Mahkamah Konstitusi Larang Koruptor Maju Pilkada

Dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, (11/12/19), para Hakim MK menyatakan bersepakat untuk melarang mantan narapidana, termasuk koruptor, untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.

Jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, mantan terpidana mesti menunggu 5 tahun setelah keluar dari penjara. Ia juga tetap diharuskan mengumumkan rekam jejaknya sebagai narapidana.

Putusan MK itu disambut baik oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku pihak yang mengajukan uji materi terhadap UU nomor 10/2016 tentang Pilkada. Peraturan itu membolehkan narapidana untuk maju sebagai kepala daerah.

“Ini adalah keputusan penting dan progresif,” ujar Donal Fariz, Koordinator Divisi Advokasi Korupsi Politik ICW.

Untuk Pemilu Berintegritas

Uji materi yang diajukan masyarakat sipil bukan tanpa alasan. Faktor integritas adalah alasan utama ICW dan Perludem memersoalkan UU Pilkada. Dalam dokumen uji materi, tertera bahwa mereka menghendaki kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas. Publik mesti disajikan calon kepala daerah yang tidak memiliki rekam jejak negatif.

Lebih lagi terdapat sejumlah mantan narapidana korupsi yang kembali mengulangi perbuatannya. Bupati nonaktif Kudus, Muhammad Tamzil misalnya, kembali terjerat kasus korupsi untuk kedua kalinya.

Ia pernah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan divonis pada Februari 2015. Pada Desember 2015, ia lepas dari masa hukumannya.

Pada tahun 2018 Tamzil kembali maju sebagai calon Bupati Kudus dan terpilih. Pada Juli 2018 ia ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat diduga terjerat kasus suap pengisian jabatan. Tidak adanya masa jeda, ucap Donal, kemudian membuat koruptor kembali mengulangi perbuatannya.

Atas itulah masyarakat sipil mengajukan uji materi pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada ke MK. Dalam pengajuannya, mereka mengusulkan agar mantan terpidana diberi masa jeda 10 tahun atau 2 siklus pemilu. Namun MK hanya mengabulkannya menjadi 5 tahun.

Biarpun permohonan tak seluruhnya dikabulkan, putusan MK tetap diapresiasi. “MK melihat fakta-fakta empirik,” kata Donal.

Putusan MK sekaligus mengharuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengubah peraturan yang mereka buat.

Dalam Peraturan KPU no 18/2019 tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020, tidak ada pasal yang mengatur larangan mantan narapidana korupsi untuk maju menjadi calon kepala daerah. Peraturan itu hanya mengimbau partai politik untuk memprioritaskan calon selain mantan narapidana korupsi.

Oleh sebab itu KPU didesak untuk merevisi peraturan tersebut. “Revisi peraturan ini penting segera dilakukan,” seru Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil. KPU juga didorong untuk segera mensosialisasikan Peraturan KPU yang telah sesuai dengan putusan MK.

Pasca putusan MK, masyarakat sipil berharap kontestasi Pilkada Serentak 2020 akan terselenggara sesuai harapan. “Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal,” tutup Fadli. (Egi)

Koruptor Dilarang Maju Pilkada
Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada
 
“tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”

Perjalanan Pelarangan Mantan Napi Menjadi Koruptor
(Sumber: Kompas)
 
2004
* Pasal 58 huruf F UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Larangan bagi mantan narapidana termasuk terpidana korupsi untuk menjadi calon kepala daerah

2007

* Pasal 58 Huruf F UU Pemda diuji materi ke Mahkamah Konstitusi
* MK menolak poin uji materi melalui Putusan MK nomor 17/PUU-V/2007
 
2008
* UU Pemda direvisi menjadi UU no 12 tahun 2008. Larangan bagi mantan terpidana menjadi calon kepala daerah tetap berlaku
 
2009
* UU Pemda kembali diujimateri
* Ujimateri dikabulkan oleh MK. Pimpinan MK, Mahfud MD menyatakan ketentuan pelarangan mantan narapidana korupsi adalah inkonstitusional. Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009
* MK menyatakan empat persyaratan. Pertama, tidak dicabut hak pilihnya oleh pengadilan. Kedua, mantan terpidana bisa maju menjadi calon kepala daerah lima tahun setelah selesai menjalani pidana. Ketiga, mantan terpidana harus jujur dan terbuka atas statusnya kepada publik. Empat, bukan pelaku kejahatan yang berulang
 
2014
* Melalui UU nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), pelarangan sebelum putusan MK tahun 2009 kembali dihidupkan
* Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014 yang mencabut UU nomor 22 tahun 2014. Pelarangan tidak dicabut
* Saat Perppu dibahas oleh DPR, pelarangan diperlonggar. Putusan MK tahun 2009 kembali diadopsi. Mantan terpidana bisa maju asalkan memenuhi empat syarat yang disebutkan MK
 
2015
* Larangan kembali diuji materi ke MK
* MK mengabulkan poin permohonan uji materi dengan menghilangkan empat syarat yang diputuskan MK tahun 2009. Melalui Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, syarat hanya menjadi satu yaitu, wajib jujur dan terbuka atas statusnya sebagai mantan terpidana kepada publik
 
2016
* Putusan MK diadopsi dalam merevisi UU No 8 tahun 2015. Aturan itu lalu tertulis dalam pasal 7 Ayat (2) huruf G UU No 10/2016.
* Pasal pelarangan kembali diujimateri ke MK.
* MK melalui Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016 kembali melonggarkan pelarangan. Melalui putusannya mantan terpidana karena tindak pidana kealpaan dan tindak pidana karena pelakunya mempunyai pandangan berbeda dengan rezim berkuasa, tak termasuk kategori mantan terpidana yang tak bisa ikut pilkada. Mantan terpidana tersebut diperbolehkan untuk maju dalam pilkada
 
2019
* MK melalui Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 kembali memberlakukan aturan mantan terpidana seperti yang diputuskan oleh MK tahun 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags