Kuantifikasi Dampak Kerusakan Akibat Korupsi

Korupsi telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), yang berarti korupsi mengakibatkan kerusakan besar dan secara luas mempengaruhi kehidupan rakyat Indonesia. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa korupsi mengakibatkan penurunan daya saing nasional, mengganggu pertumbuhan ekonomi, menimbulkan biaya sosial yang besar, dan akhirnya menambah tingkat kemiskinan.

Saat ini secara umum masyarakat Indonesia telah menyadari bahwa korupsi adalah perbuatan jahat. Karena itu, korupsi harus dilenyapkan dari Bumi Pertiwi. Sayangnya, hingga kini Indonesia masih saja dianggap sebagai salah satu negara yang banyak korupsinya. Hal tersebut terlihat dari indeks persepsi korupsi (IPK), yang dilansir oleh Transparency International pada 2009, yang mencapai 2,8 dengan posisi ke-111 dari 180 negara yang disurvei. Walaupun terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya (2,6--posisi 126 dari 180 negara). Bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, IPK kita masih berada di bawah mereka walaupun upaya penindakan yang dilakukan Indonesia lebih agresif daripada yang dilakukan negara -negara tetangga tersebut.

U4 dari Norwegia telah menyampaikan hasil risetnya, yang membandingkan pemberantasan korupsi oleh KPK dengan beberapa lembaga antikorupsi negara tetangga, khususnya Filipina. Hasil riset tersebut menyebutkan bahwa pemberantasan korupsi yang dilaksanakan KPK sangat impresif dengan tingkat keberhasilan (conviction rate) 100 persen dari sekian banyak kasus besar yang telah ditangani, sementara di negara tetangga tidak menggembirakan.

Dampak
Melihat kinerja KPK dalam beberapa tahun belakangan ini memang menunjukkan capaian yang tidak mengecewakan. Dengan conviction rate yang 100 persen berarti bahwa dalam semua kasus yang dibawa ke pengadilan tindak pidana korupsi dapat dibuktikan mereka bersalah. Dengan ratusan kasus besar yang ditangani KPK, tentunya conviction rate 100 persen bukanlah hal yang mudah dicapai. Sebagai perbandingan, banyak negara di dunia memiliki tingkat conviction rate tidak lebih dari 20 persen, meski jumlah kasus yang ditanganinya masih bisa dihitung dengan jari. Selain itu, jumlah uang dan aset negara yang berhasil dikembalikan KPK juga tidak mengecewakan, yakni sekitar Rp 800 miliar dari upaya penindakan, dan sekitar Rp 6 triliun dari upaya pencegahan.

Meski demikian, kita menyadari bahwa pengembalian keuangan negara masih terlalu kecil dibanding tingkat kerusakan yang telah terjadi akibat korupsi. Jumlah uang pengganti dan denda yang dibebankan kepada para koruptor hanya sebesar jumlah yang dapat dibuktikan di pengadilan. Padahal penderitaan yang dialami oleh negara dan seluruh masyarakat sangat luar biasa dan jauh lebih besar dari sekadar jumlah uang pengganti dan denda yang diputuskan oleh pengadilan.

Suap yang diberikan oleh pengusaha untuk mendapatkan perizinan, misalnya. Tentunya diharapkan oleh penyuap akan menghasilkan keuntungan (benefit) yang jauh lebih besar dari jumlah suap yang telah diberikannya. Karena itu, para penegak hukum perlu memperhatikan dan mempertimbangkan hal ini sebagai komitmen dan keberpihakan kepada masyarakat banyak yang telah menjadi korban tindak pidana korupsi.

Secara ekonomi, korupsi sebesar Rp 5 miliar yang dilakukan empat tahun yang lalu tentunya bernilai tidak sama bila dibandingkan dengan Rp 5 miliar saat ini. Karena itu, perlu dipikirkan dan dihitung berapa nilai sekarang atas suatu kejahatan korupsi yang dilakukan beberapa tahun yang lalu serta dampak kerusakan yang telah ditimbulkannya.

Dampak yang terjadi menyangkut banyak hal, termasuk kerusakan lingkungan seperti longsor dan banjir, atau dampak tidak langsung yang dirasakan masyarakat, seperti kehilangan hak pada pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Berapa banyak kerusakan bisnis sebagai akibat maraknya praktek suap-menyuap dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Berapa banyak perusahaan yang kehilangan kesempatan dan kalah bersaing hanya karena tidak mau mengikuti praktek suap-menyuap. Hal ini tentunya berdampak pada persaingan usaha yang tidak sehat dan mengarah pada penurunan daya saing nasional.

Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa kuantifikasi dampak kerusakan dari tindak pidana korupsi perlu diperhitungkan secara lebih komprehensif. Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi perlu memperhatikan sisi lain, yakni mengembalikan hasil korupsi kepada pihak-pihak yang menjadi korban atas tindakan korupsi tersebut. Berbagai konsep perhitungan perlu dipersiapkan, seperti time value of money serta yang lainnya. Untuk melakukan hal tersebut, tentunya semua pihak perlu memberi sumbangan pemikiran sehingga dapat bermanfaat dalam menjadikan Indonesia tempat yang nyaman untuk berkehidupan di muka bumi.

Dampak kerusakan yang diakibatkan oleh korupsi seharusnya dapat dihitung dengan memperhitungkan multiplier yang dirasakan oleh korban tindakan korupsi tersebut. Dengan demikian, bila terjadi suap sebesar Rp 5 miliar, maka dampak yang bisa dihitung adalah Rp 5 miliar x multiplier. Multiplier inilah yang perlu ditetapkan oleh para ahli sehingga dapat diakui secara bersama, yang hasilnya akan dikembalikan kepada para korban dari penyuapan tersebut, yakni masyarakat dan negara yang dirugikan karena ancaman banjir, tanah longsor, kekurangan air bersih, penurunan permukaan tanah, penurunan kesehatan, buruknya infrastruktur dan sanitasi, kehilangan kesempatan kerja, dan lain-lain.

Komitmen bersama
Dampak kerusakan akibat korupsi sekarang sudah sangat terasa dan makin hari semakin parah. Upaya represif yang dilakukan penegak hukum dengan memenjarakan para pelaku korupsi tidak dapat mengembalikan kondisi pada keadaan semula. Dengan jumlah uang pengganti dan denda yang sangat minim dan sering kali dikurangi dengan subsider tahanan badan, yang juga mendapatkan pengurangan dari remisi, hasilnya semakin menjauh dari rasa keadilan masyarakat. Karena itu, perlu dipikirkan alternatif lain apakah membawa tuntutan perdata kepada para pelaku korupsi dengan jumlah yang telah diperhitungkan sebagai dampak kerusakan akibat korupsi yang telah dia lakukan. Perusahaan yang kalah bersaing karena ada kompetitor yang melakukan penyuapan kepada pejabat pemerintah dapat melakukan gugatan atas kerugian yang dialaminya sebagai dampak dari penyuapan tersebut.

Karena itu, perlu segera dipikirkan formula untuk kuantifikasi dampak kerusakan akibat korupsi. Sebagai contoh, apabila terjadi suap oleh sebuah perusahaan kepada pejabat di suatu instansi pemerintah, pada laporan rugi laba perusahaan penyuap dapat dihitung sebagai berikut:

    Pendapatan Rp xxx
    Dikurangi beban biaya (Rp xxx)
    Ditambah suap yg dilakukan Rp xxx
    Ditambah multiplier Rp xxx
    Profit Rp xxx

Dengan demikian, pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan penyuap harusnya berdasarkan perhitungan seperti di atas atau dengan formula lainnya yang lebih tepat berdasarkan kajian para ahli. Kerugian perusahaan kompetitor dan beban yang ditanggung masyarakat termasuk dalam multiplier tersebut, dan kerugian negara termasuk dari kekurangan penerimaan pajak.

Para akuntan dan ekonom diharapkan segera mendiskusikan dan menyampaikan hasil pemikirannya kepada penegak hukum sehingga kuantifikasi dampak kerusakan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi akan lebih komprehensif dan dapat dipertahankan di pengadilan. Akademisi dapat juga berperan besar dalam menghasilkan model-model kuantifikasi kerusakan dampak tindak pidana korupsi secara ilmiah. Di lain pihak, para pembuat peraturan perundang-undangan perlu memikirkan payung hukum yang lebih spesifik mengenai hal tersebut sehingga tidak muncul keraguan pada penegak hukum untuk mengimplementasikannya.

Sebagai konklusi, dengan kebersamaan dari seluruh komponen bangsa ini, saya yakin negara kita akan berangsur ke arah yang semakin membaik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Manfaat (outcome) dari pemberantasan korupsi akan semakin dirasakan masyarakat banyak melalui berbagai perbaikan, mulai dari pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan lapangan pekerjaan, penurunan kemiskinan, dan lain-lain.
 
Dr Haryono Umar, WAKIL KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 21 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan