Lapar Data
Dalam mimpi, John Doe, Herve Daniel Marel Falciani, dan Stephanie Gibaud datang menghadap dan bertanya: ”Apa hukumnya mencuri, membocorkan data publik, atau yang dianggap sebagai data publik, dari institusi publik atau swasta, demi kepentingan publik?” Ketiganya instrumental dan terkenal sebagai pencuri atau pembocor data/informasi publik/privat kelas wahid.
Masih ingat Dokumen Panama (Panama Papers)? John Doe, nama samaran, orang paling penting di balik terbit dan beredarnya Dokumen Panama. Siapa sebenarnya John Doe, kita tidak tahu. Ia membobol basis data nasabah atau klien firma hukum Mossack Fonseca.
Mossack Fonseca melayani jasa kerahasiaan keuangan nasabah pribadi dan korporasi, termasuk membangun perusahaan cangkang di sejumlah kawasan sekretif. Jasa yang ditawarkan adalah menutupi/menyamarkan identitas nasabah, melegalkan dana/aset yang ilegal, menyamarkan/menutup asal-usul dana/aset, termasuk—jika perlu—menawarkan jasa suaka politik. Firma hukum yang dibobol ini berbasis di Panama, salah satu kawasan sekretif terkemuka di dunia.
Kawasan sekretif
Pada 2015, Panama menempati urutan ke-13 sebagai kawasan paling sekretif. Pada 2018, peringkatnya bertengger di posisi ke-12. Akan tetapi, sekarang, Panama lebih bersahabat dan kooperatif. Panama ikut menandatangani The Multilateral Competent Authority Agreement tentang pertukaran informasi secara otomatis ihwal informasi keuangan (common report standard).
Magnitudo data yang dibobol John Doe mencapai 11,5 juta dokumen rahasia yang dibuat mulai dari tahun 1970-an sampai 2016. Beberapa pejabat dan politisi kita tercantum dalam Dokumen Panama. Setelah membobol Mossack Fonseca, ia menghubungi Bastian Obermayer, wartawan koran Jerman Suddeutsche Zeitung. Lalu, Obermayer mengontak dan meminta bantuan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) untuk memverifikasi dan memublikasikan data itu. Setelah dianggap tidak bermasalah, Dokumen Panama diterbitkan perdana pada 3 April 2016.
Lebih dari 18 bulan kemudian, tepatnya 5 November 2017, ICIJ kembali menerbitkan Dokumen Surga (Paradise Paper). Kali ini, firma hukum yang dibobol datanya adalah Appleby yang berkantor di sejumlah kawasan sekretif yang dikuasai Inggris: Bermuda, British Virgin Islands, Caymans Islands, Isle of Man, Jersey, Guernsey, Mauritius, Seychlelles, Hong Kong, dan juga Shanghai.
Dokumen Surga, di antaranya, memuat informasi tentang investasi dan bisnis keluarga Kerajaan Inggris di kawasan sekretif. Ivan Danilov, ekonom dan analis politik Rusia, menyebut George Soros sebagai dalang di balik Dokumen Surga. ICIJ disebutnya sebagai Soros-Leaks. Sebabnya, menurut dia, ICIJ juga didanai Soros.
Tidak berlebihan kalau dikatakan Lagarde List tidak akan pernah ada kalau tak ada Falciani (47). Ia—spesialis teknologi informasi yang bekerja pada kantor cabang HSBC di Geneva, Swiss—didakwa mencuri data 130.000 nasabah yang diduga melakukan kejahatan perpajakan dan pencucian uang. Lagarde List diambil dari nama mantan Menteri Keuangan Perancis Christine Lagarde, yang sekarang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF).
Data curiannya ia kirimkan kepada Lagarde. Selanjutnya, Lagarde mengirimkannya ke sejumlah pemerintah yang nama warganya tercantum dalam daftar itu. Pada November 2014, otoritas Perancis mendakwa HSBC melakukan praktik pencucian uang. Pada 11 Desember 2014, Falciani diadili secara in absentia atas tuduhan pelanggaran kerahasiaan bank dan spionase bisnis. Pengadilan Federal Swiss menuntut Falciani 5 tahun penjara.
Atas permintaan otoritas Swiss, Falciani ditahan oleh otoritas Spanyol. Otoritas Swiss minta supaya Falciani diekstradisi. Akan tetapi, permintaan itu ditolak karena tuduhan kejahatan yang diarahkan kepada Falciani bukan subyek persekusi pengadilan Spanyol.
Dari segi gender, tidak semua pencuri/pembocor data itu laki-laki. Di sini kita mengenal Stephanie Gibaud (SG). SG bekerja sebagai Manajer Komunikasi dan Pemasaran UBS. Ia berperan penting dalam mengungkap praktik pengemplangan pajak dan pencucian uang hasil kejahatan pajak yang dilakukan UBS Group AG.
Kelompok usaha UBS merupakan perusahaan multinasional Swiss yang bergerak dalam jasa keuangan dan investasi di sektor perbankan. Berbeda dengan John Doe dan Falciani, SG tak menghasilkan dokumen serupa Dokumen Panama, Dokumen Surga, dan Lagarde List. Informasi yang dicuri SG berguna bagi otoritas Perancis untuk menangani kejahatan perpajakan dan pencucian uang.
Pertanyaan ketiga orang itu mungkin juga relevan bagi para peretas (hacker) yang membobol situs lembaga publik sehingga bisa mendapatkan data laporan kas bulanan keuangan Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung. Dari data laporan itu didapatkan secara rinci data dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun fiskal 2016 dan 2017 yang didepositokan Gubernur Jawa Barat dan Wali Kota Bandung. Setelah diolah, data curian itu menghasilkan informasi penting tentang dugaan malapraktik pengelolaan dana deposito Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung.
Aku meretas, maka aku ada
Ke depan, tampaknya pembobolan dan pencurian data publik atau yang dianggap sebagai data publik dari institusi publik/swasta untuk pengungkapan kasus dugaan korupsi dan kejahatan finansial lain mungkin akan marak. Mengapa?
Pertama, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) itu sudah mencapai puncak pencapaiannya. Ini dicirikan oleh dua hal. Pertama, dalam bahasa metaforik, seefektif-efektifnya UU KIP, ia hanya bisa menyingkap rok atau sarung sehingga hanya betisnya yang kelihatan. Padahal, dalam imaji saya, freedom of information act itu seharusnya membuat lembaga publik itu telanjang sepenuhnya.
Kedua, pembangkangan institusi publik terhadap keputusan pengadilan untuk membuka data yang diminta pemohon. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, misalnya, membangkang, tidak menuruti putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Forest Watch Indonesia untuk mendapatkan data hak guna usaha. Dua hal ini akan mendorong tingginya prevalensi orang yang lapar data. Yang kelaparannya bisa bersifat struktural.
Kedua, kalau pencurian/pembobolan data itu diperkarakan secara hukum, hakim yang bijak, knowledgeable, dan hatinya masih hidup bisa jadi akan membebaskan pencuri/pembobol data. Dongeng sebelum tidur ibuku dulu bisa jadi ”yurisprudensi”. Alkisah, dulu seorang hakim dengan riang membebaskan seorang pencuri. Hakim sampai pada pemahaman bahwa lapar dan kelaparan struktural-lah penyebab ia mencuri. Oleh karena itu, selain memvonis bebas, hakim juga mengirim surat kepada raja, mengingatkannya untuk memastikan tidak ada seorang pun yang lapar dan kelaparan di seluruh negeri.
Ketiga, menguatnya tradisi perlindungan saksi. Julian Paul Assange, pendiri Wikileaks, dan Edward Snowden—bekas pegawai CIA dan juga bekas anggota staf kontrak Pemerintah Amerika Serikat—yang mencuri dan membocorkan data dan informasi dari National Security Agency, sekarang mendapat perlindungan yang memadai, masing-masing dari Pemerintah Ekuador dan Rusia.
Kalau selama ini perlindungan itu masih bersifat kasuistik dan melibatkan setunggal negara, ke depan hal itu harus dilembagakan. Ini juga yang diusulkan SG kepada pemimpin negara G-20 supaya ada perlindungan yang terorganisasi dan sistematik kepada para pencuri/pembocor data seperti dirinya. Kita sudah punya
UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jadi, sebenarnya mencuri/membobol data publik atau yang dianggap sebagai data publik untuk kepentingan publik itu cukup aman dan terlindungi.
Maka, para peretas data publik berfilsafatlah, ”Aku meretas, maka aku ada.”
Dedi Haryadi Ketua Beyond Anti Corruption
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 12 Juli 2018