Laporan Pilkada Masih Formalitas

Pengawasan Dana Kampanye Masih Lemah

Integritas keuangan peserta dan penyelenggara pemilu kepala daerah masih memprihatinkan. Laporan dana kampanye peserta ataupun penggunaan anggaran oleh penyelenggara pilkada masih sekadar formalitas. Pengawasannya juga masih lemah.

Persoalan itu mengemuka dalam diskusi bertema ”Integritas Keuangan Pemilihan Kepala Daerah” yang diadakan Indonesia Corruption Watch (ICW), Kamis (29/4) di Jakarta. Sebagai pembicara adalah Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, Wakil Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Waluya, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Ibrahim Fahmi Badoh, serta peneliti Indonesia Budget Center Roy Salam.

Yunus mengungkapkan, partai politik dan calon peserta pilkada cenderung menerima sumbangan dan barang/jasa yang melanggar ketentuan. Sayang, sedikit sekali pelanggaran dan transaksi mencurigakan yang terkait dana kampanye itu terlacak karena PPATK tidak memiliki informasi tentang rekening calon atau tim sukses calon. Dari belasan ribu calon anggota legislatif ataupun calon kepala daerah yang ada selama terbentuknya PPATK, hanya ditemukan 23 transaksi mencurigakan.

Sebaliknya, dari sisi penyelenggara, PPATK pernah menemukan anggota dan staf Komisi Pemilihan Umum Daerah yang ”bermain” dan menerima aliran dana dari peserta pilkada. Ia mencontohkan transaksi mencurigakan senilai Rp 3,93 miliar pada November 2008 yang dikirimkan kepada salah satu anggota staf Sekretariat KPUD di Jawa.

”Bagaimana tindak lanjut dari laporan transaksi keuangan yang mencurigakan itu yang disampaikan ke kejaksaan dan kepolisian, kami tak tahu,” kata Yunus.

Menurut Ibrahim, potensi korupsi dan penyelewengan dalam Pilkada 2010 cukup tinggi. Ada 244 pilkada yang digelar tahun ini yang bahkan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pilkada pada 2004 dan 2005 yang hanya 226 pilkada.

Budi menyatakan, penyimpangan keuangan pilkada bisa saja ditelusuri dari LHKPN. Sayangnya, LHKPN calon masih cenderung asal-asalan dan masih dianggap formalitas. Verifikasi LHKPN dinilai lebih efektif jika diberlakukan pembalikan beban pembuktian kepada calon kepala daerah.

Yunus menguraikan, pengawasan dana kampanye memiliki sejumlah kelemahan, antara lain, tidak ada aturan yang melarang penggunaan dana kampanye yang berasal dari hasil kejahatan atau tindak pidana. Tak ada pembatasan sumbangan dari kader partai. Tak ada larangan menerima sumbangan dari penyumbang fiktif. Selain itu, KPU dan Panitia Pengawas Pilkada juga tak mempunyai kewenangan mengecek kebenaran transaksi yang dilakukan saat kampanye.

Yunus mengusulkan dibuat mekanisme pemberian kuasa dari calon kepada KPU dan KPK untuk verifikasi transaksi yang terkait dana kampanye. (why)
Sumber: Kompas, 30 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan