KPU Harus Jalan Terus Larang Mantan Napi Korupsi Nyaleg

Gagasan ditolak DPR, Pemerintah, dan Bawaslu,

KPU Harus Jalan Terus Larang Mantan Napi Korupsi Nyaleg!

Gagasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkotika, dan kejahatan seksual terhadap anak tidak disepakati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR yang diadakan pada 22 Mei 2018,  ketiga lembaga tersebut sepakat mantan narapidana, tidak terkecuali tiga kejahatan luar bitasa di atas, dapat menjadi calon anggota legislatif asal secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Sikap DPR, pemerintah, dan Bawaslu diatas menjadi pertanyaan publik karena larangan serupa untuk Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah disetujui dan sah dalam Peraturan KPU No. 14 tahun 2018. Dalam pasal 60 ayat 1 huruf j Peraturan KPU tersebut disebutkan bahwa mantan narapidana yang dapat menjadi calon bukan mantan terpidana narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. Salah satu syarat calon presiden dan wakil presiden dalam pasal 169 huruf d UU No. 7 tahun 2017 pun tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. 

Tidak hanya mengecewakan KPU, hasil RDP tersebut juga mengecewakan publik. Sejak wacana ini mengemuka pada April 2018, publik ramai-ramai mendukung KPU. Hingga siang ini, sedikitnya 67.200 orang menandatangani petisi dukungan untuk KPU di change.org/koruptorkoknyaleg. Sederhana, publik ingin disodorkan calon anggota legislatif yang lebih bersih. Melarang mantan narapidana korupsi juga dinilai dapat memperbaiki kinerja serta citra lembaga yang selama ini dikenal korup tersebut.

Tidak hanya itu, urgensi larangan mantan narapidana kasus korupsi memasuki arena kontestasi elektoral juga berangkat dari adanya fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi lalu kembali melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat tiga orang yang diketahui menjadi residivis korupsi. Mereka adalah:

  • Abdul Latif (Bupati Hulu Sungai Tengah)

Abdul Latif pada 4 Januari 2017 terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap proyek pembangunan RSUD Damanhuri. Ia diduga menerima suap Rp3,6 Milyar. Jumlah itu merupakan 7,5% dari total nilai proyek pembangunan ruang rawat kelas I, II, VIP, dan Super VIP RSUD Damanhuri. Uang suap ini diberikan oleh Direktur Utama PT Menara Agung Donny Winoto, selaku kontraktor proyek. 

Sebelumnya, Abdul Latif saat menjabat sebagai pengusaha, pada tahun 2005-2006  pernah tersangkut kasus korupsi pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Labuan Amas Utara dengan anggaran Rp711 juta. Pada 8 Juni 2008, Pengadilan Negeri Barabai menjatuhkan vonis terhadap Abdul Latif 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider 2 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp 37.636.500,-. Di tingkat banding dan kasasi, putusan tersebut diperkuat.

  • Mochammad Basuki (Ketua DPRD Jawa Timur)

KPK pada 6 Juni 2017 menetapkan Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Fraksi Partai Gerindra Mochamad Basuki dalam kasus suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur tahun 2017. Basuki disebut menerima suap dari beberapa Kepala Dinas Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Proses hukum terhadap M. Basuki masih berlanjut di KPK.

Sebelumnya pada tahun 2002, Basuki saat menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya pernah terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar pada tahun 2002. Anggaran yang semestinya digunakan untuk membayar premi asuransi kesehatan, dibagi-bagi kepada 45 anggota DPRD Surabaya.  Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman pada Basuki 1 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp 20 juta subsider 1 bulan kuruangan serta membayar uang pengganti Rp 200 juta. Namun hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan setelah mengajukan banding. Basuki keluar dari penjara pada 4 Februari 2004.

  • Aidil Fitra (Ketua KONI Samarinda)

Aidil Fitri, Ketua KONI Samarinda, pada tahun 2016 telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus penyelewengan dana Pekan Olahraga Provinsi V/2014 Samarinda. Pada 5 Mei 2017, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan uang pengganti Rp 772 juta. Tidak puas atas vonis ringan, Jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kaltim dan dikabulkan oleh majelis hakim dengan menambah vonis Aidil menjadi 5 tahun penjara. 

Sebelumnya pada 2010, Aidil Fitri saat menjabat sebagai anggota DPRD Samarinda pernah terlibat korupsi dana bantuan sosial dari APBD Samarinda ke klub sepak bola Persisam Putra pada 2007–2008 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 1,78 Miliar. Aidil juga dicopot dari jabatan general manager Persisam Putra. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda pada tahun 2010, Aidil divonis setahun penjara ditambah denda Rp 50 juta, serta mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 1,78 miliar.

Ditambah lagi, DPR kerap berada di posisi bawah dalam daftar lembaga demokrasi yang dipercaya publik (setingkat lebih baik dibanding partai politik). Salah satu penyebab rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga yang pada dasarnya mewakili publik tersebut salah satunya adalah banyaknya anggota legislatif tersangkut kasus korupsi.

Menyikapi ketidaksamaan pandang antara KPU dengan DPR, pemerintah, dan Bawaslu dalam RDP, KPU seharusnya tidak menyerah. Hal tersebut dikarenakan hasil atau keputusan konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah sehubungan dengan penyusunan PKPU Walau PKPU harus dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah dalam RDP bersifat tidak mengikat, sesuai dengan putusan MK No. 92/PUU-XIV/2016. Putusan MK tersebut menegaskan bahwa KPU adalah lembaga yang independen, khususnya dalam penyusunan PKPU.

Oleh karena itu, KPU sudah seharusnya konsisten dengan larangan yang telah dimasukkan dalam draft Peraturan KPU Pencalonan dan segera mengesahkan peraturan tersebut. Langkah tersebut merupakan langkah progresif yang menunjukkan keseriusan dan komitmen KPU menjaga integritas pemilu dari sisi peserta yang patut diapresiasi. Secara bersamaan, kami juga mengkritik sikap Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri (wakil pemerintah), dan Bawaslu yang menentang gagasan KPU.

Rabu, 23 April 2018

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih

Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif),  dan Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags