Lebih Ekonomis Sewa Pesawat

PEMERINTAH Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tampaknya, sudah tak mampu lagi membendung hasratnya untuk membeli pesawat kepresidenan. Berbagai alasan diajukan untuk pembenaran hasrat tersebut. Bahkan, Mensesneg Sudi Silalahi menyatakan bahwa dengan membeli pesawat tersebut, negara menghemat Rp 100 miliar dalam lima tahun.

Mensesneg mengemukakan bahwa anggaran sewa pesawat untuk perjalanan dinas presiden dan wakil presiden setiap tahun adalah Rp 180 miliar atau Rp 900 miliar untuk lima tahun. Jika anggaran tersebut dibelikan pesawat terbang Boeing 737-800 (biasa disebut B738 di kalangan penerbangan) yang harganya (menurut Mensesneg) USD 85,4 juta atau sekitar Rp 800 miliar, pada akhir masa pemerintahan SBY negara akan menghemat Rp 100 miliar plus punya sebuah pesawat kepresidenan.

Memang, harga B738 berkisar USD 75 juta dengan konfigurasi standar. Untuk pesawat kepresidenan, tentunya pesawat tersebut disesuaikan menjadi konfigurasi VIP sehingga harganya USD 80 juta. Namun, harga tersebut adalah list price atau published price. Jika pemerintah sedikit saja mahir melakukan negosiasi, Boeing dapat memberikan diskon sekitar 30 persen sehingga harga neto pesawat sekitar USD 55 juta. Hal itu sudah menjadi pengetahuan umum kalangan penerbangan sehingga sangat ganjil jika pemerintah tidak mampu mendapatkan diskon tersebut.

Selain itu, pada umumnya pembeli membayar dengan sistem uang muka 30 persen dan sisanya dibayar oleh perusahaan financing (pembeyaan) yang kemudian diangsur oleh pembeli. Mensesneg menyatakan bahwa pembelian pesawat akan dicicil lima kali. Namun, apakah Boeing berkenan dengan sistem pembayaran seperti ini, apalagi jika tanpa bunga?

Benarkah Lebih Hemat?
Sebagai bandingan, biaya sewa pesawat sejenis berkisar USD 500 ribu atau sekitar Rp 4,6 miliar per bulan dengan kondisi dry lease (tanpa awak pesawat) dengan sewa minimum 100 jam per bulan. Dengan asumsi harga beli pesawat tetap pada USD 85,4 juta, uang muka 30 persen, dan cicilan lima tahun, besarnya pembayaran cicilan mencapai USD 996 ribu atau sekitar Rp 9,3 miliar setiap bulan. Besarnya angsuran yang akan dibayar pemerintah juga jauh lebih besar daripada harga sewa/lease. Untuk kepentingan komersial, nilai keekonomian pesawat sejenis adalah 200 jam terbang per bulan. Namun, apakah sederhana itu?

Perlu diingat bahwa biaya carter atau sewa pesawat (lengkap dengan awak dan segala pelayanan dalam kondisi tinggal pakai) untuk perjalanan dinas presiden dan wakil presiden yang Rp 180 miliar per tahun itu sudah mencakup biaya perawatan pesawat, bahan bakar, asuransi pesawat, crew, pelayanan selama penerbangan (makanan, bacaan, dsb) serta landing fee dan parking fee, serta hanya dibayarkan ketika pemerintah menggunakan jasa carter pesawat tersebut.

Sedangkan Rp 160 miliar yang dibayarkan negara tiap tahun untuk pembelian pesawat, belum mencakup semua itu dan tetap dikeluarkan tanpa terpengaruh apakah dalam bulan terkait presiden menggunakan pesawat tersebut atau tidak.

Sebagai pertimbangan, biaya-biaya tetap yang rutin timbul akibat kepemilikan sebuah pesawat mencakup gaji untuk 3 set crew (setiap set crew terdiri ata 1 kapten pilot, 1 first officer/ kopilot, 1 purser/kepala awak kabin, dan sedikitnya 3 orang awak kabin), perawatan pesawat, asuransi pesawat, sewa hanggar dan parkir di apron, serta penyusutan nilai pesawat yang jumlahnya dapat mencapai sedikitnya USD 400.000 atau sekitar Rp 3,7 miliar setiap bulan. Tidak terpengaruh apakah pesawat tersebut dipakai atau tidak.

Jika pesawat dipakai, akan muncul biaya-biaya variabel seperti bahan bakar, transpor, dan akomodasi crew di tempat tujuan, perijinan, dsb. Untuk diketahui bahwa B738 mengonsumsi avtur sekitar 3.000 liter setiap jam dan harga avtur saat ini sekitar Rp 7.200 per liter sehingga biaya bahan bakar mencapai Rp 21 juta per jam. Dengan asumsi pesawat dihidupkan selama 100 jam setiap bulan, biaya bahan bakar mencapai Rp 2,1 miliar setiap bulan.

Dari hitung-hitungan itu saja sudah terlihat bahwa biaya operasional pesawat sedikitnya Rp 5,8 miliar tiap bulan atau Rp 69,6 miliar setiap tahun.

Itu belum menghitung cost of funds atau biaya dari uang yang ditanamkan untuk membeli pesawat tersebut.

Kepatutan Politik
Saat ini sebenarnya sudah ada pesawat kepresidenan yang disediakan Pelita Air jenis RJ-11 dengan nomor registrasi PK-PJJ yang konfigurasinya sudah dibuat khusus untuk presiden dan wkil presiden.

Pesawat tersebut cukup ideal untuk perjalanan ke daerah karena hanya membutuhkan landasan pacu yang pendek. Pemerintah juga tidak dibebani tanggung jawab keuangan tetap karena pesawat tersebut milik Pelita Air dan dipakai pemerintah berdasar carter. Membayar hanya saat memakai.

Namun, pada kenyataannya, beberapa tahun terakhir pesawat itu sangat jarang digunakan. Entah mengapa presiden dan wakil presiden kurang berkenan dengan pesawat tersebut sehingga perlu memikirkan untuk membeli pesawat B738 atau sejenisnya.

Terakhir, masalah kepatutan politik. Patutkah bagi Indonesia yang APBN-nya masih defisit dan setiap tahun pemerintah masing menambah utang untuk membusungkan dada dengan pesawat kepresidenan? Sedangkan kepala negara-negara donor dan kreditor malah tidak menggunakan pesawat kepresidenan/keperdanamenterian.

Patutkah para petinggi pemerintahan mengumbar kemewahan, mulai kenaikan gaji, mobil mewah, hingga pesawat kepresidenan, ketika sebagian rakyat kita masih mengharapkan bantuan langsung tunai (BLT), bergelantungan di bus kota butut untuk transportasi sehari-hari? Ketika kecelakaan kereta api terjadi sedemikian sering sehingga bukan merupakan berita lagi?

Alvin Lie, penerbang dan pemerhati penerbangan

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 8 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan