Listrik untuk Rakyat Miskin

Ada yang menarik dari rencana Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Persero (PLN) Dahlan Iskan. Dia mengusulkan listrik untuk masyarakat miskin digratiskan, sementara untuk yang lain tarifnya disesuaikan dengan harga pasar. (Antara, 13/6/2010)

Sekalipun rencana ini ditanggapi guyonan oleh DPR, Dahlan menegaskan bahwa pihaknya benar-benar akan merealisasikan kebijakan Liskin (listrik untuk rakyat miskin) yang ditujukan bagi pengguna listrik 450 Kwh itu. Jumlah mereka diperkirakan 20 juta pelanggan.

Melalui formulasi kebijakan tersebut, PLN diperkirakan bakal rugi sekitar Rp 1,5 triliun. Namun, pendapatan dari masyarakat lain yang membayar sesuai dengan tarif akan meningkat Rp 20 triliun. Cara tersebut diharapkan dapat menjadi solusi bagi beragam reaksi yang mengiringi kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL).

Blunder TDL
Usul tersebut sejatinya merupakan alternatif untuk mengurai blunder kebijakan TDL. Mereka yang berdemonstrasi menjelang penetapan kenaikan harga, di satu sisi, selalu beralasan atas nama rakyat miskin. Padahal, di sisi lain, PLN selalu rugi karena biaya produksi mencapai Rp 1.200 per Kwh, sedangkan harga jual rata-rata hanya Rp 650 per Kwh.

Dalam pengesahan APBNP-2010 saja, PLN lagi-lagi harus disuntik dana segar Rp 55,106 triliun. Ini pun TDL masih harus dinaikkan 10 persen per Juli bagi pelanggan golongan 450-900 VA yang mengonsumsi listrik lebih dari 30 Kwh per jam per bulan. Sementara kenaikan tarif listrik untuk 900 VA ke atas ditetapkan secara berjenjang dengan rata-rata kenaikan 15 persen.

Rasionalisasi kenaikan tarif yang disampaikan Direktur Jenderal Listrik J. Purwono juga tidak banyak membantu. Padahal, kenaikan TDL dipercaya menghemat subsidi listrik dalam APBN 2010 sebesar Rp 7,3 triliun. Sebaliknya, jika DPR menolak usul kenaikan TDL itu, akan ada tambahan defisit APBN 2010 sebesar Rp 6,8 triliun.

Pendek kata, kenaikan TDL di satu sisi masih menjadi momok bagi masyarakat, khususnya kalangan usaha. Kekhawatiran akan kolapsnya sebuah perusahaan dan akan di-PHK-nya ribuan buruh menjadi bayang-bayang hitam kenikan TDL.

Meski demikian, harus dipahami, di antara total subsidi listrik Rp 55,106 triliun, justru sekitar 52 persennya dinikmati oleh konsumen yang menggunakan daya listrik tinggi, di atas 450 watt. Artinya, sekitar Rp 28,08 triliun subsidi justru dinikmati oleh mereka yang tidak menjadi sasaran subsidi. Ini perlu dipikirkan sebagai persoalan serius.

Karena itu, kebijakan Liskin layak dipertimbangkan. Apalagi kenaikan TDL selalu berbarengan dengan meroketnya harga minyak mentah dunia dan produk turunannya, termasuk gas dan batu bara yang diprediksi terus meroket hingga 100 dolar AS per barel tahun ini. Padahal, Indonesia memiliki 199 blok minyak dan gas (migas) yang tersebar di 66 cekungan potensial serta memiliki cadangan batu bara yang melimpah yang menghasilkan sekitar 240 juta ton per tahun.

Inilah titik blunder kebijakan energi di negeri ini. Saat membutuhkan bahan baku listrik, perusahaan negara macam PLN justru harus mengimpor. Sebaliknya, produksi energi yang melimpah di negeri sendiri dengan bebas dijual ke luar negeri oleh ratusan perusahaan ekstraktif.

