MA agar Audit Perkara; Ketua MA: Tumpukan Perkara Bergantung Kinerja Hakim Agung

Komisi III DPR mendesak Mahkamah Agung untuk melakukan audit manajemen perkara meliputi jumlah perkara masuk, pola penentuan majelis, lama penanganan perkara, dan pelaksanaan eksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

”Manajemen perkara harus diaudit, misalnya bagaimana proses pendistribusian perkara, kriteria yang digunakan apa saja, bagaimana menentukan perkara A masuk ke majelis ini, sementara perkara B masuk ke majelis itu. Selama ini tidak pernah jelas,” ujar Benny K Harman, Ketua Komisi III DPR, dalam rapat konsultasi dengan MA di Gedung MA, Jakarta.

Benny menjelaskan, audit perkara itu juga untuk memastikan problem utama yang menyebabkan terjadinya penumpukan perkara di lembaga peradilan tertinggi tersebut. ”Kami punya hak untuk mengawasi. MA bukan lembaga untouchable (tak tersentuh). MA tetap tunduk pada pengawasan politik dari DPR,” kata Benny.

Sebelumnya, Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui tingginya tumpukan perkara di MA dipengaruhi faktor kinerja hakim agung. Hakim agung yang berkinerja baik dapat menyelesaikan perkara dengan cepat, sedangkan hakim yang berkinerja buruk menyumbang semakin tingginya tumpukan perkara.

Namun, Harifin meragukan efektivitas pengawasan politik yang dapat dilakukan DPR. ”Kalau sudah tahu hakim yang lambat menangani perkara, memangnya lantas mau diapakan. Tidak ada itu namanya pengawasan politik,” ujar Harifin, yang menolak istilah audit perkara. MA, katanya, akan menyerahkan data yang diminta, tetapi menolak ungkapan audit.

Harifin menambahkan, MA pernah melakukan evaluasi perkara-perkara lama, seperti perkara tahun 2005, 2006, 2007, yang belum juga diputus hingga tahun lalu. MA membentuk Tim Kikis dan menarik 270 perkara dari majelis lama, lalu mendistribusikannya ke majelis baru.

Beberapa anggota Komisi III mempersoalkan modus mafia peradilan yang memanfaatkan lamanya proses penanganan perkara tersebut. Ada yang menahan laju perkara, ada pula yang berupaya mempercepat. Terkait dugaan itu, Harifin mengatakan, ”Laporkan, kami akan tindak lanjuti. Demikian pula jika ada hakim memutus dengan cepat karena menerima sesuatu, kami pasti menindaklanjuti.”

Data MA menunjukkan, jumlah perkara yang masuk setiap bulan antara 1.000 dan 1.300 perkara. Pada tahun 2009, perkara yang masuk ke MA sebanyak 12.540 perkara. Ditambah dengan sisa perkara tahun 2008 sebanyak 8.280 perkara, total perkara selama tahun 2009 adalah 20.820 perkara.

”Tidak ada pembatasan upaya hukum sehingga perkara-perkara kecil, seperti sengketa tanah sekitar 1,5 x 4 meter, juga sampai di MA. Kami mengimbau Komisi III memikirkan UU Pembatasan Perkara,” tutur Harifin.

Selain meminta audit manajemen perkara, Komisi III juga meminta MA untuk memberikan data pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Menurut Harifin, pihaknya sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk memantau pelaksanaan eksekusi. Eksekusi itu berada di pengadilan tingkat pertama. (ANA)
Sumber: Kompas, 16 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan