LPJK Gubernur Audit BPK yang Menghebohkan Itu

SUASANA sidang pleno di Gedung DPRD Riau sedikit memanas ketika Gubernur Riau Rusli Zainal menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan (LPjK) periode 2004, baru-baru ini, perihal pemakaian dana APBD.

Seorang anggota Dewan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) AB Purba, tiba-tiba walk out. Ia beralasan forum pleno tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No 32 Tahun 2004, yang mensyaratkan pertanggungjawaban gubernur perihal pemakaian APBD disertai lampiran hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun sayang, pada pleno kedua yang diselenggarakan pada 19 Juli, AB Purba tidak hadir di Gedung Dewan. Selang sehari, ia mengundang sejumlah wartawan di sebuah hotel, di Pekanbaru, Riau. Ia menyampaikan keberatannya atas LPjK Gubernur Riau karena tanpa dilengkapi laporan hasil audit BPK.

Pada kesempatan itu ia membeberkan temuan senilai Rp439 miliar dana APBD 2004 Riau yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Data yang disampaikan kepada wartawan itu memuat 25 item penggunaan keuangan daerah, terlampir dalam tiga lembar folio.

Ia mengatakan, data tersebut merupakan temuan BPK Perwakilan I Medan yang mengaudit Laporan Pertanggungjawaban Keuangan (LPjK) Pemerintah Provinsi Riau. Berita pun bergulir. Bagi insan pers, jika benar temuan BPK tersebut, merupakan berita besar.

Ironisnya, Kepala BPK Perwakilan I Medan Muhammad Sanusi ketika dikonfirmasi Media sontak kaget. Ia mengatakan tidak pernah memberikan keterangan pers hasil audit BPK terhadap APBD 2004 Riau. Saya, selaku perwakilan BPK membantah keras telah memberikan keterangan pers, tegasnya.

Sanusi bahkan menjelaskan tidak benar, seperti yang dikemukakan AB Purba bahwa hasil audit ABPD 2004 Riau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Secara fisik telah dapat dipertanggungjawabkan, namun secara administrasi perlu dilengkapi, itu yang benar, tambahnya.

Ia mencontohkan penggunaan dana block grant (dana yang disalurkan langsung) di bidang pendidikan untuk kabupaten dan kota di Riau, yang besarnya Rp40,1 miliar. Penggunaan dana tersebut secara fisik sudah dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, dana tersebut sudah dikucurkan hingga ke sekolah-sekolah di seluruh penjuru kabupaten dan kota di Provinsi Riau dengan bukti berita acara penerimaan dana dari setiap kepala sekolah.

Namun BPK masih menunggu bukti penggunaan dana tersebut yang seharusnya dipertanggungjawabkan kepala-kepala sekolah. Bukti-bukti tersebut sebagian besar sudah dilampirkan untuk menjadi bahan pertanggungjawaban. Karena itu, kata Sanusi, Pemprov Riau diberi waktu 60 hari terhitung 7 Juni 2005, guna melengkapi administrasi yang dimaksud.

Tidak sejalan
Lebih ironis lagi, temuan AB Purba itu tidak sejalan dengan pandangan Dewan. Wakil Ketua DPRD Riau Djuharman Arifin menyebutkan, selama dua kali rapat paripurna, 12 dan 19 Juli 2005, sembilan anggota DPRD Riau yang menyampaikan pandangan umum sama sekali tidak menyinggung dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan senilai Rp439 miliar itu.

Selama rapat, tidak disinggung dana sebesar itu. Saya tidak tahu dari mana asalnya, kata Djuharman kepada Media, Selasa (26/7).

Lebih lanjut, Djuharman mengatakan setiap anggota Dewan berhak menanyakan masalah anggaran dalam forum pleno. Sayang Pak Purba tidak menggunakan kesempatan tersebut. Malah bicara di luar gedung. Ini cara berpolitik yang kurang baik, kata Djuharman lagi.

Namun, politikus asal Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengakui memang ada sejumlah item yang perlu dilengkapi Pemprov Riau, antara lain dokumen pengeluaran proyek di bidang pendidikan.

Djuharman menjelaskan, Gubernur Riau Rusli Zainal sudah menyanggupi menyempurnakan LPjK sebagai jawaban atas pandangan umum anggota DPRD Riau, sekaligus untuk memenuhi ketentuan audit BPK.

Menanggapi polemik dalam menyikapi LPjK Pemprov Riau itu, ahli hukum tata negara dari Universitas Islam Riau (UIR) Prof Sufian Hamim menjelaskan persoalan tersebut mencuat karena UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum dilengkapi peraturan pemerintah (PP) sebagai petunjuk pelaksanaannya. Akhirnya, dalam praktiknya, UU No 22 Tahun 1999, meski telah dicabut, tetap digunakan sebagai dasar hukum penyusunan LPjK.

Inilah persoalan di negeri ini ketika membuat sebuah perundang-undangan kerap tidak dibarengi dengan juklaknya. Sehingga penyelenggara pemerintahan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif, sering kesulitan ketika akan menerapkan sebuah mekanisme peraturan, kata Sufian kepada Media, kemarin.

Menyinggung aksi walk out yang dilakukan AB Purba, menurut Sufian, hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Karena pro-kontra dalam menerapkan mekanisme peraturan bisa diputuskan dengan membentuk panitia khusus (pansus). Hal itu kerap dilakukan dalam menerapkan peraturan lainnya, ketika sebuah UU pengganti belum memiliki peraturan pemerintah sebagai turunannya.

Misalnya ketika Dewan mau membentuk tata tertib. Saat itu, UU No 32 Tahun 2004 sebagai acuan belum memiliki juklak. Akhirnya, disepakati untuk berkonsultasi dengan pemerintah (Mendagri) yang memberi petunjuk untuk merujuk kepada PP yang lama, terangnya.

Menanggapi kemelut tersebut, senada dengan Sufian, Gubernur Riau Rusli Zainal mengatakan UU No 32 Tahun 2004 belum memiliki kelengkapan PP yang menjadi aturan operasionalnya. Sehingga aturan itu belum bisa digunakan.

Saya masih berpedoman pada UU No 22 Tahun 1999 sebagai dasar hukum penyusunan LPjK karena UU penggantinya belum memiliki PP, kata Rusli kepada wartawan usai sidang.

UU 32 Tahun 2004 yang merujuk pada pasal 184, lanjut Rusli, baru dilaksanakan tahun 2006 setelah ada PP sebagai revisi dari PP No 105 Tahun 2000.

Rusli membantah bila Pemprov Riau belum meminta audit keuangan kepada BPK. Hasil audit BPK sudah ada, termasuk laporan keuangan BUMD yang dimiliki Pemerintah Provinsi Riau. Tapi UU No 22 Tahun 1999 tidak mensyaratkan hal itu, kata Rusli.(Tony Hidayat/Bagus Himawan/Fitra Asrirama/B-2).

Sumber: Media Indonesia, 28 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan