"Mahkamah Anggodo"

Mahkamah Agung menyatakan tidak menerima permohonan peninjauan kembali terhadap surat ketetapan penghentian penuntutan atau SKPP Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Putusan ini mengukuhkan hattrick kemenangan Anggodo Widjojo atas dua unsur pimpinan KPK itu. Kado spesial MA untuk Anggodo yang sedang dibui.

Sesungguhnya, banyak pihak meyakini, dijatuhkannya vonis Pengadilan Tipikor kepada Anggodo pada 31 Agustus akan menjadi akhir dari drama kriminalisasi terhadap dua pemimpin KPK itu. Alasannya sederhana, karena tidak benar Bibit-Chandra melakukan pemerasan. Yang terbukti adalah permufakatan jahat dari Anggodo dan beberapa orang lainnya.

Namun apa lacur, di satu sisi Kejaksaan Agung ngotot untuk tidak menjadikan putusan Anggodo sebagai pertimbangan pengajuan PK. Mereka lebih memilih mempertahankan SKPP yang lemah secara yuridis karena adanya pertimbangan sosiologis yang tak lazim. Di titik ini kita mengecam kesalahan demi kesalahan yang cenderung ”dipelihara” Kejaksaan.

Di sisi lain, drama tragis ini berlanjut ke MA. Putusan hakim menyatakan tak dapat menerima PK yang diajukan Kejaksaan. Alasannya, PK tidak dapat dilakukan untuk keputusan praperadilan. Ketentuan ini merujuk Pasal 45 Huruf a Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA. Dalam pasal itu dijelaskan, tak ada ketentuan upaya hukum lanjutan untuk praperadilan yang sudah ditolak di Pengadilan Tinggi.

Kasus ini seharusnya bisa dijadikan momentum oleh MA untuk melakukan contra legem, dengan menyingkirkan ketentuan pasal-pasal di atas dan pada saat bersamaan menciptakan hukum baru. Sebab, pencarian keadilan tidak hanya di dalam UU atau peraturan hukum lain, tetapi juga dalam nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat. Ini senada dengan ajaran hukum yang hidup dari Eugen Ehrlich. Hakim bertugas untuk menggali nilai-nilai sosial masyarakat ini.

Jika ini dilakukan, hakim agung tak saja melepaskan dirinya dari perangkap berhukum secara konvensional, tetapi lebih dari itu, mereka juga jadi bagian dari upaya menyelamatkan KPK. Amat disayangkan, peran ini gagal dimainkan MA. Ini terjadi karena hakim agung masih terjebak ketentuan formal UU semata. Lebih mementingkan aspek prosedural daripada keadilan substantif bagi pimpinan KPK yang sudah jadi korban serangan balik para koruptor (corruptor fights back). Hakim agung masih jadi corong UU semata (bouche de la loi).

Bangunan rekayasa

Seiring perjalanan waktu, bangunan rekayasa dalam skenario kriminalisasi terhadap dua pemimpin KPK itu benar-benar sudah utuh terlihat. Rekaman penyadapan KPK yang diperdengarkan di persidangan Mahkamah Konstitusi menjadi bilik awal untuk melihat itu semua. Publik benar-benar terperangah saat mendengarkan desain apik antara Anggodo dan Ong Yuliana dalam menghancurkan KPK.

Bahkan Anggodo punya akses yang besar kepada para penegak hukum, polisi dan jaksa. Posisi tawar yang kuat dimanfaatkan untuk meyakinkan, hingga mendesak petinggi kedua institusi ini agar mendukung pembubaran KPK.

Tidak kalah dramatisnya, sekuel dugaan pembohongan terhadap publik oleh Jaksa Agung dan Kepala Polri juga tidak kalah mencengangkan. Pada saat yang hampir bersamaan, Jaksa Agung yang saat itu masih dijabat Hendarman Supandji menyatakan adanya 64 kali rekaman pembicaraan antara Ary Muladi dan Deputi Direktur Penindakan KPK Ade Raharja. Dan Kapolri pun mengamininya.

Namun, ketika Pengadilan Tipikor memerintahkan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri untuk menghadirkan rekaman itu, semua mengelak dan seolah tak bisa mempertanggungjawabkan bukti yang pernah digembar-gemborkan itu. Kesimpulannya, 64 rekaman itu fiktif belaka dan direkayasa oleh penegak hukum.

KPK tersandera
Proses hukum yang melilit dua pemimpin KPK itu, di luar kasus Antasari Azhar, benar-benar menguras energi KPK. Praktis kinerja lembaga ini menurun drastis. Penanganan kasus molor, kasus-kasus yang ditangani pun hanya kelas receh dan tidak menyentuh koruptor kelas kakap.

Lebih dari setahun drama kriminalisasi ini berlangsung dan kini akan memasuki episode baru pasca-putusan MA. Kondisi ini benar-benar membuat KPK tersandera. Apalagi pada saat dibutuhkan, Presiden pun absen dalam memberikan dukungan moril kepada institusi ini, bahkan hingga kini cenderung pasif atas tiga kali kekalahan Bibit-Chandra dalam proses praperadilan. Seharusnya Presiden bisa mengambil peran secara utuh dan memimpin penyelamatan KPK.

Lain Istana, lain pula Senayan. Hingga kini tahapan fit and proper test atas dua calon pemimpin KPK masih simpang siur. Padahal, sudah lebih dari sebulan DPR ”mengerami” dua nama yang telah diajukan Presiden. Harus dipahami, sesungguhnya saat ini kita membutuhkan gerak cepat untuk menyelamatkan KPK.

Salah satunya, dengan menyuntikkan tenaga baru ke institusi ini. Namun, ini tak kunjung dilakukan DPR. Maka, lengkap sudah penderitaan KPK karena berlarutnya proses seleksi ditambah putusan praperadilan di MA. Dalam kasus Bibit-Chandra, seharusnya MA tak mewarisi akumulasi kesalahan korps Adhyaksa, absennya Istana, hingga lambannya Senayan. Menegakkan keadilan jauh lebih penting dan kita semua tak ingin Mahkamah Agung jadi ”Mahkamah Anggodo”.

Donal Fariz Peneliti Hukum ICW, Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan