Makna Gerakan Rakyat untuk KPK

MINGGU-minggu ini, kita disuguhi berita yang sangat cepat tentang penahanan dua Wakil Ketua (non-aktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri. Sejumlah tokoh, mulai mantan Presiden Abdurrahman Wahid, mahasiswa, LSM, hingga organisasi kemasyaratan, mendukung KPK. Intinya, KPK tidak surut langkah untuk memberantas korupsi di negeri ini. Mereka pun memberikan dukungan moril kepada Bibit-Chandra atas nasib yang sedang menimpanya.

Aksi dan gerakan massa yang turun ke jalan serta gerakan sejuta tanda tangan untuk menolak kriminalisasi KPK, tampaknya, merupakan puncak kekecewaan publik atas sikap Presiden SBY. Seperti diungkap dalam konferensi pers bahwa SBY tidak akan turut campur proses hukum dan tidak memiliki kepentingan untuk mengobok-obok KPK.

Apa inti dari gerakan sejuta tanda tangan dan gerakan massa yang akhir-akhir ini kembali ke jalanan? Apa yang sesungguhnya mereka inginkan? Akankah gerakan tersebut menjadi embiro lahirnya people power di Indonesia?

Ketidakpuasan Politik
Kebijakan SBY yang terkesan ingin ''bersih'', berpangku tangan atas persoalan KPK, menjadi salah satu pemicu lahirnya aksi-aksi jalanan. Demikian juga, para politisi di Senayan seakan-akan ''diam'' atas isu cecak versus buaya, suatu ibarat tentang perseteruan Polri-KPK, yang kian hari kian panas.

Maraknya gerakan jalanan dapat dikatakan sebagai indikasi adanya kekhawatiran para aktivis yang selama ini mengawal prinsip-prinsip good and clean governance. Para pegiat dan pemerhati masalah itu berdasar pengalaman memahami bahwa pintu utama mengawal pemerintahan yang bersih dan baik hanya ada pada KPK.

Hal itu yang juga menjadi alasan kuat mengapa mereka terus bersuara lantang atas cara dan strategi yang dilakukan pemerintah dan Polri dalam kasus Bibit-Chanda. Suara mereka, melalui orasi dan demonstrasi, serta tanda tangan publik pada gerakan sejuta tanda tangan untuk solidaritas Bibit-Chandra, dapat dianggap sebagai refleksi ketidakpuasan mereka atas sikap dan tindakan Presiden SBY yang terkesan ''diam''.

Pada saat isu kriminalisasi KPK sudah meluas, mulai jaringan Facebook (facebooker) hingga demonstrasi jalanan, Presiden SBY membentuk Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum (TIKFPH). Mengapa tidak dari awal? Mengapa hingga menunggu aksi-aksi jalanan itu terjadi? Apakah kehadiran tim itu dikhususnya sebagai instrumen pemerintah untuk meredam gejolak ketidakpuasaan massa yang terus menggelembung mendukung Bibit-Chandra. Ataukah ada skenario lain dari TIKFPH yang telah dibentuk Presiden SBY?

Berbagai spekulasi dan pertanyaan dapat saja kita ajukan di atas kanvas politik Indonesia yang semakin abu-abu. Namun, kita pun harus sabar menunggu apakah hasil dari TIKFPH itu memperkukuh proses hukum yang sedang dijalankan Mabes Polri ataukah sebaliknya? Bukankah sudah ada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang pernah dilapori oleh pengacara Bibit-Chandra agar melakukan kajian atas kebijakan Polri dan mengambil sikap atas kasus Susno Duadji? Tetapi, mengapa semua itu kandas, seakan-akan Susno Duadji begitu sakti, tidak dapat disentuh hukum.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang beredar di publik atas kasus yang menimpa Bibit-Chandra. Pada saat mereka berada dalam situasi politik yang demikian, salah satu langkah yang dapat dilakukan ialah mengalang solidaritas dan dukungan. Solidaritas itu dapat dimaknai dua hal. Pertama, sebagai bentuk protes kepada pemerintahan SBY yang baru saja dilantik. Kedua, berharap dari pola dukungan itu akan muncul kebijakan politik yang lebih responsif dan adanya harapan bagi penegakan hukum dalam kasus Bibit-Chandra.

Politik Kontestasi
Dari berbagai berita yang tergambar pada kasus Bibit-Chandra (KPK) dengan Polri tersebut, pemerintah sebenarnya telah menerapkan politik kontestasi. Dalam istilah yang lebih kasar, itu dapat disebut sebagai politik belah bambu, satu pihak diinjak dan pihak lain diangkat.

Gejala politik kontestasi itu bisa dilihat dari cara-cara Presiden SBY menyelesaikan perkara kelembagaan yang menyangkut KPK maupun yang berkaitan dengan sumbu-sumbu kekuatan politik di negeri ini. Lihat saja bagaimana proses koalisi berjalan dan harus mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintahan.

Ciri lain dari politik kontestasi (politik untuk saling mempertarungkan) adalah tiadanya lembaga penengah ketika lembaga-lembaga negara bertikai. Jika sejak awal masalah perseteruan KPK dengan Mabes Polri dapat dilerai, tentu kondisinya tidak serumyam saat ini.

Dari segi agenda kebijakan, upaya membentuk TIKFPH - meski relatif terlambat- diharapkan dapat menjadi ''pelerai'' perseteruan Polri-KPK yang seakan-akan tidak berujung. Namun, apa pun hasil dari kerja TIKFPH -jika dianggap ''menguntungkan'' kepolisian- justru akan menjadi preseden buruk bagi cita-cita rakyat untuk memperoleh keadilan di negeri ini.

Selain preseden buruk, nama-nama anggota TIKFPH juga dipertaruhkan karena dua hal. Pertama, kasus Bibit-Chandra bukanlah semata-mata kasus hukum, melainkan lebih tepat disebut sebagai kasus politisasi hukum. Karena itu, jika TIKFPH mendasari cara kerjanya pada aspek prosedural hukum semata, tidak tertutup kemungkinan hasilnya akan berpola win-win solution.

Gejala win-win solution sudah tampak dengan akan digantinya Susno Duadji yang selama ini dianggap ''kebal hukum''. Kedua, kita juga harus sabar menunggu, kira-kira ke mana langkah TIKFPH berpihak atas masalah tersebut. Tentu jawabannya ada pada satu atau dua minggu kemudian. Jika hasilnya dianggap tidak win-win solution, tentu bisa saja akan menambah benang kusut pada pertarungan Polri-KPK di kemudian hari dan dapat pula berdampak kepada ketidakpercayaan publik atas janji-janji pemerintah untuk memberantas korupsi.

Moch. Nurhasim , peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan