KY Terancam Vacuum of Power

Keppres Perpanjangan Belum Turun, Besok Jabatan Komisioner Berakhir

Keputusan presiden (keppres) soal perpanjangan masa jabatan komisioner Komisi Yudisial (KY) belum turun hingga kemarin. Padahal, Senin besok (2/8) masa jabatan komisioner KY akan berakhir. ''Kami belum terima itu,'' kata anggota KY Soekotjo Soeparto saat dihubungi kemarin (31/7).

Informasi yang diterima Jawa Pos menyebutkan bahwa surat perpanjangan masa jabatan komisioner KY macet di DPR. Hingga Kamis lalu (29/7), Komisi III (bidang hukum) DPR belum melayangkan surat rekomendasi kepada Deputi Hukum Sekretariat Negara (Setneg). Akibatnya, keppres itu belum bisa dikeluarkan.

Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi menyanggupi bahwa pemerintah akan mengeluarkan keppres sebelum Senin. Itu dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) di lembaga pimpinan Busyro Muqoddas tersebut. Keppres dipilih daripada perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) karena perpanjangan jabatan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggunakan jalur serupa.

Soekotjo membenarkan adanya hambatan teknis dalam penerbitan keppres itu. Sebagai komisioner KY, dia dalam posisi pasif dan tidak bisa merespons apa pun. ''Tidak etis dan elok jika saya berkomentar. Biarkanlah kalau memang tidak diperpanjang,'' kata koordinator Bidang Hubungan Antarlembaga KY itu.

Produk hukum perpanjangan masa jabatan KY sejatinya belum bulat. Ada anggota komisi III yang meminta keppres, ada juga yang meminta perppu. Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin ngotot bahwa perpanjangan jabatan hanya bisa dilakukan dengan perppu.

''Undang-undang (UU Nomor 22 Tahun 2004 yang menjadi dasar jabatan pimpinan KY, Red) tidak bisa diatur dengan keppres. Harus dengan perppu. Kalau pemerintah mengeluarkan keppres, kami akan menolak dengan tegas,'' katanya.

Aziz menyebutkan, produk hukum perpanjangan jabatan itu harus turun besok (2/8) saat berakhirnya masa jabatan komisioner KY. Jika tidak, KY bisa mengalami kekosongan kekuasaan. Semua program pengawasan hakim dan laporan masyarakat tak bisa ditindaklanjuti. ''Itu mengancam eksistensi KY,'' ujarnya.

Apalagi, KY berencana memanggil Ibrahim, hakim PTTUN DKI yang menjadi terdakwa kasus suap, beserta dua rekannya, Santer Sitorus dan Arifin Marpaung. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Ibrahim saat menerima duit suap Rp 300 juta di kawasan Mardani Raya, Jakarta Pusat, dari pengacara Adner Sirait.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Ibrahim membantah keterlibatan dirinya dalam kasus suap itu. Dia mengaku dijebak Santer Sitorus, rekan Ibrahim yang menjadi hakim anggota dalam kasus sengketa tanah tersebut. (aga/c4/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 1 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan