Lonjakan Korupsi di Desa

Pemerintah telah mematok anggaran dana desa pada 2018 sebesar Rp 60 triliun. Rata-rata setiap desa akan mendapatkan Rp 800 juta. Di tengah besarnya anggaran yang akan dikucurkan, pengelolaan dana desa berhadapan dengan maraknya permasalahan korupsi di tingkat desa. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap korupsi di tingkat desa menunjukkan, jumlah kasus korupsi selalu melonjak lebih dari dua kali lipat dari tahun ke tahun. Pada 2015, kasus korupsi berjumlah 17 kasus dan meningkat menjadi 41 kasus pada 2016. Tahun 2017 melonjak menjadi 96 kasus. Total kasus pada 2015- 2017 mencapai 154 kasus.

Pada aspek lain, korupsi di desa turut menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar. Angkanya mencapai Rp 47,56 miliar. Rinciannya adalah Rp 9,12 miliar pada 2015, Rp 8,33 miliar pada 2016, dan melonjak menjadi Rp 30,11 miliar pada 2017.

Dari 154 kasus yang terpantau, anggaran desa adalah obyek korupsi yang paling banyak ditemukan. Total 82 persen kasus menjadikan anggaran desa sebagai obyek. Obyek korupsi anggaran desa mencakup alokasi dana desa (ADD), dana desa, kas desa, dan lain-lain. Kendati demikian, turut ditemukan kasus korupsi dengan obyek non-anggaran desa. Misalnya, pungutan liar yang dilakukan perangkat desa. Total kasus dengan obyek korupsi non- anggaran desa 18 persen dari keseluruhan kasus.

Terkait aktor, terdapat hal yang penting menjadi sorotan, yakni meningkatnya jumlah kepala desa yang tersangkut kasus korupsi, sepanjang 2015-2017 mencapai 112 orang. Pada 2015, terdapat 15 kepala desa, pada 2016 menjadi 32 orang, dan pada 2017 melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 65 kepala desa. Turut menjadi tersangka adalah 32 perangkat desa dan tiga anggota keluarga kepala desa.

Pada Agustus 2017, penangkapan kepala desa sempat menjadi sorotan publik. AM, Kepala Desa Dassok, Kabupaten Pamekasan, terlibat dalam dugaan penghentian kasus yang tengah ditangani Kejaksaan Negeri Pamekasan melalui upaya suap. Kasus ini terkait pengadaan yang menggunakan anggaran dana desa. AM kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama empat orang lainnya.

Faktor penyebab
Modus yang ditemukan dalam kasus korupsi di desa beragam. Praktik penyalahgunaan anggaran paling banyak ditemukan. Terungkap 51 kasus adalah praktik penyalahgunaan anggaran. Modus lain adalah penggelapan (32 kasus), laporan fiktif (17 kasus), kegiatan/proyek fiktif (15 kasus), dan penggelembungan anggaran (14 kasus).

Dari aspek penegakan hukum, kasus korupsi di desa paling banyak ditangani Kepolisian RI dengan total 81 kasus, disusul oleh Kejaksaan 72 kasus, dan KPK satu kasus. Minimnya kasus yang ditangani KPK besar kemungkinan terkait keterbatasan wewenang yang dimiliki. Apabila merujuk Pasal 11 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan KPK dalam menjerat kepala desa terbatas. KPK dapat menjerat AM sebagai kepala desa karena ia terlibat dugaan suap bersama-sama dengan Bupati Pamekasan, AS, dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan.

Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab maraknya korupsi di tingkat desa. Pertama, terkait minimnya pelibatan dan pemahaman warga akan proses pembangunan desa. Warga memang kerap dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa, tetapi pelibatannya masih terbatas. Tak banyak pula warga yang memiliki kemampuan cukup untuk memahami proses pembangunan, termasuk pemahaman akan anggaran di desa, hak dan kewajiban sebagai warga di desa, dan lainnya.

Kedua, minimnya fungsi pengawasan di desa. Lembaga seperti badan permusyawaratan desa (BPD) belum sepenuhnya optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa. BPD seyogianya dapat berperan penting mencegah korupsi di desa, termasuk mendorong warga lainnya untuk bersama-sama mengawasi pembangunan di desa

Ketiga, terbatasnya akses warga terhadap informasi, seperti anggaran desa. Sebagai contoh, total jumlah anggaran yang diterima desa dan total jumlah pengeluaran dipublikasikan, sementara rincian penggunaan tak dipublikasikan secara berkala atau bahkan tak diberikan sama sekali. Informasi mengenai pelayanan publik di desa juga masih terbatas. Warga sering kali tak mendapatkan informasi mengenai penggunaan akses layanan seperti kesehatan dan pendidikan. Tidak tersedianya akses terhadap informasi kemudian membuat warga tidak terdorong untuk berpartisipasi aktif sehingga pengawasan terhadap pembangunan desa menjadi minim.

Terakhir, korupsi di desa tak selalu disebabkan kehendak kepala desa atau perangkat desa untuk secara sengaja melakukannya, tetapi dapat terjadi karena keterbatasan kemampuan dan ketidaksiapan mereka mengelola uang dalam jumlah besar.

Dana desa
Maraknya kasus korupsi yang terjadi sepatutnya diberi perhatian serius. Setelah dikeluarkannya UU No 6/2014 tentang Desa, anggaran dana desa bergulir dalam jumlah sangat besar. Kendati dari hasil temuan tak semua menjadikan anggaran desa sebagai obyek, ini menunjukkan ada permasalahan besar dalam pengelolaan anggaran di desa sehingga penggunaan dana desa menjadi rawan. Dalam kondisi demikian, terbuka kemungkinan tindak pidana korupsi kian marak terjadi dalam pengelolaan dana desa.

Perhatian lebih dari otoritas terkait dibutuhkan. Kemendagri mesti lebih aktif memperkuat kapasitas kepala desa dan perangkat desa, baik dalam aspek regulasi, perencanaan pembangunan,
maupun tataran teknis lain terkait pengelolaan keuangan desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa) juga harus lebih serius mendorong warga aktif berpartisipasi. Penting bagi warga desa untuk paham atas hak dan kewajibannya sebagaimana tertera dalam Pasal 68 UU Desa.

Tantangan terkait dana desa juga kian besar pada 2018, mengingat maraknya daerah yang menggelar pilkada serentak. Terdapat 115 kabupaten akan menggelar pilkada serentak pada 2018 dan sedikitnya 151 kepala daerah yang merupakan pejabat aktif kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah sehingga terbuka lebar kemungkinan terjadinya politisasi dana desa untuk kepentingan kontestasi pilkada. Kementerian Keuangan, Kemendagri, dan Kemendesa perlu aktif mengawasi pencairan dana desa agar tak diselewengkan.

Egi Primayogha, Anggota Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 19 Februari 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan