KPK Usut Aktor Penjualan Tanker [23/06/04]

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengusut aktor penjualan dua tanker raksasa milik Pertamina. Untuk itu, KPK juga akan memeriksa direksi lama Pertamina.

Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengungkapkan, pihaknya tengah mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penjualan dan aktor yang merancangnya. Yang paling penting untuk ditelusuri adalah siapa yang menyuruh menjual tanker yang belum sempat dipakai itu, kata Erry di Jakarta, kemarin.

Untuk mengungkap skandal penjualan itu, KPK telah meminta keterangan dari sejumlah pihak. Antara lain Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone dan Dirut Pertamina Ariffi Nawawi.

Dalam waktu dekat KPK juga akan meminta keterangan dari para direksi lama Pertamina, antara lain dari Baihaki Hakim yang pernah menjadi Dirut BUMN itu. Ini diperlukan karena pembelian kedua tanker raksasa very large crude carrier (VLCC) itu dilakukan semasa kepemimpinan Baihaki.

Menurut Erry, keterangan yang diperoleh dari Ariffi baru berkisar latar belakang dan pertimbangan penjualan kedua kapal tersebut. Sementara, keterangan yang ingin diketahui KPK dalam pemeriksaan awal ini adalah hal-hal makro yang melatari kebijakan penjualan itu.

Di tempat terpisah, Masyarakat Profesional Madani (MPM) mempersoalkan penunjukan Goldman Sachs sebagai konsultan tender dan penunjukan Frontline Ltd sebagai pemenang tender.

Menurut Ketua MPM Ismed Hasan Putro, penunjukan Goldman Sachs oleh Pertamina tidak lazim dalam bisnis. Apalagi, belakangan terbukti, bahwa penunjukan itu menimbulkan konflik kepentingan karena pemenang tender, Frontline Ltd, ternyata juga perusahaan milik Goldman Sachs Intern Equity Nontreaty Cus.

Namun, Ariffi kembali membantahnya. Dia menegaskan bahwa Frontline Ltd layak menjadi pemenang. Dia membantah sinyalemen bahwa harga penawaran dari Frontline lebih rendah dibandingkan penawaran dari Essar Shipping Ltd.

Tim divestasi VLCC dan Goldman Sachs menyebutkan Frontline Ltd menawar dua tanker VLCC seharga US$184 juta, sedangkan penawaran Essar sebesar US$183 juta. Penawar terendah adalah Overseas Shipholding Group Inc (OSG) dengan harga US$175 juta.

Namun, dari dokumen yang diterima Media, tawaran Frontline itu lebih rendah karena Essar menawar dengan harga total US$188 juta. Yang penting bukan nilai penawarannya. Tapi, apakah mereka sanggup membayar uang muka 20%. Setelah dicek Goldman Sachs, pemenang kedua ini ternyata tidak sanggup, tandas Ariffi.

Menurut Erry, kasus harga penawaran tersebut sudah merupakan indikasi korupsi. Ini memang indikasi (korupsi), tetapi KPK belum sampai kepada detail pemeriksaan teknis ke arah itu ketika menanyai Pak Ariffi.

Erry juga mengatakan, pihaknya telah mengetahui bahwa Frontline memang bukan penawar tertinggi. Tetapi, untuk verifikasi dan penyelidikan dugaan korupsi itu, KPK harus mengumpulkan data-data yang lebih lengkap dan detail.

Memang kami menemukan keganjilan dalam alasan penjualan tanker itu yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Selanjutnya masih verifikasi.

Potensi rugi

Ismed juga meminta KPK mengambil alih wewenang masalah penjualan tanker VLCC Pertamina ini. Diharapkan, KPK juga meminta direksi dan komisaris Pertamina untuk membatalkan penjualannya sampai investigasi selesai dan sampai terbukti tidak ada praktik korupsi yang merugikan negara.

Namun, jika belakangan ternyata ditemukan penyimpangan, KPK harus mengambil upaya hukum untuk menindak direksi dan komisaris Pertamina. Dari laporan MPM kepada KPK, Senin (21/6), ditemukan indikasi potensi kerugian negara sebesar US$40 juta dari penjualan tanker tersebut.

Harga di pasar sekitar US$110-115 juta per tanker. Sedangkan tanker itu dijual seharga US$92 juta per tanker, kata Ismed.

Mengenai apakah penjualan itu harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan, Erry menjelaskan masalah ini tidaklah terlalu penting. Izin itu soal kecil, yang terpenting adalah siapa yang menyuruh menjual, tegasnya lagi.

Sekretaris Bidang Lingkungan Dewan Maritim Indonesia Elly Rasdiani justru berpendapat, penjualan tersebut seharusnya mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Pasalnya, barang yang dijual adalah aset negara, karena Pertamina, sebagai BUMN, adalah milik negara, termasuk asetnya.

Namun, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Darmin Nasution menegaskan, penjualan itu tidak perlu mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Sebab, secara prinsip kedua tanker itu merupakan aset korporat yang dipisahkan dari aset negara. Sehingga, penjualan tidak perlu melalui persetujuan Menteri Keuangan, dengan syarat bila nilainya sudah ditetapkan. (Hil/Wis/Ndy/Opi/X-8)

Sumber: Media Indonesia, 23 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan