Kredibilitas Penegak Hukum

Berlarut-larutnya permasalahan antara Polri dan KPK terkait dengan Kasus Bank Century membuat publik makin skeptis dengan arah penegakan hukum di Indonesia, khususnya pada pemberantasan korupsi. Hal ini ditegaskan dengan terbukanya satu persatu kebobrokan dua institusi tersebut berkaitan dengan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Bila publik merasa bahwa selama ini KPK dianggap sebagai lembaga bersih yang tidak kenal suap, dan selalu menolak bernegoisasi dengan tersangka kasus korupsi. Berdasarkan pengakuan Antasari Azhar, mantan Ketua KPK yang menjadi tersangka, maka secara perlahan publik pun kian penasaran, apakah benar KPK, yang dianggap sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah terkontiminasi. Hal tersebut tentu saja membuat publik dibingungkan dengan berbagai manuver dan pernyataan yang pada akhirnya meragukan kredibilitas KPK itu sendiri.

Publik mungkin sedikit banyak tahu bagaimana kinerja Polri dan Kejaksaan yang tidak bisa lepas dari praktik penyimpangan. Sehingga, ketika KPK dianggap sekeranjang dengan Polri dan Kejaksaan, maka publik bereaksi, salah satunya mendukung KPK ketika bersitegang degan Polri terkait dengan kasus Bank Century. Namun, bila apa yang diungkap oleh Antasari Azhar benar, agaknya publik akan kembali dibuat kecewa, karena tidak ada lagi institusi yang benar-benar bersih dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Apalagi permasalahan ini sudah masuk ke ranah politik, di mana pola penyelesaian yang dibangun tidak berupaya mempertemukan kedua institusi negara tersebut dalam konteks kelembagaan, melainkan dikeluarkannya Perppu, yang salah satunya  akan menggantikan tiga pimpinan KPK yang berhalangan, karena telah menjadi tersangka dalam dua kasus berbeda.

Sebaliknya, pemerintah tidak pula berupaya mengusut kemungkinan keterlibatan Susno Duadji, Kabareskrim Polri dalam kasus Bank Century, yang diduga menjadi pemicu dari konflik antar kedua institusi tersebut.  Sebab, dalam konteks kelembagaan, Polri berada langsung di bawah Presiden. Sehingga seharusnya SBY dapat dengan mudah memerintahkan Kapolri untuk pula mengusut bawahannya terkait dengan itu. Dengan demikian, tentu saja memberikan rasa keadilan bagi kedua institusi, dan publik merasakan hal yang sama pula. Tanpa langkah politik yang sama, hampir dipastikan SBY akan dianggap lebih memihak kepada Polri, dan dinilai memiliki agenda tersembunyi untuk menumpulkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Sesuatu yang tidak perlu dalam mengawali periode kepresidenannya yang kedua.

Kredibilitas Penegak Hukum
Dalam konteks penguatan kelembagaan demokratik, agaknya permasalahan yang mengemuka antara Polri dan KPK adalah sesuatu yang lumrah dan biasa. Hanya saja kondisi ini membuat praktik penegakan hukum, khususnya terkait dengan pemberantasan korupsi secara langsung maupun tidak langsung menjadi terdistorsi. Apalagi bila kemudian bercampur dengan berbagai kepentingan politik yang mengarah kepada menguatnya praktik-praktik rejim lama. Hampir dipastikan aparat penegak hukum akan menjadi ‘sapi perah' dari penguasa yang menginginkan menguatnya stabilitas politik maupun ekonomi demi langgengnya kekuasaan. Sebab, harus diakui bahwa praktik pemberantasan korupsi yang bersifat massif hanya akan mengarahkan kepada dua kemungkinan kondisi: Pertama, terciptanya pemerintahan yang bersih, namun dinamika politik yang terbangun tidak mengarah kepada menguatnya kontrol politik atas berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Hal ini mengarahkan keragu-raguan pejabat pemerintahan untuk membuat kebijakan yang bersifat massif dan populis, karena adanya kekuatiran kemungkinan menyerempet pada pelanggaran pelanggaran kewenangan dan jabatan. Hal ini makin diperkuat dengan dinamika politik yang bersifat pragmatis pula. Sehingga, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dalam konteks pelembagaan demokratik, tidak dapat bersanding dengan pemberantasan korupsi yang bersifat massif. Kecuali bila ditopang oleh dinamika politik yang tidak pragrmatis, penuh visi dan fokus pada komitmen membangun bangsa.

Kedua,  melemahnya kontrol politik negara, dan cenderung menguatnya kontrol publik terkait dengan berbagai isu yang berkembang, terutama masalah pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Situasi ini cenderung membuat penyelenggaraan pemerintahan akan terus diganggu oleh berbagai situasi dan kondisi yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Hal ini juga mengarahkan praktik pemerintahan menjadi tidak efektif dan cenderung stagnan. Sebab, di satu sisi komitmen untuk membersihkan penyelenggaraan pemerintahan dari praktik korupsi adalah sesuatu yang bersifat mengikat. Sementara di sisi lain, realitas masyarakat dan aparat pemerintahan masih cenderung bersifat oligarki. Sehingga berbagai kebijakan yang dibuat diarahkan agar dapat menyenangkan semua pihak.

Dari dua kondisi tersebut di atas, pada akhirnya akan memosisikan aparat penegak hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi terjebak dalam dua dilemma. Di satu sisi, agenda pemberantasan korupsi adalah bagian utama dari skenario  penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik. Sehingga, sebagai penegak hukum, langkah untuk mengarahkan pada hal tersebut bersifat mengikat, dan berkonsekuensi pada pembenahan internal masing-masing institusi. Di sisi yang lain, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi juga akan mengamputasi berbagai kewenangan yang dimiliki dan berbagi dengan institusi sejenis atau terkait dengan itu, apakah dalam bentuk koordinasi, maupun dalam bentuk penyelidikan maupun penyidikan.

Mengacu pada kondisi dan dilemma yang dihadapi oleh penegak hukum, maka pada konteks polemik antara KPK dan Polri, seyogyanya harus tetap mengedepankan kredibilitas institusinya masing-masing dengan tetap pada esensi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian KPK dan Polri agar kredibilitasnya tetap terjaga sebagai penegak hukum, yakni: Pertama, KPK dan Polri harus pula melakukan pembenahan internalnya, dengan memperhatikan berbagai masukan dan saran yang berkembang di masyarakat. sekedar ilustrasi misalnya, Kapolri seharusnya melakukan investigasi internal terkait dengan dugaan adanya keterlibatan salah satu bawahannya dalam kasus Bank Century, tanpa menunggu permintaan SBY. Sedangkan KPK, juga harus bercermin bahwa superioritasnya tidak serta merta kebal dari jerat hukum.

Kedua, mengurangi sikap benar sendiri dan cenderung menyalahkan institusi lain. Hal ini nampak pada pimpinan Polri dan KPK yang cenderung saling menyalahkan dan melempar kesalahan. Secara kelembagaan, sikap ini akan mengurangi obyektivitas institusi tersebut dalam melakukan tugas dan fungsinya dalam penegakan hukum.

Ketiga,  pimpinan KPK dan Polri seharusnya berinisiatif menyelesaikan permasalahan ini dengan memulai komunikasi dua arah. Sebab, sejauh ini baik SBY maupun DPR, serta Mahkamah Konstitusi relatif seirama dalam menyuarakan pendekatan politik dari pada kelembagaan.  Keluarnya Perppu, serta dukungan dari kedua lembaga tinggi negara terkait dengan keluarnya Perppu menjadi indikator bahwa SBY lebih memilih pendekatan politik dari pada kelembagaan. Bisa jadi langkah ini disebabkan sensitifitas isu yang menjadi awal permasalahannya.    

Dengan memperhatikan tiga hal tersebut, maka secara kalkulatif, keberadaan KPK dan Polri sebagai penegak hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bisa tetap terjaga kredibilitasnya. Setidaknya tetap dalam bingkai obyektivitas dan komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, di tengah dinamika politik yang tengah berubah.

Muradi, staf Pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Padjadjaran

Tulisan ini disalin dari Jurnal nasional, 1 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan