Laksamana: Pertamina Hanya Mengalihkan Utang [26/06/04]

PT Pertamina harus melepas dua tanker raksasa yang sudah dipesannya dari Korea Selatan, karena kondisi keuangan badan usaha milik negara persero itu sudah sangat kritis. Kondisi keuangan ini menyebabkan Pertamina tidak mampu lagi melakukan impor minyak mentah sehingga stok bahan bakar minyak di dalam negeri juga kritis, yakni sempat hanya cukup untuk kebutuhan 19 hari, dari kondisi normal yang seharusnya cukup untuk 24 hari.

Direktur Keuangan PT Pertamina Alfred Rohimone mengungkapkan hal itu hari Jumat (25/6) di Jakarta. Saat itu dia mendampingi Komisaris Utama Pertamina Laksamana Sukardi yang menjelaskan salah satu alasan penjualan tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC).

Laksamana Sukardi sendiri menegaskan, tanker raksasa yang dipesan Pertamina belum merupakan aset Pertamina, karena belum masuk ke neraca Pertamina. Jadi sebenarnya keputusan Pertamina melepas tanker itu bukan merupakan penjualan, tetapi hanya pengalihan kewajiban untuk melunasi pembayaran tanker tersebut.

Selain Laksamana, pada kesempatan itu juga hadir Komisaris Pertamina Anshari Ritonga dan Syafruddin Temenggung, Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi, Direktur Hilir Pertamina Harri Purnomo, Direktur Hulu Pertamina Bambang Nugroho, dan Direktur Pengembangan dan Sumber Daya Manusia Pertamina Eteng A Salam.

Menurut Alfred, posisi arus kas Pertamina per 1 Januari 2004 menunjukkan dana tunai yang dimiliki tinggal sekitar Rp 2 triliun hingga Rp 2,5 triliun, sementara utangnya mencapai Rp 16 triliun.

Padahal, pengadaan bahan bakar minyak untuk kebutuhan dalam negeri membutuhkan dana sekitar 1,2 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Pertamina tidak mampu lagi melakukan impor minyak mentah, sebab dengan harga minyak mentah 25 dollar AS per barrel, Pertamina harus mengeluarkan dana sekitar 600 juta dollar AS per bulan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri tersebut.

Kebutuhan dana untuk mengimpor BBM itu akan membengkak lagi menjadi 1,12 miliar dollar AS jika harga minyak mencapai 40 dollar AS per barrel seperti sekarang.

Dengan kondisi keuangan Pertamina yang sudah mengganggu proses pengadaan BBM di dalam negeri itu, menurut Alfred, tidak mungkin bagi Pertamina untuk membeli tanker raksasa dengan utang. Tentu kami tidak bisa mengatakan kepada pemerintah, meminta dana untuk membayar sisa pembayaran tanker yang saat ini dibangun di Korea Selatan, ujarnya.

Hanya pindahkan utang
Menurut Laksamana, karena tanker raksasa yang dipesan ke Korea Selatan belum merupakan aset Pertamina, maka sebenarnya keputusan Pertamina melepas tanker itu bukan merupakan penjualan, tetapi pengalihan kewajiban untuk melunasi pembayaran.

Saat ini harga minyak mengalami kenaikan. Pemerintah mendapat beban subsidi lebih besar sehingga kami tak bisa beri tambahan beban kepada pemerintah. Sebab, kalau memiliki tanker tersebut, kita masih memerlukan tambahan sekitar 65 juta dollar AS yang diperoleh dari utang, kata Laksamana menjelaskan.

Menanggapi pemberitaan masalah tanker di media massa, Laksamana mengaku telah meminta kepada direksi Pertamina untuk memberikan penjelasan secara terbuka kepada masyarakat. Apalagi saat ini sedang berlangsung proses pemilihan presiden, pikiran orang aneh-aneh juga, ujarnya.

Dia juga mengatakan, asumsi orang, sekarang ini direksi Pertamina tidak bersih. Pertamina, misalnya, dituding telah memenangkan pihak yang sesungguhnya menawar lebih rendah. Saya sudah tanyakan kepada direksi, dan seandainya hal itu benar, maka saya akan memecat direksi, ujar Laksamana.

Setiap keputusan bisnis, lanjutnya, tidak bisa dipastikan hasilnya karena selalu berhubungan dengan situasi dan kondisi. Kendati demikian, sebelum menyetujui rencana penjualan tanker, komisaris pasti akan melihat kondisi yang ada.

Pada kesempatan terpisah, di sela sebuah diskusi dengan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Laksamana membantah Goldman Sachs sebagai penasihat keuangan Pertamina, dan merupakan pihak yang mengusulkan Pertamina untuk menjual tanker tersebut. Menurut Laksamana, penjualan itu merupakan keputusan korporasi.

Ditanya seputar konflik kepentingan Goldman Sachs yang juga menjadi pemegang saham di Frontline (pembeli tanker Pertamina), Laksamana menjawab, Saya tidak tahu. Yang jelas kan Frontline itu perusahaan publik yang besar, yang memiliki Goldman Fund Management, yang tidak ada hubungannya (dengan Goldman Sachs).

Dia juga kembali menegaskan bahwa yang dijual Pertamina bukanlah tanker, melainkan utang. Mohon dicatat, ini bukan menjual tanker, ini menjual utang. Jangan pikir ini aset kita, katanya.

Pernyataan Laksamana itu bertolak belakang dengan penjelasan Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono dan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Darmin Nasution, pada rapat kerja dengan Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa hari lalu.

Menurut Boediono dan Darmin, tanker tersebut merupakan aset dari Pertamina, yang untuk penjualannya diperlukan persetujuan proforma dari menteri keuangan.

Mengenai persetujuan ini pun Laksamana memberi pernyataan yang berbeda dengan Menkeu dan Dirjen Lembaga Keuangan. Menurut Menkeu dan Dirjen Lembaga Keuangan, seyogianya penjualan aset Pertamina berupa tanker itu didahului dengan permintaan persetujuan proforma kepada menteri keuangan. Namun, menurut Laksamana, hal itu tidak perlu karena Pertamina sudah menjadi perseroan.

Kami kan sudah perseroan. Kami harus menyelamatkan cash flow Pertamina. Tolong dicatat, ini adalah menghapus utang. Tanker itu masih utang, katanya.

Tentang efisiensi biaya sewa tanker, jika dibandingkan dengan memiliki tanker sendiri, Laksamana mengatakan, Yang namanya harga itu kan berfluktuasi. Sekarang dan nanti kan tidak bisa sama. Harga kapal juga sekarang lagi tinggi, tetapi mungkin siklus industri perkapalan siklikal.

Berangsur normal
Mengeni kemampuan penyediaan BBM, Direktur Hilir Pertamina Harri Purnomo mengatakan, sebenarnya gangguan pemenuhan cadangan BBM sudah diisyaratkan Pertamina kepada pemerintah sejak bulan Mei 2004.

Saat itu Pertamina mengungkapkan kemungkinan akan terjadi gangguan stok pada pertengahan Juni 2004.

Hal itu kemudian menjadi kenyataan, dengan terjadinya gangguan pasokan BBM di Medan, Batam, Surabaya, dan Denpasar.

Namun Harri mengatakan, saat ini kondisi stok BBM nasional sudah mulai pulih dari rata-rata 19-20 hari, menuju ke 24 hari. Akan tetapi, pemulihan stok memerlukan waktu yang relatif lama, karena kemampuan impor tidak bisa dilipatgandakan dan konsumsi BBM tak dapat dihentikan. (fey/ONG/BOY/DMU/PPG/TOM)

Sumber: Kompas, 26 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan