MA Perketat Pengawasan Parkiran sampai Kantin; Kelompok Mafia Galang Paranoid Solidarity

Setelah KPK menangkap lima pegawai Mahkamah Agung karena menerima suap 400.000 dollar AS dan Rp 800 juta, MA kini memperketat pengawasan di pelataran parkir, warung telepon, sampai kantin di lingkungan MA. Alasannya, di tiga titik itu- lah transaksi perdagangan perkara diduga banyak terjadi.

Hal itu disampaikan Ketua Muda Pengawasan MA Gunanto Suryono, Rabu (5/10). MA juga akan mengganti semua satpam di lingkungan MA. Sekarang siapa yang mengawasi pegawai, kan satpam. Tapi, satpamnya malah begitu. Semua diganti, tak satu pun yang lama dipakai, katanya.

Menurut Gunanto, Ini pelajaran bagus bagi kami. Saya senang KPK tidak ngomong apa- apa. Kami akan support.

Gunanto menjelaskan, dari informasi yang ia peroleh, Pono Waluyo (anggota staf bagian kendaraan MA) yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki hubungan keluarga dengan Harini Wijoso, mantan hakim tinggi yang menjadi pengacara Probosutedjo, yang juga ditangkap.

Sedangkan Sudi Ahmad, anggota staf Korpri MA, yang juga ditangkap pernah melakukan tindak kriminal pemalsuan putusan perdata. Sudi pernah diturunkan pangkat dari III C ke III B dan diberhentikan dengan hormat tak atas permintaan sendiri sejak 21 Maret 2003. Namun, SK pemberhentiannya dua tahun ini mandek di Biro Kepegawaian MA.

Solidaritas mafia
Menanggapi praktik suap di MA, Direktur Indonesian Court Monitoring Denny Indrayana, Rabu, menyatakan, kelompok kepentingan yang diuntungkan oleh sistem peradilan yang korup telah membangun paranoid solidarity atau solidaritas dalam ketakutan di antara aktor-aktor yang bermain. Mereka takut kalau ada pihak luar yang mengintervensi dan mengganggu. Karena itu, mereka saling menutup dan melindungi, ujar Denny.

Ada paranoid solidarity ini tentu menyulitkan KPK membongkar jaringan mafia secara keseluruhan. Ini menjelaskan mengapa penangkapan anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana W Kusumah, Tengku Saifuddin Popon yang menghebohkan, serta Harini dan lima pegawai MA tak juga menimbulkan efek jera. Karena, yang ditangkap makelar, para kopral, bukan jenderal, katanya.

Praktik mafia peradilan adalah memperdagangkan kewenangan hukum. Dalam teori jual-beli ada penjual dan pembeli. Selama ini penjual dan pembelinya tak pernah terkena. Yang terkena makelar yang biasanya pegawai kecil. Para makelar didampingi pengacaranya lalu berupaya menutupi dan melindungi para aktor yang bermain, ujar Denny.

Denny juga dapat memahami mengapa tak terdengar organisasi profesi advokat dan hakim yang bersuara atas praktik memalukan itu. Kita tentu tak bisa berharap dari mereka karena diuntungkan sistem ini, katanya. (VIN/BDM)

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan