Lakukan Pelanggaran Praperadilan, Hakim Didesak Beri Sanksi ke Hakim Sarpin


Lakukan Pelanggaran Praperadilan, Hakim Didesak Beri Sanksi ke Hakim Sarpin

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendatangai Mahkamah Agung (MA) Jum’at (20/2/2015) untuk melaporkan pelanggaran yang dilakukan Hakim Sarpin Rizaldi dalam mengabulkan sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG) kepada Badan Pengawasan (Bawas) MA dengan tembusan kepada hakim muda dibidang pengawasanya.

Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan hakim Sarpin telah melakukan pelanggaran yaitu memutuskan sidang diluar kewenanganya, dalam hal ini hakim Sarpin tidak hanya mengabaikan aturan tentang praperadilan yang diatur secara liminatif dalam Pasal 77-83 dan Pasal 95 KUHAP. Karena seharusnya pemeriksaan substansi perkara seharusnya diperiksa dalam forum persidangan pokok perkara.

“Hakim Sarpin telah menerobos aturan hukum serta substansi permasalahannya. Jadi hakim Sarpin telah melanggar atran dan kebiasaan bercara di luar wajar dan nalar pubik,” kata Lola di Gadung F Mahkamah Agung (MA).

Selain itu, hakim Sarpin juga salah mengutip pendapat ahli dalam persidangan. Pasalnya terlalu jauh memeriksa substansi perkara yang seharusnya tidak diperiksa dalam praperadilan. Hakim Sarpin juga salah dalam mengambil pendapat ahli Prof. Dr. Bernard Arief Shidarta yang setalah dikonfrimasi bahwa ada kekeliruan penafsiran.

Karenananya ada indikasi kode etik hakim dan tata perilaku khususnya pada angka VIII-X terkait dengan profesionalisme dan disiplin. Sehiangga hakim Sarpin mengabulkan gugatan.

“Adapun pelanggaran-pelanggaran di atas melanggar Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Poin 8 tentang Berdisiplin Tinggi. Yang berbunyi: Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Poin 10 tentang Profesional yang berbunyi: “Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas,” paparnya.

Maka diharapkan Badan Pengawas untuk memberikan sanksi tegas kepada hakim Sarpin yang sebelum sudah terdapat preseden (sesuatu yang sudah pernah di putuskan sebelumnya dan dijadikan rujukan) yaitu dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 18/DJU/SK/KP02.2/IV/2013 atas Hakim Suko Harsono. Hakim Suko Harsono diganjar sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun oleh Mahkamah Agung. Sanksi ini dijatuhkan karena Hakim Suko Harsono mengabulkan gugatan praperadilan atas penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka.

“Karena sudah ada preseden nya maka minimal hukuman yang diberikan dapat serupa. Kita juga sebelumnya juga melakukan gugatan yang sama kepada Komisi Yudisial (KY) terkait pemberian sanksi kepada hakim Sarpin,” tegas dia.

Sementara itu Sementara peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan bahwa pokok bukan hanya permasalahan penafsiran, tetapi ketika hakim telah melampaui kewenangannya dan memutuskan pokok perkara. Dalam hal ini hakim Sarpin memotong pokok perkara dengan mendiskualifikasi BG dari kapasitas sebagai penyelenggara negara dan aparatur penegak hukum.

Pasalnya dalam putusan tersebut adalah unsur pokok perkara yang harusnya diputuskan dalam pokok perkara bukan di praperadilan.

“Ini penafsiran yang tidak konsisten, karena hakim lakukan penafsiran Pasal 77 KUHAP yang memang sudah jelas dan tegas serta tertulis perluasan objek praperadilan. Yang jadi masalah juga ketika penafsiran penyelenggara negara dan aparat penegak hukum malah dipersempit penafsiranya oleh hakim,”  kata dia.

Dia juga mengatakan, dalam UU KUHAP yang diatur dalam Pasal 77 junto 95 KUHAP bahwa objek praperadilan terbatas. Setalaii lakukan penafsiran dengan argumentasi dan rasionalisasi ketika perluas objek praperadilan yang digunakan hanya dari pendapat ahli. Seharusnya hakim juga mempertimbangkan reverensi lainya.

 “Seharusnya dapat menggunakan sumber reverensi lainya misalanya buku atau yang mengacu pada keputusan yang tegas. Artinya kepada Pasal 77 itu diperluas,” tegasnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan