Kredibilitas Lupanya Nazaruddin

"Pak SBY, tolong jangan ganggu istri dan anak-anak saya. Saya tidak akan cerita apa pun. Saya sudah lupa semuanya." Itu ucapan Nazaruddin di tangga kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, menjelang akhir pekan lalu. Seberapa jauh klaim lupa Nazaruddin dapat dipercaya?

Secara alamiah, seseorang yang secara tiba-tiba terempas dari singgasana kedigdayaan ke comberan kehinadinaan besar kemungkinan akan mengalami guncangan psikologis. Lupa pun dapat menjadi konsekuensi psikologis yang natural. Lupa merupakan hasil kerja otak yang hingga beberapa segi mematikan dirinya sendiri. Mirip sekring yang otomatis mematikan jaringan ketika ada letupan listrik yang berlebihan, lupa berfungsi sebagai pelindung psikologi orang yang lupa. Tanpa lupa, beban psikologis orang itu akan tetap tinggi. Dia bisa ambruk alias mengalami mental breakdown. Dari situ bisa dipahami, kelupaan yang dialami Nazaruddin bermanfaat agar ia bisa tetap bertahan hidup, kendati pada saat yang sama proses hukum atas dirinya akan kian berat. Demikian tinjauan faalinya, yang memberikan pembenaran kepada publik agar memaklumi dalih Nazaruddin bahwa ia sudah lupa selupa-lupanya.

Persoalannya, sudah lazim orang-orang yang tersangkut kejahatan kerah putih, begitu berhadapan dengan hukum, langsung mengklaim punya masalah kesehatan. Mereka memperagakan malingering, yakni rekayasa terencana atas kondisi fisik ataupun psikis guna memunculkan kesan bahwa individu bersangkutan tidak berada dalam kondisi sehat yang memadai untuk mengikuti proses hukum. Pertanyaannya sekarang, apakah Nazaruddin benar-benar sakit atau sekadar mempraktekkan malingering. Alih-alih KPK, polisi, Nazaruddin, ataupun pengacaranya yang menjawab pertanyaan itu, akan lebih proporsional dan dapat dipercaya apabila polemik tentang kesehatan (lupa) Nazaruddin diakhiri oleh tim medis yang memeriksa Nazaruddin secara kontinu-intensif sekaligus memaparkan hasil pemeriksaan tersebut setiap hari kepada masyarakat. Cara ini pernah dilakukan semasa mantan presiden Soeharto masuk rumah sakit menjelang wafat beberapa tahun silam.

Telaah kalimat

Di samping tinjauan psikologi faal, sisi verbal Nazaruddin penting dicermati. Kita ulangi sekali lagi alinea yang diucapkan Nazaruddin di tangga KPK, khususnya kalimat kedua dan kalimat ketiga. "Saya tidak akan cerita apa pun. Saya sudah lupa semuanya."

Kalimat "saya tidak akan cerita apa pun" menunjukkan perilaku yang berencana. Nazaruddin bisa berencana cerita, bisa pula berencana tidak cerita. Jadi ada perencanaan, ada pertimbangan, ada rasionalitas, sebelum Nazaruddin memutuskan tindakannya nanti. Adapun kalimat berikutnya, "saya sudah lupa semuanya", mana mungkin orang bisa berencana untuk lupa. Dengan kata lain, lupa adalah proses otomatis, bukan perilaku yang direncanakan.

Dari situ terlihat kedua kalimat tersebut kontradiktif satu sama lain. "Tidak akan cerita" tidak mungkin digandeng dengan "lupa", karena yang satu hasil rencana, sedangkan yang lain berlangsung dengan sendirinya. Penggunaan "lupa" untuk menopang "tidak akan cerita" adalah mengada-ada. Hubungan antarkalimat akan linear andaikan Nazaruddin mengatakan "tidak bisa cerita", bukan "tidak akan cerita", karena "lupa". Tampaknya Nazaruddin perlu lebih cermat memilih kata sebelum melakukan wawancara doorstop. Alih-alih ini merupakan petunjuk bahwa Nazaruddin telah beriktikad untuk mendistorsi dan memfragmentasi informasi yang akan diberikannya kelak kepada KPK.

Karena kalimat tentang lupa sudah bisa kita hapus, sekarang tinggal dua kalimat: "Pak SBY, jangan ganggu istri dan anak-anak saya" serta "saya tidak akan cerita apa pun". Rasanya aneh jika tiba-tiba Nazaruddin meminta Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengusik istri dan anak-anaknya. Permohonan macam itu mengandung pesan subtil bahwa ada pihak yang diyakini Nazaruddin sedang atau-setidaknya--akan mengganggu ketenteraman anak dan istrinya. Nazaruddin tidak mampu mengatasi gangguan itu karena saking besarnya kekuatan yang dipunyai si pihak pengganggu.

Sejauh ini masyarakat hanya bisa mereka-reka, siapa sesungguhnya si pengganggu. Tapi, dari permintaan Nazaruddin, bisa ditafsirkan, si pengganggu hanya bisa dijinakkan oleh SBY. Hanya SBY yang berkuasa mengendalikan ulah si pengganggu. Jadi kesannya ada garis komando antara SBY dan pihak yang disinyalir akan meneror keluarga Nazaruddin.

Berat nian nasib Nazaruddin. Nyawa keluarganya di ujung tanduk. Dan, bagi Nazaruddin, butuh seorang presiden untuk menyelamatkan semuanya. Wallahualam.

Tampaknya Nazaruddin perlu lebih cermat memilih kata sebelum melakukan wawancara doorstop. Alih-alih ini merupakan petunjuk bahwa Nazaruddin telah beriktikad untuk mendistorsi dan memfragmentasi informasi yang akan diberikannya kelak kepada KPK.
 
Reza Indragiri Amriel, Dosen psikologi forensik Universitas Bina Nusantara, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan