Makna Sejuta Dukungan

Sejak Reformasi 1998, atau selama 11 tahun, merupakan waktu yang cukup untuk perubahan mental kolektif mendasar.

Penggunaan teknologi komunikasi yang kian canggih ikut mempercepat perubahan. Perubahan mendasar itu berupa peningkatan kesadaran untuk memaknai kekuasaan negara sebagai peranti mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Dalam bingkai ”kekuasaan negara bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama”, keadilan dan penggunaan kekuasaan secara benar, baik, transparan, dan akuntabel menjadi keniscayaan. Dalam bingkai itu pula, ketidakadilan dan korupsi menjadi musuh bersama.

Gagap
Itulah inti kesadaran yang terus berkembang. Sayang, para pemegang kekuasaan justru menghadapinya dengan gagap. Mereka belum bisa sepenuhnya menerima bahwa bagi rakyat, ketidakadilan dan korupsi adalah musuh bersama. Pada masa kini dan masa depan, setiap kali rakyat melihat gelagat ketidakadilan dan korupsi, mereka akan beramai-ramai memeranginya. Inilah makna hakiki fenomena ”sejuta dukungan bagi KPK”.

Kegagapan pemegang kekuasaan termanifestasi dalam beberapa gejala.

Pertama, mereka mencurigai dan memandang fenomena dukungan sebagai kekuatan memusuhi negara dan mencaci pemegang kekuasaan. Padahal, di tengah kuat dan makin menguatnya kesadaran kolektif bahwa ketidakadilan dan korupsi adalah musuh bersama, ”sejuta dukungan” hanya sebuah konsekuensi logis yang tidak terhindarkan. Para pemegang kekuasaan perlu memahami fenomena ”sejuta dukungan” sebagai pesan positif, kini dan seterusnya rakyat Indonesia ingin melihat terwujudnya keadilan dan penggunaan kekuasaan yang bebas korupsi. Dan rakyat Indonesia akan bersama memerangi setiap ketidakadilan dan korupsi.

Sebenarnya pesan ini amat positif dan menguntungkan para pemegang kekuasaan. Sebab, jika menanggapi pesan dan masukan itu dengan tepat, mereka akan terhindar dari perang melawan ”jutaan dukungan” yang akan terwujud saat para pemegang kekuasaan terus membuat ketidakadilan dan korupsi.

Kedua, para pemegang kekuasaan menanggapi fenomena ”sejuta dukungan” hanya dengan argumen hukum formalistik. Para pemegang kekuasaan belum bisa memahami ”sejuta dukungan” sebagai berpadunya rakyat yang memerangi musuh bersama, ketidakadilan dan korupsi. Titik pusat fenomena itu bukan sekadar kengototan untuk mengatakan ”Bibit dan Chandra yang benar dan polisi yang salah”, tetapi perlawanan bersama rakyat. Maka, tidak tepat jika pemegang kekuasaan menanggapi ”sejuta dukungan” dengan argumen hukum yang formalistik.

Ketiga, para pemegang kekuasaan cenderung lamban dalam menanggapi fenomena sejuta dukungan. Laju pertambahan dukungan yang cepat pun tidak serta-merta dapat mengentak kesadaran pemegang kekuasaan untuk mengerti bahwa rakyat berhimpun untuk bersama-sama memerangi musuh ketidakadilan dan korupsi. Fenomena ”sejuta dukungan” tidak berefek destruktif dan tidak berintensi negatif, sebaliknya justru berintensi positif (mengingatkan, memberi masukan, menyadarkan) karena itu dapat diharapkan berefek konstruktif.

Namun, dalam dukungan juga bisa terkandung kerawanan untuk berbiaknya intensi negatif dan efek destruktif. Pada perspektif ini dapat dimengerti betapa pentingnya para pemegang kekuasaan menanggapi fenomena itu secara cepat dan tepat.

Rakyat terus berubah
Fenomena ”sejuta dukungan” adalah penegasan bahwa reformasi tidak mati, terus tersimpan, dan berkembang dalam khazanah mental kolektif Indonesia. Kita semua perlu menyadari, rakyat dan bangsa Indonesia telah berubah dan terus berubah. Di tengah proses berubah itu, rakyat dan bangsa Indonesia selalu memaknai ketidakadilan dan korupsi sebagai musuh bersama.

Kini dan ke depan, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali menjalankan kekuasaan dengan adil dan bebas korupsi demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Siapa pun yang tidak mampu menerima pilihan ini dan menjalankan kekuasaan dengan tidak adil, penuh korupsi, akan berhadapan dengan rakyat.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang

Sumber: Kompas, 16 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan