Labirin Informasi di Tubuh Polri

APA yang sebenarnya terjadi pada Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri? Kenapa dia tidak datang pada serah terima jabatan lima perwira di organisasinya sendiri? Apakah sang jenderal memang sakit gara-gara beban kerja yang teramat berat? Apakah BHD -sapaan Bambang Hendarso Danuri- bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara?

Sangat ironis memang ketika sebuah organisasi sebesar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) justru dilanda kesimpangsiuran informasi. Makna paling substansial dari informasi adalah mengurangi ketidakpastian. Tapi, informasi dalam wujud aneka pernyataan yang disampaikan oleh orang-orang di sekitar Kapolri malah menjadikan publik makin bingung. Pernyataan Kastorius Sinaga, staf ahli Kapolri, demikian bertentangan dengan pernyataan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Edward Aritonang. Satu pihak mengatakan Kapolri sakit. Sementara itu, pihak lain menyatakan bahwa Kapolri sehat walafiat.

Bergulir pula rumor atau spekulasi bahwa keberadaan Kapolri dirahasiakan untuk memproteksinya dari serangan para teroris. Ada juga desas-desus bahwa Kapolri tidak bisa hadir karena pergantian jabatan di tubuh Polri itu memunculkan konflik. Lantas, mana yang benar? Publik seakan-akan tenggelam dalam labirin informasi yang begitu berpilin-pilin dan keruwetan yang tidak segera berkesudahan.

Apabila ditelaah dengan lebih cermat, persoalan labirin informasi yang menimpa Polri tidak hanya sekali ini terjadi. Munculnya data tentang sejumlah perwira tinggi Polri pemilik "celengan babi" yang sangat tambun tidak diselesaikan secara tuntas oleh Kapolri. Desakan publik agar persoalan tersebut ditangani auditor independen dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekadar ditanggapi bagai angin lalu. Demikian pula persoalan keberadaan rekaman percakapan antara Ade Rahardja dan Ari Muladi, hanya melahirkan perasaan geli.

Rekaman tersebut hanya diakui sebagai CDR (call data record). Jadi, bukan rekaman pembicaraan yang bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sahih dalam sidang di pengadilan. Pandangan spekulatif pun tanpa terhindarkan berjangkit. Jangan-jangan, rekaman yang dimaksud memang sengaja dihilangkan atau dimusnahkan. Semua itu bisa terjadi karena Polri tidak memiliki manajemen informasi yang baik. Polri pada akhirnya pantas dianggap sebagai lembaga yang lihai menciptakan labirin informasi.

Kekacauan Organisasi
Mengapa labirin informasi begitu gampang tercipta di tubuh Polri? Sebagai sebuah organisasi, Polri memang tidak responsif terhadap transparansi yang menjadi tuntutan masyarakat. Keterbukaan ditanggapi sebagai problem yang kurang penting. Padahal, peran Polri makin luas dalam bidang ketertiban sosial. Keluasan otoritas itulah yang tidak mampu ditangani Polri. Lebih parah lagi, yang terjadi di tubuh Polri adalah kekacauan organisasi.

Organisasi bukanlah sekadar kumpulan orang yang membentuk gerombolan. Organisasi adalah sistem spesifik yang berisi orang-orang dalam jumlah besar untuk bekerja sama menyelesaikan tujuan tertentu. Ketika Polri menghadirkan labirin informasi yang membingungkan publik, terdapat ketidakberesan dalam organisasi korps berbaju cokelat itu. Mengikuti ide Sarah Trenholm (Organizational Communication, 2005), ada empat hal yang menjadikan Polri menggulirkan labirin informasi.

Pertama, interdependensi atau saling ketergantungan. Artinya, seluruh anggota organisasi saling berkaitan. Mereka yang berada dalam organisasi berhadapan dengan persoalan bersama. Mereka yang terlibat dalam kegiatan organisasi memiliki kesadaran bahwa setiap bagian tidak bisa bekerja sendiri-sendiri untuk menyelesaikan persoalan krusial. Yang terjadi dalam Polri tidak seperti itu. Setiap pihak, tampaknya, berbicara sesuai dengan selera sendiri.

Kedua, struktur hierarkis. Setiap organisasi pada dasarnya memiliki tatanan yang khas dan berjenjang. Dalam organisasi, status dan kewenangan setiap orang memang tidak sama. Pihak yang satu harus tunduk kepada pihak lain. Karena itu, dalam organisasi sengaja diciptakan sistem birokrasi yang ketat. Polri memang mempunyai aturan yang ketat soal itu. Hanya, hal tersebut terjadi dalam persoalan kepangkatan. Ketika memberikan pernyataan kepada publik tentang problem yang sangat urgen, siapakah yang memiliki otoritas untuk menyampaikannya? Staf ahli Kapolri ataukah kepala divisi humas? Ternyata, tidak ada kewenangan yang jelas.

Ketiga, hubungan dengan lingkungan. Organisasi sangat tergantung pada lingkungan yang mengitarinya untuk mendapatkan sumber daya dan energi. Bagai makhluk bernyawa, organisasi tidak bisa bertahan hidup tanpa kehadiran lingkungan. Organisasi sebesar Polri harus mampu beradaptasi dengan lingkungan, yang boleh jadi menekan maupun mendukungnya. Masyarakat awam, lembaga swadaya masyarakat, wakil rakyat, apalagi media massa merupakan pihak yang berkepentingan menyoroti kinerja Polri. Jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan semacam itu, niscaya Polri makin compang-camping.

Keempat, ketergantungan pada komunikasi. Terkait dengan hal tersebut, komunikasi adalah proses untuk mencapai kesepakatan pemahaman. Hal itu harus dijalankan secara internal maupun eksternal. Jika komunikasi di dalam telah kacau, apalagi ketika Polri menjalin komunikasi dengan pihak-pihak luar yang memiliki sifat kritis.

Ketika menciptakan labirin yang membingungkan publik, informasi dari Polri tidak layak disebut sebagai pengetahuan yang mampu mengurangi ketidakpastian. Kemungkinan lain, bisa jadi Polri paham akan arti labirin, yang dalam mitologi Yunani merupakan bangunan berisi banyak kamar. Labirin sengaja diciptakan untuk membingungkan dan menyesatkan. (*)

*) Triyono Lukmantoro, dosen sosiologi komunikasi FISIP Undip, Semarang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 16 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan