LHKPN, Kebijakan Tanpa Taji
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewajibkan calon kepala daerah menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Sayangnya, tidak ada mekanisme pemberian sanksi bagi calon yang laporan harta kekayaannya tidak jujur.
Dasar hukum mengenai kewajiban calon kepala daerah menyampaikan LHKPN adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 Tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 pasal 4 ayat 1 poin K. Aturan lainnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dibukanya harta kekayaan calon kepala daerah berfungsi ganda. Pertama, menjadi rujukan masyarakat untuk menentukan pilihan. Berdasarkan data LHKPN, masyarakat bisa menilai mana kandidat yang jujur atau bohong. Caranya mudah, cukup membandingkan kekayaan dengan total sumbangan kampanye yang berasal dari calon kepala daerah. Cara lain, memverifikasi kesesuaian data dengan riil kekayaan.
Fungsi kedua, mencegah penyalahgunaan kewenangan apabila calon terpilih. LHKPN dapat menjadi alat kontrol bagi masyarakat dan KPK. Mereka bisa membandingkan peningkatan harta kepala daerah sebelum dan sesudah menjabat. Peningkatan kekayaan yang tidak wajar mengindikasikan terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Bagi kepala daerah, LHKPN bisa menjadi kontrol internal. Mereka tidak akan berani mengumpulkan harta dengan cara tidak wajar karena masyarakat sudah mengetahui jumlah kekayaannya.
Hingga batas akhir waktu pelaporan (Jumat 19 Januari 2018), belum semua calon kepala daerah menyerahkan LHKPN. Berdasarkan data KPK (diakses pada 27 Januari 2018), sudah 1.168 kepala daerah atau 91 persen dari total calon yang ikut bertarung dalam Pilkada 2018 telah mengirimkan LHKPN. Masing-masing 58 calon gubernur dan 58 calon wakil gubernur, 390 calon bupati dan 383 calon wakil bupati, serta 141 calon walikota dan 138 calon wakil walikota.
Pada sisi lain, data yang diberikan calon kepala daerah diduga banyak yang tidak jujur. Modus paling umum adalah melaporkan jumlah kekayaan lebih sedikit dibanding yang sebenarnya. Malah ada kandidat yang melaporkan harta kekayaannya minus, dua di antaranya melaporkan harta kekayaan masing-masing minus Rp 119 juta dan minus Rp 94 juta.
KPU berwenang memberi sanksi bagi calon kepala daerah yang tidak memberi laporan antara lain pencalonannya dianggap tidak memenuhi syarat. Akan tetapi, bagi calon yang sudah memberi laporan tapi isinya bohong atau fiktif, lembaga tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu pula KPK yang kewenangannya sebatas verifikasi dan mengumumkan hasilnya.
Tiadanya sanksi bagi calon kepala daerah yang berbohong dalam mengisi LHKPN karena memang tidak diatur dalam Undang-Undang Pilkada maupun Peraturan KPU. Calon kepala daerah hanya wajib menyerahkan laporan. Terlepas isinya jujur atau rekayasa, sudah di luar kewenangan KPU.
Lebih parah lagi, KPK yang bertugas menerima dan memverifikasi data pun tidak memiliki kewenangan memberi sanksi. Langkah akhir mereka hanya sebatas mengumumkan hasil verifikasi. Sama seperti KPU, hambatan utama KPK adalah belum ada aturan khusus seperti Peraturan Pemerintah mengenai LHKPN yang memberi kewenangan kepada mereka untuk sanksi bagi pejabat dan calon pejabat yang tidak melapor atau laporannya fiktif.
Padahal apabila aturannya memiliki taji, LHKPN tidak hanya bisa menjadi rujukan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan atau mengawal pejabat publik, tapi juga dapat menjadi saringan awal dalam proses seleksi calon pejabat seperti kepala daerah, DPR, dan DPRD. Mereka yang sejak awal sudah berbohong dengan sendirinya tidak bisa ikut serta dalam seleksi.
Karena itu, sudah saatnya aturan pemilihan calon pejabat publik diperbaiki. Pelaporan harta kekayaan secara jujur dan terbuka harus menjadi bagian penting dalam persyaratan pencalonan. Apabila laporan calon pejabat publik seperti kepala daerah terbukti bohong, pencalonannya dianulir. Langkah KPK mendorong pembentukan Peraturan Pemerintah mengenai LHKPN pun patut didukung. Para pejabat publik harus dipaksa untuk terus memperbaharui laporan harta kekayaannya secara berkala. (Ade)