Akar Persoalan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang terus memprioritaskan perusahaan asing macam UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara menjadi sebab karut-marut kedau­latan energi nasional. Kebutuhan domestik tidak terpastikan karena rendahnya bargaining pemerintah memaksa perusahaan memasok kebutuhan dalam negeri.

Para investor asing lebih memilih melakukan transaksi internasional dengan cara menjual hasil drilling ke luar negeri (dilindungi pasal 23 UU 22/2001). Kalaupun menjual di dalam negeri, mereka justru menjualnya di SPBU milik pribadi yang kini banyak tersebar di kota besar seperti SPBU kuning (Shell), SPBU Hijau (Petronas), dan SPBU Merah (Caltex).

Dampak selanjutnya sudah dapat ditebak. Tidak hanya kenaikan TDL, krisis listrik merata di hampir seluruh daerah. Sejumlah daerah kaya energi bahkan harus menangung beban, mulai dari rusaknya fungsi fisiologi, seiring dengan tidak terjaminnya konsumsi energi. Tahun 2008 saja di Sumatera Utara tercatat 75.531 daftar tunggu, Sumatera Barat 30.429, Riau 103.192, Sumatera Selatan 100.933, Kalimantan Barat 45.202, Kalimantan Selatan 120.589, Kalimantan Timur 22.086, Jawa Barat 387.864, dan Jawa Timur 207.918.

Membludaknya daftar tunggu itu belum termasuk warga yang selama ini belum pernah menikmati listrik dan belum mendaftar. Bahkan, rakyat yang sudah menikmati listrik pun masih harus mengalami byar-pet alias pemadaman bergilir, penerapan kebijakan tarif insentif dan dis-insentif, kebijakan dayamax plus. Tahukah Anda, hanya 47 persen penduduk Indonesia yang dapat mencecap terangnya listrik. Selebihnya gelap dan hidup dalam suasana mencekam itu.

Beberapa bulan lalu PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Kalimantan Barat (Kalbar) bahkan mengimpor listrik 200 kilo volt amper (kva) dari Serawak Energy, Malaysia, dan menyalurkannya ke daerah perbatasan Aruk, Kabupaten Sambas. Memalukan. Benar-benar kita malu sebagai bangsa.

Pendar fakta krisis listrik di atas sejatinya bisa diatasi bila pemerintah mendengar suara hati PT PLN, yakni: pertama, kebutuhan listrik tahun 2010 untuk sektor Jawa-Bali 114.106 Gwh, 130. 855 MW, dengan jumlah pelanggan 29.681 atau meningkat dari tahun 2009 yang hanya 106,641 Gwh, 122, 295 MW, dengan jumlah pelanggan 28.182. (RUPTL, 2006-2015).

Kedua, program diversifikasi pemakaian bahan bakar minyak (BBM) ke non-BBM, seperti batu bara dan gas, yang bertujuan menurunkan biaya produksi, sejatinya harus dibarengi dengan kebijakan kedaulatan energi dengan cara menjamin pasokan gas PT PLN (harus melebihi jumlah minimal yang sekarang ini ada, yakni 50-200 mmscfd) serta membangun pipa dari landing point ke pembangkit.

Tragisnya, hingga kini, dua hal yang diminta PT PLN di atas tidak pernah dipenuhi pemerintah. Akibatnya, TDL akan terus dan terus meroket. Jika demikian, mari berhenti mencerca PT PLN. Sebab, akar masalahnya ada pada KEN yang hingga kini masih belum berpihak pada kepentingan nasional.

Kehadiran listrik untuk rakyat miskin diharapkan menjadi jembatan dari kebuntuan kebijakan energi nasional yang selama ini mengorbankan banyak pihak, terutama rakyat miskin. Dengan cara itu, rakyat miskin yang setiap hari hanya menggunakan lima lampu ditambah dengan TV, radio, VCD, rice cooker bergantian dengan setrika dan kipas angin, kata Dahlan, akan terselamatkan. (*)

*) Indah Dwi Qurbani, pengajar Hukum Pertambangan, sedang studi S-3 Ilmu Hukum Unair
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 15 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan