum yang belum tersedia anggarannya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), dapat menggunakan belanja tak terduga. Ayat (9) menyebutkan dalam keadaan darurat yang terjadi setelah ditetapkannya perubahan APBD, pemda dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, dan pengeluaran tersebut disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

Padahal, meletusnya Gunung Merapi  itu terjadi 25 Oktober 2010. Artinya, ketika terjadi bencana, Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Karena itu, DPRD dapat memaklumi ketika realisasi dana bencana tahun 2010 dimasukkan menjadi salah satu lampiran  pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2010, yakni masuk di catatan atas laporan keuangan.

Masalahnya adalah mengapa saat pembahasan RAPBD 2011, bupati tidak melaporkan keberadaan dana bencana tersebut sehingga sisa dana yang belum sempat dicatat dalam APBD 2010 dapat dimasukkan dalam APBD 2011? Padahal, ketika itu masih ada dana bencana yang belum bertuan sekitar Rp 2 miliar? Bahkan, mengapa bupati menjadikan dana bencana itu seolah-olah diperlakukan menjadi dana nonbujeter ?

Berbagai pertanyaan itulah yang saat ini masih menggelayut di kalangan DPRD dan masyarakat Boyolali. Jika ada kesalahan administrasi, itu pasti. Tapi bagaimana dengan akuntabilitasnya? Karena itu, menjadi keniscayaan jika fraksi-fraksi DPRD berpendapat, mestinya BPK turun tangan melakukan audit investigatif. (10)

Thontowi Jauhari, Wakil Ketua DPRD Boyolali, Magister Ilmu Politik Undip Semarang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 8 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan