Langit Hukum pun Runtuh

SETELAH membuat guncang panggung politik dengan pengakuan kejahatan elite politik, khususnya politikus Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin kembali menghentakkan telinga publik dengan pengakuannya tentang kebobrokan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi yang selama ini menjadi palang pintu terakhir harapan pemberantasan korupsi. Pengakuan politikus yang kini berstatus buron itu membuat persepsi publik bergeser, bahwa publik mulai meragukan integritas lembaga KPK.

Keraguan terhadap integritas personel KPK tercermin dari hasil polling Litbang Kompas (01/08/11). Jika pada Juni lalu citra positif KPK masih berada pada angka 57% maka Agustus hanya bertahan pada angka 37%. Ini angka yang sangat tidak legitimated bagi lembaga yang selama ini menjadi harapan terakhir bagi rakyat untuk pemberantasan korupsi.

Celakanya, nyanyian Nazaruddin menyebutkan bahwa unsur pimpinan KPK terlibat dalam pengamanan kasus hukum tertentu, baik itu berkaitan dengan proyek pekerjaan maupun untuk pengamanan sebuah tindakan yang melanggar hukum.

Meski ini baru tuduhan, signifikansinya sangat besar bagi pertaruhan eksistensi KPK. Bahkan, Ketua DPR Marzuki Alie yang juga unsur Wakil Ketua Dewan Partai Demokrat, mengusulkan pembubaran KPK. Pertanyaannya, jika benar lembaga seperti KPK yang selama ini telanjur  dipercaya oleh publik ternyata juga tidak steril dari anasir-anasir korupsi, maka langit republik penegakan hukum sepertinya sudah runtuh. Paling tidak, kondisi seperti ini memberi banyak kemungkinan terhadap situasi republik yang sedang berjalan.

Pertama; perilaku korupsi di Indonesia sudah begitu mendarah daging sehingga sangat sulit untuk diberantas dengan pola biasa dan dilakukan oleh orang-orang biasa. Anggota KPK itu dipilih melalui mekanisme seleksi ketat, ternyata juga tidak mampu mencegah dan memberangus terjadinya korupsi. Karena itu, berdasarkan rilis reguler Transparency International, lembaga yang mengamati perkembangan perilaku korupsi di tiap-tiap negara, Indonesia masih ditempatkan pada peringkat 110 dari 178 negara pada tahun 2010.

Kedua; karena kuatnya kultur korupsi, baik di level eksekutif maupun legislatif, memaksa kekuatan-kekuatan baru, yakni mereka yang terseleksi menjadi unsur pimpinan KPK, ikut terseret dalam arus korupsi dengan berbagai pola dan variasi sehingga tidak mampu lagi membendung dirinya untuk tidak masuk dalam arus besar tindakan korupsi ini. Sebab, sebagaimana dipahami bersama, kekuatan eksekutif dan legislatif begitu besar dalam penentuan sistem anggaran dan kewenangan yang bisa dijadikan sebagai alat negosiasi untuk melemahkan atau mengerdilkan lembaga KPK itu sendiri.

Ketiga; ada juga kemungkinan penonjolan sejumlah ”fakta” dan pengakuan Nazaruddin muncul melalui grand design untuk mendelegitimasi dan mendeskreditkan KPK secara sistematis. Kalau kita amati kronologisnya, upaya sistematis itu dimulai dari upaya seolah-olah penonjolan fakta oleh Nazaruddin tentang perilaku beberapa elite untuk memberi kesan betapa lembaga tersebut tidak bersih dari anasir korupsi. Target dari opini ini adalah terbentuk persepsi negatif terhadap KPK dan puncaknya Marzuki Alie selalu pimpinan DPR mengusulkan agar membunarkan KPK.

”Menariknya”, usulan pembubaran KPK oleh Marzuki diimbangi dengan ajakan permaafan nasional terhadap koruptor untuk kembali ke Indonesia. Jadi secara bebas, logika terbaliknya adalah, lebih penting keberadaan koruptor itu daripada lembaga yang berjuang melakukan perlawanan dan pemberantasan terhadap korupsi. Sungguh sulit diterima usulan ini keluar dari seorang ketua lembaga perwakilan rakyat, lembaga kekuasaan politik yang sangat tinggi untuk mewakili aspirasi rakyat.

Tampaknya, selama ini agenda-agenda penegakan hukum, selalu membentur kukuhnya batu karang kekuasaan bila berhadapan dengan kekuatan politik besar. Kasus seperti Bank Century, pemberian cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda S Goeltom yang melibatkan Nunun Nurbaety, dan terakhir adalah kasus suap wisma atlet SEA Games 2011 yang melibatkan para petinggi Partai Demokrat seperti Nazaruddin.

Memang banyak pakar hukum menilai bahwa ancaman penegakan, di samping karena kultur dan komitmen suatu bangsa terhadap cita-cita hukum itu sendiri yang lemah, ancaman terbesar justru datang dari kekuatan politik. Fred R Dallmayr misalnya, dalam buku The Promise of Democracy (2010) secara sinis menyebutkan bahwa kekuasaan yang dihasilkan oleh sistem demokrasi tidak secara tegas memisahkan dirinya dari kekuatan politik jahat. Kekuatan jahat ini tidak hanya mengingkari nurani politik rakyat tetapi juga berusaha menghancurkan semua sistem yang menjadi simbol supremasi rakyat seperti supremasi hukum dan lain-lain.

Intervensi Politik
Kuatnya intervensi politik terhadap dunia penegakan hukum, misalnya lembaga KPK, tercermin dan dimulai sejak dilakukannya pembuatan produk perundang-undangan oleh eksekutif dan legislatif. Dari sisi itu, tahap pertama sudah dimulai pertarungan kepentingan untuk menentukan warna dan bentuk sebuah perundang-undangan. Seperti halnya yang selalu nyaring terdengar, ancaman anggota-anggota legislatif untuk membonsai kewenangan lembaga KPK yang dianggap sebagai lembaga superbody yang dianggap memiliki kewenangan terlalu besar dan seterusnya.  Ini semua menggambarkan sebuah teror otoritatif untuk mengekang atau mengendalikan sebuah lembaga tertentu agar sesuai dengan kepentingan otoritas politik. Jadi lembaga-lembaga penegak hukum sejak dini sudah terkondisi berada di bawah kerangka setting kekuatan politik.

Tahap kedua; pengendalian itu disempurnakan lagi melalui mekanisme seleksi yang harus melewati pintu-pintu politik legislatif sehingga nuansa pertarungan kepentingan makin memasuki eskalasi yang lebih besar.
Tahap ketiga; pengendalian itu dilakukan melalui kewenangan politik anggaran dan mekanisme-mekanisme birokratis yang membuat lembaga penegak hukum harus mengikuti arus tertentu di dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Mekanisme ini sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Tetapi, mengutip Dallmayr, ketika lembaga-lembaga politik yang memiliki otoritas terhadap itu tidak mampu membuat demarkasi secara pasti terhadap kekuatan-kekuatan jahat maka formula penegakan hukum akan menjadi pincang dan menyimpan sejumlah ”cacat asasi” terhadap konstruksi dan formula penegakan hukum itu sendiri.

Karena itu, dibutuhkan nilai dan konsensus yang besar agar bangsa ini benar-benar memiliki landasan kesadaran dan komitmen penegakan hukum demi tegaknya negara hukum yang mampu memberi rasa adil dan perlindungan bagi segenap bangsa sendiri. Dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya mengikuti alur formalitas semata tetapi juga mengikuti kaidah-kaidah dan norma sosial yang dianggap baik secara komunal. (10)

Dr Gunarto SH MHum, Wakil Rektor Unissula Semarang, dosen Magister Ilmu Hukum
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 3 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan