Mahkumjakpol

Pemerintah membentuk forum koordinasi dan konsultasi penegak hukum antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, dan Polri (4/5). Forum itu dinamai Mahkumjakpol.

Menurut Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Mahkumjakpol penting karena penegakan hukum di Indonesia masih bergelut dengan permasalahan internal berupa koordinasi dan konsultasi antarlembaga. Ini yang perlu dibenahi agar sistem hukum mampu menjawab tantangan utama penegakan hukum dan keadilan (Kompas, 5/5).

Dalam sejarah institusi penegakan hukum di Republik ini, sudah ada forum serupa dengan Mahkumjakpol. Forum itu gabungan dari Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan dan kepolisian (Mahkejapol) dan forum penegakan hukum (Forgakum). Di tingkat daerah, ada forum institusi pengadilan, kejaksaan dan kepolisian (Diljapol).

Bagaimana efisiensi dan efektivitas Mahkejapol, Forgakum, ataupun Diljapol? Ternyata, banyak yang berpendapat miring terhadap forum-forum itu.

Mahkejapol ditengarai sebagai ajang praktik kolusi di kalangan penegak hukum (Kompas, 24/2/2000). Boleh jadi peran Mahkumjakpol akan serupa dengan Mahkejapol: menjadi media kolusi pejabat negara.

Mungkin kurang adil membandingkan dua institusi pada masa yang berbeda. Namun, intinya kita perlu mengoreksi dua forum yang fungsinya hampir sama itu.

Seperti pernyataan Menteri Hukum dan HAM, koordinasi dan konsultasi menjadi masalah penegakan hukum dan keadilan. Apakah benar demikian sehingga untuk mengatasinya perlu forum Mahkumjakpol?

Kewajiban badan negara
Koordinasi, kerja sama, serta komunikasi menjadi kewajiban setiap badan negara terutama bidang penegakan hukum dan keadilan. Pelaksanaannya harus dilandasi keterbukaan dan kebersamaan sehingga terwujud sistem peradilan pidana terpadu.

Mari menyimak proses penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam UU No 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki lima tugas. Salah satunya adalah KPK berkoordinasi dengan instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi (Pasal 6 huruf a UU No 30/2002). Untuk melengkapi tugas koordinasi, KPK sekaligus berwenang mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan pelaksanaan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.

Kejaksaan pun begitu. Pasal 33 UU No 16/2004 menyebutkan, ”Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi negara lainnya”.

Koordinasi KPK dan Kejaksaan dalam pemeriksaan kasus korupsi selama ini cukup lancar. Bentuknya, antara lain, sebelum penyidikan kejaksaan mengirim surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Ini menandakan pembagian tugas antara kejaksaan dengan KPK.

Perlu diingat, KPK juga memiliki tugas supervisi dengan wewenang mengawasi, meneliti, atau menelaah instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya, setelah kejaksaan mengirim SPDP, KPK akan mengawasi, meneliti, atau menelaah kasus yang sedang diperiksa kejaksaan. Jika ada kekeliruan, KPK mengarahkan agar kejaksaan memperbaiki berkas penyidikan.

Apakah koordinasi seperti itu membutuhkan forum Mahkumjakpol? Tidak!

Benar bahwa undang-undang memerintahkan setiap institusi penegak hukum berkoordinasi. Namun, tak sekali pun undang- undang memerintahkan agar membentuk aneka forum dalam berkoordinasi ataupun berkomunikasi.

Ajang kolusi
Lain hal kalau pembentukan forum itu justru sebagai embrio untuk mengatur kolusi pejabat negara, atau setidaknya menyatukan para penguasa dalam satu gerbong. Sejarah mengamini dugaan itu. Forum penegak hukum hanyalah make-up dan berperan sebagai corong keadilan bagi rezim, bukan bagi rakyat.

Bukankah Jean Jacques Rousseau (1986:8) pernah menyinggung, ”Golongan terkuat tidak pernah merasa cukup kuat untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya secara mulus kecuali bila mereka menemukan cara mengubah kekuatan jadi hak dan ketaatan jadi kewajiban”.

Karena kekuasaan harus aman, penguasa atau rezim menciptakan semacam ketaatan institusi kekuasaan negara, termasuk penegak hukum, di bawah koordinasinya. Namun, ini tak selalu harus dilembagakan.

Apakah forum Mahkumjakpol akan menjadi semacam ”ketaatan” institusi penegak hukum terhadap rezim saat ini? Hanya mereka yang tahu.

Hifdzil Alim Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 18 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan